KOMPAS, Senin, 15 Mei 2006
Berperikemanusiaan, tetapi Tidak Adil
Tamrin Amal Tomagola
Penghentian proses peradilan Soeharto (Kompas, 11/5) oleh pemerintahan Kabinet
Indonesia Bersatu, seperti yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Menko Polhukam, jelas merupakan tindakan berdasar perikemanusiaan yang
beradab, tetapi tidak adil.
Tindakan penghentian bukan hanya menghentikan proses peradilan Soeharto, tetapi
juga contoh paling mencolok dari penghentian penegakan sila perikemanusiaan yang
adil dan beradab. Tindakan itu tidak hanya melanggar sila kedua Pancasila,
kerangka-dasar ideologi konstitusional Republik ini, tetapi juga dapat dimaknai
sebagai upaya (1) obstruction of justice, penghalangan penegakan keadilan; (2)
mengekalkan impunity, ketakterjamahan hukum; dan 3) pengingkaran janji pemilu
pasangan SBY-JK yang saat itu merayu calon pemilih dengan slogan: Aman,
Sejahtera, dan Adil. Semakin jauh panggang dari apinya.
Pelanggaran Pancasila
Secara utuh, prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara dalam sila kedua
Pancasila adalah: perikemanusiaan yang adil dan beradab. Utuh artinya tidak boleh
diambil sepotong-sepotong. Tak boleh hanya perikemanusiaan saja yang ditekankan,
itu pun terbatas berlaku untuk Soeharto, dan pada waktu yang sama
menenggelamkan nilai-nilai keadilan dan keberadaban.
Para kader didikan Soeharto, sipil dan militer, yang kini menguasai berbagai lembaga
kenegaraan, old players, new games, yang beberapa waktu lalu di Istana sepakat
menghentikan proses peradilan Soeharto, lalai menerapkan sila kedua secara utuh.
Pelanggaran Pancasila berupa penyunatan dalam penerapan, cukup menjadi alasan
konstitusional yang sah untuk pengguliran proses impeachment, pemecatan Presiden
dan Wakil Presiden.
Perlu dicamkan, nilai fundamental perikemanusiaan berarti bahwa dalam hidup
berbangsa dan bernegara kita menghargai dan menjunjung tinggi tuntunan nurani
yang membela dan mempertahankan hidup semua ciptaan Tuhan, khususnya hidup
dan kehidupan manusia. Tidak boleh ada penyiksaan, apalagi penghilangan
hidup/nyawa makhluk, khususnya manusia, tanpa alasan yang adil dan dengan cara
yang tidak beradab. Semua kitab suci tegas menggariskan prinsip ini. Pemotongan
hewan dan pembabatan hutan hanya dapat dilakukan bila itu tidak hanya untuk
menopang hidup manusia, tetapi juga demi penjagaan keseimbangan ekosistem
kehidupan secara utuh-holistik.
Penggundulan hutan di berbagai pulau Nusantara dan pengerukan isi perut bumi dan
laut oleh mesin ekonomi-politik yang dikemudikan Soeharto adalah perbuatan kriminal
terhadap ibu pertiwi Indonesia. Apalagi penyiksaan manusia dalam sel-sel Orde Baru
dan penghilangan tanpa jejak politisi dan aktivis mahasiswa adalah tindakan
penghancuran hidup manusia yang tak terperikan.
Luka dan kerusakan akan terus menganga, menampakkan diri ke beberapa generasi.
Luka dan kerusakan hanya dapat terobati bila kuman-kuman penyebabnya diungkap
di pengadilan. Bangsa ini cukup matang dan beradab untuk memaafkan, tapi mustahil
untuk melupakan semua. We forgive but we never forget.
Dasar penghentian proses peradilan Soeharto dilakukan hanya didasarkan
pertimbangan kemanusiaan sempit—terbatas untuk Soeharto—yaitu kesehatan yang
kian memburuk. Keadilan jenis ini bukan keadilan yang beradab karena melupakan,
writing-off, keadilan bagi pihak lain.
Apakah adil bagi Bung Karno yang ditelantarkan (Kompas, 11/5)? Apakah adil bagi
Ibu Pertiwi yang menjadi gersang-tandus dan kekayaan bumi Nusantara yang diobral
ke pihak asing? Apakah adil bagi ratusan ribu keluarga yang pecah berantakan
karena mesin kekerasan di Aceh dan Papua Barat?
Harus diadili
Kalaupun secara fisik Soeharto tidak dapat dihadirkan, ia tetap dapat diadili tanpa
perlu hadir di ruang sidang. Apalagi dalam proses peradilan, penasihat hukum lebih
berperan. Penghentian proses peradilan yang dilakukan pemerintah akan dicatat
dalam sejarah Indonesia modern sebagai upaya penghadangan penegakan keadilan,
obstruction of justice. Padahal, yang diadili adalah wujud kekuasaan yang rakus dan
terus dahaga secara material maupun institusional. Suatu kekuasaan tanpa kontrol
sama sekali.
Proses peradilan sendiri adalah proses berharga agar bangsa ini mengenali ulah dan
polah suatu kekuasaan yang totaliter dan otoriter. Inilah tujuan utama tuntutan proses
peradilan agar dilanjutkan.
Seperti namanya sudah self-explanatory, proses peradilan bertujuan akhir
menegakkan keadilan, baik bagi Soeharto maupun korbannya. Adil bagi Soeharto,
karena mungkin berbagai penjarahan Ibu Pertiwi dan kebengisan atas sebagian anak
bangsa bukan perintahnya. Ada pihak lain yang lebih patut dimintai
pertanggungjawaban. Semua itu hanya akan menjadi jelas jika proses peradilan
dibiarkan bergulir tanpa rekayasa.
Namun, harus diakui, justru pada titik inilah pokok masalahnya. Ada banyak pihak
yang berutang budi pada penguasa Orde Baru itu, baik secara finansial, spiritual,
maupun promosi jabatan, takut terseret. Cermatilah para tokoh lembaga negara yang
hadir pada pembuhulan kesepakatan di Istana.
Mengingat pengadilan Soeharto adalah pengadilan atas suatu rezim, mereka
ramai-ramai menyelamatkan leher. Para oligark kecil gotong royong, ethok-ethok-nya,
pura-pura menyelamatkan panglima oligark.
Ibu Pertiwi berduka karena penegakan perikemanusiaan yang adil dan beradab di
haribaannya dihentikan. Sungguh malang nasibmu, Ibu.
Tamrin Amal Tomagola
Sosiolog
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|