KOMPAS, Selasa, 29 Agustus 2006
Petani Timbun Cengkeh
Harga Kacang Mente di NTB Turun Tajam
Tidore, Kompas - Harga cengkeh yang rendah telah membuat petani terus merugi.
Biaya pengolahan dan perawatan kebun dibandingkan dengan harga penjualan hasil
panen jauh lebih tinggi. Untuk memperoleh harga yang relatif bagus, kini petani tidak
langsung menjual hasil panen cengkeh mereka, melainkan menimbunnya.
Hal itu diungkapkan sejumlah petani cengkeh di Pulau Tidore, Maluku Utara, saat
ditemui Senin (28/8) kemarin. Harga cengkeh yang ditentukan m! ekanisme pasar
telah membuat petani terjepit dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun demikian,
karena tak ada pilihan, petani tetap merawat kebun cengkeh mereka.
Saat ini harga cengkeh paling tinggi Rp 25.000 per kilogram. Harga cengkeh terus
anjlok sejak tahun 2004. Sebelumnya, terutama antara tahun 2001-2002, harga
cengkeh masih cukup tinggi, yakni Rp 50.000-Rp 80.000 per kilogram sehingga para
petani bisa menikmati hasil jerih payah mereka.
"Sejak tahun 2004 harganya terus turun. Kami sudah kerja berat (berkebun cengkeh),
tetapi penghasilannya tidak seimbang," kata Wahab Marsaoly, petani di Desa
Ladake, persis di kaki Gunung Kiematubu di Pulau Tidore.
Hal serupa diungkapkan Kadir, warga Desa Folarora, Kelurahan Gamtufkange.
"Sekarang harganya rendah sekali. Semua petani mengalami kesulitan. Tetapi petani
tetap berkebun karena hal itu merupakan pekerjaan mereka secara turun-temurun,"
katanya.
Upah buruh harian
Harga cengkeh, menurut pengakuan petani, lebih murah daripada upah buruh harian
yang dipekerjakan di kebun-kebun mereka. Menurut Wahab, upah buruh di kebunnya
Rp 50.000 per hari. Untuk mengelola kebun seluas satu hektar, misalnya, dia dibantu
6-10 orang buruh. "Sebetulnya untuk biaya mengelola kebun kami sudah rugi, tetapi
kami tetap bertahan," katanya.
Menghadapi masalah harga ini, para petani terpaksa menimbun hasil panen mereka.
Mereka berpendapat, jika hasil panen tidak dijual berbarengan, harga jual biasanya
bisa lebih sesuai dengan yang diharapkan.
"Saya pernah melakukan itu. Saya tahan tujuh karung cengkeh. Begitu harganya
bagus, sekitar Rp 33.000 per kg, baru saya keluarkan (jual)," kata Kadir.
"Cara itu sering dilakukan, sebab kalau tidak seperti itu petani dimainkan terus oleh
cukong (tengkulak)," kata seorang petani lainnya.
Para petani cengkeh bisa melakukan penimbunan hasil panen seperti itu karena
mereka juga berkebun pala, yang harganya lebih bagus dibanding cengkeh. Selain
itu, pemilik kebun cengkeh juga ada yang berprofesi lain, seperti pegawai negeri.
Di Tidore, seperti kawasan Maluku Utara lainnya, hamparan kebun cengkeh terlihat di
lereng-lereng bukit. Sebagian besar petani di pulau tersebut adalah petani cengkeh
dan pala.
Harga mente turun
Harga panen hasil perkebunan juga dikeluhkan petani Nusa Tenggara Barat (NTB).
Saat ini mutu kacang mente kering dari daerah tersebut menurun sehingga harga jual
pun merosot tajam. Harga di tingkat pengumpul hanya Rp 4.500 per kg. Padahal,
pada Juli lalu komoditas serupa dijual Rp 5.800 per kg.
Cece Surjadi, Direktur Usaha Dagang Falia Putra sebagai pedagang komoditas
ekspor di Mataram, kemarin, menyebutkan, penyebab awal kemerosotan mutu
produk kacang mente adalah curah hujan yang relatif tinggi saat tanaman itu dalam
masa pembuahan. Penyebab lainnya adalah panen yang lebih awal.
Ia memperkirakan harga komoditas itu akan terus menurun menjadi sekitar Rp 3.000
per kg. Hal ini, menurut dia, mengingat sejumlah daerah produsen, seperti Pulau
Sulawesi, Madura, dan Flores, juga memasuki masa panen (Agustus-Desember).
Produksi mente dari NTB dinilai belum maksimal. Tahun 2004, dengan luas areal
tanam 36.373 hektar lebih, ekspor kacang mente NTB mencapai 874,77 ton atau
senilai 804.420 dollar AS. Pada tahun 2005 produksi meningkat menjadi 1.352 ton
(senilai 1.197.162 dollar AS dengan rata-rata harga ekspor Rp 102.000 per kg). Tujuan
ekspor, antara lain, adalah India, Australia, dan Filipina. (RUL)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|