Paras Indonesia, May, 03 2006 @ 09:36 am
Pram, Palu Arit & Happy Salma
By: Tri Agus Siswowiharjo
"Pram meninggal pagi ini jam 08.55". Begitu SMS dari Mujib, pemilik penerbit Lentera
Dipantara, yang menerbitkan karya-karya Pramudya Ananta Toer. "Pengarang prosa
Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini," kata A Teeuw, kritikus asal
Belanda. Pramoedya Ananta Toer mengakhiri perjalanan panjangnya pada usia 81
tahun, 30 April 2006.
Maka sebuah rumah di Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu segera menjadi
sempit karena riuhnya kerabat dan sahabat yang melayat. Tampak ikut bersesak
antara lain Yeni Rosa Damayanti, Budiman Sujatmiko, Ratna Sarumpaet, Bimo
Nugroho, Goenawan Muhamad, Eryana Hardjapamekas, Jero Wacik, Romo Mudji
Sutrisno, Nurul Arifin dan Mayong, serta Oey Hay Djoen. Tampak pula karangan
bunga dari Happy Salma, PRD, PDI P, Playboy Indonesia, dan Yusuf Kalla.
Sahabat dan karangan bunga di Multi Karya dan yang mengantarkan ke pemakaman
menunjukkan Pram yang beragam, berwarna. Setidaknya warna itu sastra dan politik.
Tak dapat dimungkiri, Pram adalah salah satu ikon kiri di Indonesia. Pesonanya tak
hanya buat kawan palu arit namun juga si cantik Happy Salma. Pram adalah salah
satu pilar pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Melalui Lentera,
suplemen koran PKI Bintang Timoer yang diasuhnya, dia mengusung semangat
realisme sosialis dalam kesusatraan. Di situ pula dia menyerang sastrawan penganut
humanisme universal.
Ketika zaman berganti, Pram ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun
tanpa diadili. Ia tak cuma kehilangan kemerdekaan, tetapi juga harta miliknya:
buku-bukunya dijarah dan rumahnya disita tentara. Lalu kita tahu dari Pulau Buru lahir
tetralogi termasyhur: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan
Rumah Kaca. Kerasnya Pulau Buru ditandai dengan pendengaran yang terganggu.
Inilah "oleh-oleh" selama mendekam di pulau pembuangan itu. "Tahun 1965 saya
dipopor dengan senapan oleh Koptu Sulaeman sambil dia berteriak-teriak di telinga
saya," katanya. Pulau Buru membuat kesadaran baru tentang hidup, "Saya lebih
percaya pada hari depan kemanusiaan."
Rasanyanya baru kemarin, ketika sebuah pameran sekitar 160 sampul buku karya
Pram dihelat sekelompok anak muda untuk menghormati karya-karya besarnya.
Begawan sastra Indonesia itu diperingati hari lahirnya yang ke 81, 6 Februari lalu.
Dalam perayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) tersebut, Pram seperti berulang tahun
yang ke 18. Pasalnya, acara ayah delapan anak, kakek 16 cucu dan buyut dua cicit
itu dikemas gaul abis. Dari pentas baca puisi, monolog, sampai band beraliran rock
yang salah satu pemainnya cucu Pram. Bau wangi Rieke Dyah Pitaloka sampai
kepulan asap rokok para punkers memenuhi Teater Kecil. Pendek kata Pram waktu
itu gembira, bugar dan tegar.
Di usia yang kian senja, satu per satu penyakit mulai mendera Pram. Pada 1999, dia
mengidap penyakit jantung. Meski demikian, itu tak menyurutkan kebiasaan Pram
merokok. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari dia bisa menghabiskan dua bungkus
rokok yang setiap bungkus berisi 16 batang. Kebiasaan lainnya baik di Utan Kayu
maupun di Bojong Gede, menyapu dan membakar sampah daun-daun kering di
halaman rumahnya.
Ayah Ros, Ety, Neni, Astuti, Rina, Rita, Yan, dan Yudi itu telah pergi untuk
selamanya. Pria yang pernah masuk nominasi sebagai kandidat peraih hadiah Nobel
untuk bidang sastra itu, meninggalkan warisan yang amat berharga bagi dunia sastra
Indonesia. Dunia juga mengakui dengan diterjemahkan karya-karyanya dalam 38
bahasa mulai Yunani, Spanyol, Belanda, Jerman, Korea, Jepang, Turki, hingga
bahasa Malayalam (bahasa salah satu etnis di India) itu.
Albert Camus-nya Indonesia, sebut The San Fransisco Chronicle, menjelang tutup
usia, menyatakan keprihatinannya atas kondisi mutakhir Indonesia yang buruk.
Katanya, itu terjadi karena orang Indonesia tidak produktif, tapi lebih konsumtif
sehingga menghasilkan benua yang namanya korupsi. "Orang Jerman pernah
mengatakan orang Indonesia orang kuli. Mereka mau membayar hanya untuk menjadi
kuli," ujar penyandang gelar doktor honoris causa dari Michigan University pada 1999
tersebut.
Rasanya baru kemarin, ketika wangi parfum Happy Salma berbaur dengan para
punkers yang mengidolakan Kawan Pram. Selamat jalan Bung Pram. Semoga di
alam lain Bung menemukan rokok kretek dan sampah daun yang berserakan.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|