Media Indonesia, Kamis, 10 Agustus 2006 20:01 WIB
Keluarga Kunjungi Tibo di Lapas Palu
Penulis: Hafid Laturadja
PALU--MIOL: Keluarga tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso Fabianus Tibo, 61,
mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Petobo Palu, Kamis
(10/8). Mereka, istri Tibo, Nurlin Kasiala, 49, Robertus Tibo, 27, (anak sulung Tibo),
beberapa keluarga dan seorang cucu.
Sebelum memasuki pintu Lapas istri Tibo, menyatakan tidak menerima hukuman
mati atas suaminya. "Saya belum siap menerimanya."
Nurlin Kasiala meminta pemerintah meringankan hukuman selain hukuman mati atas
suaminya. Ia mengaku terakhir bertemu suaminya Selasa (8/8) lalu. Saat pertemuan
itu, Tibo tidak memberi pesan apa-apa.
Robertus Tibo menyebutkan, pihaknya menolak hukuman mati yang dijatuhkan
kepada ayahnya dan dua rekannya, karena yakin ayahnya bukanlah aktor kerusuhan
Poso.
Robert juga menuntut aparat kepolisian mengungkap 16 nama yang di sebut-sebut
Tibo CS sebagai aktor dan penggerak rusuh Poso pada 2000. Karena dia, menilai
polisi setengah hati mengungkap aktor sesungguhnya dalam kasus Poso.
Rabu (9/8) pagi seorang pastor memberikan siraman rohani kepada Tibo CS.
Sementara itu seorang ibu bernama Tina, 42, menangis di depan pintu laps Palu
karena tidak diperbolehkan menemui Fabianus Tibo. Tina mengaku seorang pasien
dari Tibo atas penyakit kanker otak yang dideritanya. Ia mengaku kurun tiga bulan
terakhir berobat alternatif kepada Tibo.
"Selama tiga bulan berobat dengan Tibo, kanker otak saya sudah mulai berangsur
membaik," katanya.
Tina mengaku sangat kecewa kepada petugas Lapas yang tak memperbolehkannya
bertemu Tibo. "Saya ini masih dirawat di rumah sakit tapi mendengar Tibo mau
dieksekusi saya paksakan ke sini."
Tina mengaku bermaksud menemui Tibo hanya sekedar ingin bertemu. Bukan hanya
dia yang mendapat pengobatan alternatif dari Tibo tapi juga saudara-saudaranya.
Menjelang rencana eksekusi Tibo, 12 Agustus mendatang, pengamanan Lapas Kelas
II A Petobo Palu semakin diperketat. Di pintu masuk dijaga beberapa sipir dan hanya
keluarga dekat dan pihak yang berkepentingan diizinkan bertemu Tibo.
Selain itu pengamanan di menara-menara pengawas narapidana juga terlihat anggota
bersiaga yang pada hari biasanya terlihat lengang. Selain itu para narapidana yang
dikonfirmasi tentang kondisi ketiga terpidana mati dalam lapas mereka menolak
berkomentar.
Mereka mengaku sudah diinstruksikan petugas lapas agar tidak memberikan
keterangan bagi pihak luar tentang kondisi dalam lapas. "Saya tidak berani
berkomentar soal itu," kata seorang napi yang sedang membersihkan sampah di
lingkungan lapas sambil berlalu.
Pengamanan di perbatasan
Sejak surat rencana eksekusi terhadap tiga terpidana mati itu dikeluarkan Polsekta
Pamona Utara, Kelurahan Tentena juga berjaga-jaga. Pengamanan di lakukan di
sejumlah perbatasan di wilayah Tentena, seperti di pos masuk kelurahan Tentena.
Beberapa kendaraan yang melintasi daerah tersebut diperiksa polisi. Untuk
sementara, pemeriksaan difokuskan kepada kartu penduduk yang dibawa setiap
pengendara mobil.
Upaya ini dilakukan polisi untuk mencegah pihak ketiga yang ingin memanfaatkan
situasi menjelang rencana eksekusi Tibo Cs.
Menurut Kapolsek Pamona Utara Iptu Dekmon Tomotole, Polres Poso telah
memerintahkan peningkatan pengamanan di wilayahnya. Sedikitnya, 82 personil
polisi dilibatkan dalam pengamanan terbuka, pengamanan ditingkatkan, menjelang
aksi penolakan eksekusi.
Penambahan pasukan di wilayah Tentena dan Poso, dalam upaya peningkatan
pengamanan menjelang rencana eksekusi Tibo Cs.
Aksi menolak rencana eksekusi Tibo CS di Palu dan Tentana berlangsung Kamis
(10/8). Di Palu, sekitar 100 orang mendatangi Mapolda Sulteng dan Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Tengah, menolak eksekusi Tibo dan Amrozi Cs. Mereka menilai sudah
bukan saatnya pemberlakuan hukuman mati bagi masyarakat.
Berkenaan dengan rencana eksekuti mati Tibo Cs, Poso Center, sebuah koalisi 30
LSM di Palu-Poso, dan Tentena menilai eksekusi mati Tibo Cs menunjukkan
pemerintah tetap menganggap pelaku utama kekerasan Poso adalah komunitas
berbeda agama di Poso.
Secara khusus, pemerintah mereduksi aktor utama kekerasan Mei 2000 adalah Tibo
Cs. Padahal, fakta-fakta tentang kekerasan Mei 2000 yang memakan korban sangat
besar menunjukkan kekerasan itu terjadi dan meluas, karena provokasi, pembiaran,
dan keikutsertaan langsung unsur-unsur aparat pemerintah.
Hukuman mati terhadap Tibo cs menunjukkan pemerintah berusaha lari dari tanggung
jawab dengan sepenuhnya menganggap kekerasan Mei 2000 bersifat genuine
antarkomunitas di Poso, Tibo Cs dituduh sebagai biang utamanya.
Rencana eksekusi mati terhadap Tibo cs menunjukkan pemerintah tidak memiliki
agenda penyelesaian kekerasan Poso secara komprehensif. Ini jelas terlihat dari
rencana eksekusi mati Tibo Cs ini dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang
terpisah dari kekerasan-kekerasan Poso yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa
kekerasan Mei 2000.
Pemerintah seolah-olah menganggap semua kekerasan itu berdiri sendiri, karenanya
penyelesaian juga harus dilakukan secara terpisah-pisah.
Karena itu, Poso Center menyatakan Presiden RI hendaknya membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPFI) guna memperoleh fakta dan informasi
yang obyektif, jujur, dan menyeluruh tentang kekerasan Poso 1998 - 2006, serta
merekomendasikan penyelesaian kekerasan Poso secara komprehensif.
Termasuk, yang paling penting pengungkapan kembali fakta kekerasan sekitar Mei -
Juni 2000, di mana Tibo Cs divonis sebagai orang-orang yang paling bertanggung
jawab.
TGPFI inilah yang diharapkan dapat membuka kembali semua fakta yang
berhubungan dengan kontroversi tentang Tibo Cs dan merekomendasikan
penyelesaian hukum secara jujur dan adil. Olehnya, pemerintah perlu menunda
eksekusi mati terhadap Tibo CS. (HF/OL-02).
Copyright © 2006 Media Indonesia. All rights reserved.
|