KOMPAS, Senin, 04 September 2006
Laptop dan Era Teroris Tanpa Pemimpin
Maruli Tobing
Laptop "menembus" tembok dan penjagaan sipir di LP Krobokan, Bali, bukanlah
peristiwa luar biasa. Gunawan Santosa, pelaku pembunuhan bos perusahaan PT
Asaba, misalnya, membawa seperangkat sound system dan sepucuk pistol di ruang
tahanan Rutan Salemba.
Peristiwa ini terungkap setelah Gunawan terjatuh bersama pistolnya saat melarikan
diri dari mobil tahanan yang membawanya dari Rutan Salemba menuju Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat (30 Maret 2004). Sebelumnya, dua terpidana pelaku peledakan
bom di Bursa Efek Jakarta berhasil melarikan diri dari LP Cipinang dengan cara
mengancam sipir penjaga pintu LP dengan sepucuk pistol dan granat. Peristiwa ini
terjadi siang hari.
Namun, kasus laptop di LP Krobokan menjadi mengejutkan karena menyangkut
Imam Samudra, terpidana mati dalam kasus Bom Bali I. Menurut polisi, Imam
memakai laptop tersebut sepanjang Juli hingga Agustus 2005. Melalui sambungan
internet tanpa kabel, Imam melakukan chatting, merekrut pengikut, bahkan
membantu dalam serangan bom bunuh diri dalam peristiwa Bom Bali II.
Sejauh ini polisi sudah menahan seorang bekas petugas LP Krobokan. Dua pria lain,
M Agung Prabowo dan Agung Setyadi, ikut diciduk. Keduanya disebut-sebut bekerja
sama dengan Imam membuat situs www.anshar.net bagi kelompok Noordin M Top.
Melalui pengacaranya, Imam membantah pernah menggunakan laptop. Ia juga tidak
mengenal dan belum pernah bertemu dengan Agung Setyadi maupun Agung
Prabowo. Pengakuan yang sama dikemukakan kedua pria yang tinggal di Semarang
dan Kudus, Jawa Tengah.
Polisi tetap berpendapat ketiga pria bekerja sama dalam aktivitas terorisme, tetapi
apakah mungkin hal itu dilakukan tiga orang yang terpisah jauh lokasinya, satu di
antaranya di balik tembok penjara dan belum pernah bertemu dengan keduanya?
Komunikasi internet
Oktober 2003, media televisi menayangkan rekaman video Osama bin Laden. Ia
memperingatkan negara-negara Eropa yang mengirim pasukan ke Irak akan menjadi
target serangan. Bulan berikutnya serangan bom bunuh diri merontokkan Konsulat
Inggris dan gedung HSBC Bank di Istanbul, Turki.
Di Spanyol, rangkaian ledakan bom terjadi hampir bersamaan di beberapa lokasi
kereta listrik kota Madrid, 11 Maret 2004. Peristiwa ini menewaskan 190 orang lebih.
Di London, empat pemuda warga negara Inggris, satu di antaranya berusia 19 tahun,
melakukan serangan bom bunuh diri, 7 Juli 2005. Sedikitnya 56 orang tewas dan
ratusan cedera. Kota supermodern dan pusat gaya hidup dunia dilanda panik dan
ketakutan selama hampir satu bulan.
Pemerintah Turki, Spanyol, dan Inggris menuding jaringan Al Qaeda di balik serangan
tersebut, tetapi hasil kerja keras aparat keamanan ketiga negara tidak menemukan
bukti-bukti keterlibatan Al Qaeda.
Lebih mengejutkan lagi laporan hasil investigasi tim detektif dan intelijen Inggris.
Mereka menyimpulkan serangan bom bunuh diri murni dilakukan keempat pelaku.
Chatting di internet melahirkan keprihatinan mereka terhadap konflik Irak. Mereka
kemudian belajar merakit bom dan memilih target melalui panduan di internet.
Juli lalu Badan Penyelidik Federal AS (FBI) menggagalkan rencana serangan bom
bunuh diri di jalur kereta bawah tanah, yang menghubungkan New Jersey-Manhattan.
Pemimpinnya, Assem Hammoud (31), dosen ekonomi di Lebanese International
University, ditangkap di Beirut, Lebanon.
Hammoud sendiri tidak terkait dengan Al Qaeda maupun kelompok militan. Ia bahkan
mengaku belum pernah bertemu secara fisik dengan ketujuh rekannya yang akan
melakukan serangan. Mereka terpisah jauh di beberapa negara dan bertemu melalui
chatting di internet. Secara kebetulan mereka berpandangan sama bahwa perbuatan
AS di Irak layak dibalas.
Pertengahan Agustus lalu, lagi-lagi dari penyadapan komunikasi internet, aparat
keamanan Inggris membongkar rencana serangan bom atas 10 penerbangan
London-AS.
Strategi bin Laden
Dennis Pluchinsky, mantan analis senior intelijen AS, berpendapat, sejak 40 tahun
lalu kita masih tetap melihat masalah terorisme sebagai suatu rangkaian aksi yang
terkoordinasi dengan sistem komando dalam organisasi yang lebih besar. Contohnya,
laporan tahunan Deplu AS yang terfokus pada negara sponsor dan organisasi teroris
internasional.
Karakteristik kelompok teroris seperti ini sama dan mudah diidentifikasi, tetapi yang
dihadapi pada abad sekarang adalah terorisme tanpa pemimpin (leaderless terrorism),
yakni aktivitas teroris politik—baik oleh individu maupun sel—yang tidak terkait dengan
suatu organisasi.
Teroris tanpa pemimpin melakukan aksinya karena kekecewaan yang mendalam dan
terinspirasi oleh gerakan atau ideologi tertentu. Bukan mustahil pula tindakannya di
luar kendali kesadaran. Umumnya, mereka menentukan target serangan dari panduan
gerakan dan ideologi yang muncul di situs internet, radio, atau penerbitan.
Serangan bom di kereta listrik kota Madrid, 11 Maret 2004, merupakan contoh aksi
teroris tanpa pemimpin. Tiga bulan sebelumnya, beberapa situs internet merilis
tulisan aktivis Al Qaeda di Arab Saudi, Jihad di Irak, Harapan dan Risiko.
Tulisan sepanjang 42 halaman menguraikan, AS akan kalah jika dapat diisolasi dari
sekutunya di Irak. Spanyol adalah sekutu AS terlemah pemerintahannya. Hanya
dengan satu atau dua serangan bom menjelang pemilu, Pemerintah Spanyol akan
menarik pasukannya dari Irak.
Tulisan tersebut menjadi kajian sekelompok pemuda asal Maroko di Masjid Takoua,
Madrid. Imam masjid sempat melaporkannya kepada aparat keamanan setempat,
tetapi baru ditanggapi serius setelah terjadi ledakan bom, yang menewaskan lebih
dari 190 orang. Pemerintah Spanyol sendiri akhirnya menarik pasukannya dari Irak.
Dalam tulisannya, "The New York Plot: The Impact of bin Laden’s Campaign to
Inspire Jihad", Terrorism Focus (18/7), Michael Scheuer berpendapat, serangan bom
di Madrid, London, ataupun sel pimpinan Hammoud, adalah bukti keberhasilan
strategi Osama bin Laden mengobarkan jihad melawan AS dan sekutunya, sekaligus
menguras tenaga intelijen dan keamanan AS.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|