Indopos, Jumat, 28 Apr 2006
Aceh dan Papua, Apa Bedanya?
Oleh Kacung Marijan
Etnisitas dan religiusitas antara Aceh dan Papua memang berbeda. Sebagian besar
masyarakat Papua berkulit hitam dan memeluk Kristen sebagai agamanya.
Sementara itu, masyarakat Aceh tergolong berkulit cokelat dan beragama Islam.
Tetapi, keduanya memiliki persamaan sejarah ketika berhadapan dengan Jakarta
(pemerintah pusat). Di dua daerah itu sama-sama terdapat pergerakan melawan
pemerintah pusat untuk mencapai impian menjadikan daerah masing-masing sebagai
negara merdeka. Di Aceh, gerakan itu disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan di
Papua disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Dalam menyikapi gerakan tersebut, langkah pemerintah juga tidak berbeda. Pada
masa Orde Baru, pemerintah melancarkan operasi militer, sehingga kedua daerah itu
disebut DOM (daerah operasi militer). Pada masa pemerintahan pasca-Soeharto,
kedua daerah itu diberi solusi yang serupa. Keduanya sama-sama dijadikan sebagai
daerah yang memiliki otonomi khusus sebagaimana yang tertuang dalam UU No 18
dan 21/2001.
Hanya, solusi itu sama-sama masih belum mampu memupus keinginan untuk
merdeka. GAM terus melancarkan serangan. Gerakan-gerakan sporadis untuk
menggalang kemerdekaan juga terjadi di Papua, meski tidak sebesar yang dilakukan
GAM.
Menghadapi realitas seperti itu, pemerintahan pasca-Soeharto tidak bisa serta merta
menggunakan kekuatan militer. Sorotan bahwa penggunaan kekuatan seperti itu
berarti merupakan pelanggaran berat HAM semakin kuat. Bahkan, pemerintah AS
pernah melakukan embargo penjualan suku cadang persenjataan serta pesawat
tempur.
Ada ketakutan senjata-senjata dan pesawat-pesawat itu digunakan untuk menumpas
gerakan separatis. Konsekuensinya, pemerintah berusaha menggunakan jalan
perundingan.
Dalam konteks yang terakhir itulah penyelesaian Aceh dan Papua mengalami
perbedaan. Seperti yang telah kita lihat, pemerintah Indonesia menggalang
perdamaian dengan para pengikut GAM. Hasilnya, sebuah MoU telah disepakati. Inti
MoU itu adalah eksplorasi lebih jauh tentang konsep otonomi khusus di dalam negara
Indonesia.
Hasil konkret kesepakatan-kesepakatan tersebut memang masih perlu dibuktikan
pada masa-masa mendatang. Tetapi, setidaknya, jalan damai di Aceh telah
terpampang. GAM secara formal telah menyerahkan persenjataan yang dimiliki.
Pemerintah Indonesia juga tidak lagi melakukan gempuran-gempuran.
Selain itu, pemerintah telah menyiapkan seperangkat kelembagaan tentang Aceh
yang memiliki otonomi khusus tersebut. Di antaranya, disusunnya UU tentang
Pemerintahan Aceh.
Di pihak lain, Papua masih bermasalah. Implementasi status berotonomi khusus
sampai sekarang belum tuntas. Bahkan, permasalahan baru bermunculan.
Pemerintah pusat, misalnya, justru membagi Papua menjadi tiga provinsi, Irian Jaya
Barat, Irian Jaya Tengah, dan Papua.
Memang, baru Provinsi Irian Jaya Barat yang terbentuk karena pembentukan Irian
Jaya Tengah memperoleh resistansi yang sangat kuat. Tetapi, adanya provinsi baru
tersebut telah membuat para tokoh Papua yang menginginkan otonomi khusus itu
kecewa dan tidak habis pikir terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Realitas itu dianggap sebagai upaya untuk mengoyak "kesatuan khusus" Papua.
Kekecewaan seperti itulah yang juga menyulut serangkaian kekerasan di Papua
belakangan. Kekecewaan tersebut menjadi bertambah karena pemerintah pusat
menolak tuntutan sebagian masyarakat Papua untuk menutup Freeport Indonesia
yang dianggap telah menyedot habis-habisan kekayaan di Papua.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat memang telah berupaya
memberikan "carrot" kepada Papua dengan memberikan dana yang sangat besar
dibandingkan provinsi lain. Tetapi, skema pemberian "carrot" tersebut, tampaknya,
tidak dirancang secara baik. Konsekuensinya, yang lebih banyak menikmati "carrot"
itu adalah sekelompok kecil elite saja. Seorang kawan asli Papua bercerita, sekarang
ini korupsi besar-besaran telah terjadi di daerah tersebut.
Jika tidak terpecahkan, permasalahan seperti itu akan berfungsi sebagai minyak bagi
berlanjutnya gerakan OPM. Gerakan tersebut tidak selalu berwujud perlawanan
bersenjata, memang. Gerakan itu bisa berwujud pendiskusian gagasan bahwa
masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia tersebut tidak sah, baik di dalam negeri
maupun di luar. Kasus larinya puluhan orang ke Australia merupakan bagian dari
gerakan itu.
Secara substansial, keseriusan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah
Papua, contohnya, bisa dilakukan melalui pemberian kesempatan yang lebih besar
kepada masyarakat Papua untuk lebih sejahtera. Adanya kesejahteraan di suatu
daerah, sebagaimana terjadi di banyak negara, akan meminimalkan keinginan
melakukan gerakan separatis.
Secara kelembagaan, penyelesaian Papua bisa mengikuti jalan Aceh. Tidak harus
melalui perundingan di luar negeri, memang. Proses perundingannya bisa saja
dilakukan di dalam negeri, tetapi tetap melibatkan sejumlah tokoh separatis di luar.
Dengan demikian, kalau di Aceh terdapat UU Pemerintahan Aceh, mengapa di Papua
tidak ada UU Pemerintahan Papua?
Dengan demikian, esensi dalam penyelesaian masalah di kedua daerah itu tetap
berangkat dari cara pandang serupa: antara Aceh dan Papua memang terdapat
perbedaan, tetapi keduanya sama-sama berpengalaman sebagai korban relasi yang
tidak adil antara pemerintah pusat dan daerah. Penyelesaiannya, dengan demikian,
tidak harus dibedakan.
Kacung Marijan PhD, staf pengajar FISIP Unair Surabaya
|