Media Indonesia, Senin, 15 Mei 2006 00:00 WIB
Orang Gila di Negeri 'Gila'
SEORANG gila tiba-tiba berkelakuan seperti orang waras, yakni menjadi masinis. Ia
naik ke lokomotif kereta api yang sedang berhenti, tapi mesinnya hidup, lalu
menyetirnya mundur selama 1,5 jam. Kereta yang mengangkut lebih seribu ton solar
dan premium itu melaju dengan kecepatan 80 kilometer per jam, dan baru berhenti
bukan karena direm, melainkan akibat 12 dari 23 gerbongnya terguling.
Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Yang ada hanya seorang gila yang
tertawa-tawa, mengaku memiliki anak 15 orang, dan merasa puas telah bebas
menjalankan kereta.
Kecelakaan kereta api memang sering terjadi, namun kecelakaan kali ini sebaiknya
bukan menjadi urusan Menteri Perhubungan. Juga tidak usah dicari kesalahannya
pada jajaran manajemen PT Kereta Api Indonesia, termasuk masinis asli yang
memang waras. Kesalahannya mungkin meninggalkan lokomotif dengan mesin
menyala. Selebihnya, tidak usah diusut faktor teknis penyebab kecelakaan atau
faktor human error, karena memang yang menyetirnya manusia error.
Orang gila jelas bukan domain Menteri Perhubungan. Tetapi menjadi urusan Menteri
Kesehatan, karena menyangkut wilayah psikiatri. Bisa juga menjadi urusan Menteri
Sosial, karena orang bisa menjadi gila karena mata rantai tekanan sosial-ekonomi.
Yaitu, mulanya di-PHK, lalu menganggur, menjadi miskin, kemudian stres. Karena
miskin, tidak bisa berobat ke psikiater, dan karena tak diobati, menjadi gila.
Bukankah fakir miskin ditanggung negara?
Setepatnya, kita tidak tahu berapa banyak anak bangsa ini yang sudah gila dari segi
ilmu psikologi maupun ilmu kedokteran jiwa. Semenjak krisis ekonomi menghajar
negeri ini, secara spekulatif dapat dikatakan bahwa jumlahnya meningkat.
Presiden sudah ganti empat kali, tetapi kehidupan rakyat di lapisan bawah semakin
merana. Semakin sulit mencari kerja, daya beli kian merosot, yang miskin bertambah
banyak, dan hipotetisnya yang gila pun bertambah banyak.
Kasus orang gila yang menyetir kereta api itu harus dilihat hanyalah puncak gunung
es. Pemerintah harus prihatin, jangan-jangan yang gila memang telah bertambah
banyak. Tetapi karena hidup dalam 'kesunyian' dan 'kesendirian', orang gila tidak
mengganggu sehingga tidak menggugah negara untuk mengurus mereka. Tapi kasus
orang gila menjadi masinis itu, sebagai fenomena sosial, mestinya menghentak
negara.
Di negeri ini ada dua macam orang gila. Yang pertama, orang gila yang mesti menjadi
urusan ahli psikiatri, seperti yang menyetir lokomotif itu. Yang kedua, orang gila
harta, gila jabatan, gila kekuasaan, yang juga banyak jumlahnya. Bahkan, mungkin
lebih banyak lagi.
Gila yang terakhir itu bukannya berhenti setelah reformasi. Tapi, justru semakin
menjadi-jadi. Gila harta menyebabkan korupsi tetap merajalela, gila jabatan membuat
orang mementingkan kursi ketimbang pengabdian, dan gila kekuasaan memicu orang
menghalalkan cara.
Semua yang gila-gila itu tak bisa lagi diatasi dengan cara biasa-biasa saja. Harus ada
gerakan yang luar biasa gila untuk menyelamatkan negara ini dari gila yang
gila-gilaan itu.
Copyright © 2006 Media Indonesia. All rights reserved.
|