IndoMedia, Rabu, 06 Sep 2006 01:42
Batalkan eksekusi Tibo, cs!
(Sebuah catatan kegelisahan wong cilik)
Oleh Umbu TW Pariangu*
CATATAN ini paling tidak repetisial dari berbagai kontra pihak masyarakat sebelum
dan yang sementara saat ini terhadap vonis hukuman mati Tibo, cs yang sekaligus
mungkin bisa dititipsertakan untuk Tim 12 dari Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU)
yang berangkat ke Jakarta untuk menemui Presiden SBY dalam rangka penyampaian
aspirasi penolakan rakyat TTU terhadap keputusan eksekusi mati Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu (Pos Kupang 4/9). Sebuah repetisi
kegelisahan yang mengalir dari semak-semak nurani anak bangsa yang perlu terus
dibahasakan di tengah kian kering dan merananya akal sehat lembaga penegakan
hukum kita.
Dengan penundaan eksekusi Tibo,cs oleh regu tembak brimob Sulawesi Tengah
sampai waktu yang tidak ditentukan, kian lengkaplah penderitaan tiga terpidana mati
(Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva) itu. Hukuman mengenaskan
adalah saat penantian itu tak bertitik, cuma koma antara setengah sadar dan tidak,
tetap tubuh, jiwa teraniaya. Dan apa bedanya dengan sebuah tembakan maut
meregang nyawa dalam rimba raya yang tanpa pertimbangan/prosedur selain hukum
besi homo homini lupus. Itu berarti, pemerintah sedang melotre nasib ketiga saudara
terkasih kita ini dalam ambang kematian yang sia-sia atas nama "kepastian hukum"!
Permohonan pribadi Tibo,cs kepada presiden yang antara lain agar menyelesaikan
kasus Poso secara tuntas merupakan itikad penyadaran terhadap para pembuat
hukum (rule making institution) dan penerap sanksi hukum (rule sanctioning
instrumen) di negeri ini yang dalam kapasitas sebagai ‘negara’ hanya mengurus diri
sendiri (state qua state) tanpa bersikap sebagai pelindung yang baik (bene volent
patron). Dari status rakyat kecil yang secara kebetulan mengalami pilihan dalam satu
moment rusuh, Tibo, cs harus diperhadapkan pada drama pengadilan yang mencerca
utilitas kebenaran dan nilai kemanusiaan seseorang atas nama penegakan hukum
(law enforcement), meski kebenaran itu sering dicari hanya pada tempat yang
disukai. Sejauh ini institusi peradilan dalam Kasus Poso sejatinya telah gagal
menguak realitas sebenarnya karena melalaikan proses penemuan dan penilaian
fakta (invention and judgement of fact) di persidangan. Hukum di negeri ini memang
selalu tergoda untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan keamanan
ditunjang bukti-bukti subyektif, namun jarang mau berkompilasi dengan data-data
lapangan untuk mendukung putusan hukum yang bermartabat demi kepentingan
jangka panjang penyelesaian suatu masalah. Jika Tibo,cs nanti berhasil divonis mati
oleh regu tembak misalnya, aparat hukumsecara jangka pendek memang berhasil
menyelamatkan dirinya dari celaan konsistensi dalam hubungannya dengan
penyelesaian kerusuhan di Poso, tetapi secara jangka panjang model seperti tidak
akan menempatkan masyarakat Poso dalam landasan keadilan dan ketenteraman
yang semestinya, karena latar belakang dan akar masalah tak pernah serius dirunut
dalam semangat proporsionalitas penegakan hukum sejati (bukan mimesis).
Secara kritis, rakyat bertanya apa substansi proses hukum dan pengadilan kalau
vonis yang ditetapkan tidak mencerminkan duduk perkara melalui fakta-fakta (novum)
yang muncul dalam tahap persidangan. Di manakah wujud pertanggungjawaban
hukum secara yuridis, sosiologis dalam filosofis kepada masyarakat umum dan
secara khusus terhadap obyek hukum. Padahal kriteria kualitas hukum bukan
semata ditentukan pada bobot hukuman, lebih daripada itu sejauhmana tercipta
interaksi sadar dari bobot hukum yang ditetapkan bagi keadilan dan kemaslahatan
bersama. Di sini masyarakat kian pesimis terhadap blue print hukum kita, karena
keadilan lebih diukur dari pandangan status yang memberi peluang terciptanya
kompromi berdasarkan kepentingan tertentu. Keadilan versi hukum kita lebih
membanggakan dirinya dalam distorsi kebenaran yang tidak jelas titik
keberpihakannya. Akibatnya runtuhlah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
hukum. Sejatinya yang lebih penting dari penegakan hukum adalah budaya
hukum/persepsi publik terhadapnya (Friedman, 1997). Persepsi hukum akan
menentukan nasib dan kredibilitas hukum dalam mengefektifkan kinerja dan
otoritasnya di hadapan publik. Hukum yang tidak mendapat respek dalam
masyarakat akan menjerumuskan warga dalam ruang publik yang penuh dengan
kekacauan, tanpa ada aturan dan kontrol. Sehingga yang berlaku adalah hukum
homo homini lupus.
Tibo, cs mungkin bukan sosok elite dari latar belakang keluarga yang makmur dan
berpengaruh untuk menyogok pasal-pasal hukum. Mereka hanyalah wong cilik
rantauan yang ingin menyapa nasib dengan seribu harap-cemas. Tetapi tahukah kita,
nurani yang berbicara dalam hati mereka akan mampu menggetarkan kebenaran
sejati yang akan membuka tabir kepada khalayak di manakah sejatinya posisi hukum
kita berdiri. Saya lebih suka mengatakan pada kepekatan lorong hukum posisi hukum
kita berada. Diantara bayangan pengap kepentingan yang memandulkan
prinsip-prinsip keadilan hukum versus Tibo, cs itu hukum kita itu berada. Tibo, cs dan
sekutunya yang senasib di teras hukum republik ini mungkin akan bersuara tangis
memberontak dalam kebisuan duka. Tibo, cs mesti merelakan haknya demi
kedamaian di Poso. Ironi yang melelahkan logika umum pencarian keadilan berserta
rasionalitas pembenaran diri di depan hukum mimesis. Penundaan eksekusi sama
dengan perpeloncoan nyawa apalagi dengan pertimbangan keberatan warga,
keuskupan, Paus atau agar susana perayaan 17 Agustus lalu dapat berjalan tenang.
Moment kemerdekaan tiap tahun beserta seremoni nasionalik-patriotik tidak bisa
mensubstitusi upaya rakyat kecil ‘mengemis’ keadilan sebagai wujud kemerdekaan
kebenaran, tempat seluruh rakyat, bangsa berlindung. Keputusan pengadilan dan
proses peradilan berwibawa sekalipun, bukanlah instrumen sakral yang bisa menutup
diri terhadap fakta-fakta di luar yang ‘membening’ dalam realita kelayakan sosial
(opini Timex, 5/8/06). Karena dengan begitu efektivitas hukum meradang dalam
kematian. Pemerintah (aparat hukum), mestinya menyadari eksekusi mati terhadap
siapa saja, selain Tibo,cs, menandai dalam dirinya terjadi sistematisasi pemunafikan
diri yang mencoba mengkambinghitamkan rakyat-rakyat kecil akibat kebijakan yang
salah di masa lampau demi menyelamatkan muka pemerintah melalui imperasi
sistem hukumnya.
Ketua Komite Pembaruan Peradilan Indonesia, Paskalis Pieter, mengatakan,
eksekusi mati terhadap Tibo, cs yang merupakan simbol sejati wong cilik itu hanya
mengedepankan kepastian hukum tetapi mengabaikan keadilan, kebenaran dan
kemanusiaan. Karenanya adalah lebih proporsional bagi pemerintah untuk
membatalkan semua rencana eksekusi mati terhadap ketiga terpidana mati ini sambil
memperhatikan dan memeriksa belasan nama yang pernah disebutkan oleh Tibo,cs
sehubungan dengan keterlibatan mereka dalam peristiwa Poso tersebut untuk secara
jeli dan akurat mengungkap siapa sebenarnya aktor intelektual di balik peristiwa ini.
Pembatalan eksekusi ini semata-mata untuk menghindarkan pemerintah dari upaya
spekulatif dan permainan judi terhadap sebuah keputusan yang mengatasnamakan
hukum baik secara institu-sionil maupun kelompok yang pada akhirnya
mengorbankan kredibilitas lembaga hukum di mata masyarakat. Apalagi ini
menyangkut erat dengan nyawa manusia yang tidak ternilai harganya, khususnya di
hadapan Sang Khalik semesta. Sebelum saya akhiri opini ini, sebuah puisi di bawah
ini akan saya persembahkan buat ke tiga saudara kita yang hari-hari ini sedang diintai
nyanyian obituari dengan selaksa penderitaan batin, bersama keluarga tercinta
mereka yang juga sedang menanti dan mempersiapkan diri menerima vonis terakhir
dari pihak kejaksaan Sulawesi Tengah.
Tibo, cs
Kami tahu dukamu hari-hari ini sedang menanak rintih tak bertepi dalam waktu-waktu
yang tak berdetik ini ragamu mungkin sedang meradang sendiri dalam sepi di tengah
hiruk pikuk manusia berjubah seperti malaikat, kami tahu kalian merindukan
keadilan sejati.
Dan sesal, tangis, ratapanmu adalah seperti surya pagi yang disusup mendung
kezaliman dan rintik rintihan pun jatuh membasahi bumi yang kini sudah tak perawan
lagi oleh dusta dan kemunafikan tetapi ketahuilah, keadilan sejati sedang diam
dalam ketegaranmu yang suci sembari menyongsong rahmat Illahi dalam kebeningan
hatimu.
* Penulis, Dosen Jurusan FISIP Undana, Kupang |