Paras Indonesia, June, 05 2006 @ 03:10 pm
Yogyakarta Memanggil Kita
By: Herdi Sahrasad
Bencana gempa bumi Yogyakarta dan sekitarnya, yang mencapai kawasan Ponorogo
dan Pacitan, menimbulkan korban luar biasa. Media massa melaporkan sekitar 6000
orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka, dengan kerugian harta benda sedikitnya
Rp3 triliun. Belum termasuk kerusakan situs budaya. Secara sosial dan kultural,
Yogyakarta dan sekitarnya, dalam bahasa Francis Fukuyama, mengalami patahan
besar (great disruption) yang mendebarkan. Patahan besar itu tidak hanya dalam
bentuk gempa tektonik, tetapi juga dalam wujud kepanikan sosial, dan keresahan
massal.
Sungguh kita berharap segera setelah terjadinya bencana itu, masyarakat di seluruh
pelosok Tanah Air ikhlas melakukan pengumpulan dana bantuan. Dibandingkan
tsunami Aceh-Sumut 26 Desember 2004, bencana Yogyakarta memanglah tidak lebih
dahsyat. Namun karena Yogyakarta dan sekitarnya merupakan kawasan padat
penduduk, maka skala musibah itu tak kalah mengenaskan. Karena itu spontanitas
dari masyarakat kita untuk memberikan bantuan, sangatlah diharapkan. Kita juga
berharap, sebagaimana dalam merespon bencana Aceh-Sumut, masyarakat mau
berbondong-bondong memberikan bantuan untuk kemanusiaan dan keadilan.
Di tengah kepedihan akibat bencana ini, solidaritas kita untuk rakyat Yogyakarta dan
sekitarnya sudah tentu akan menyejukkan. Hampir tidak ada ruang keluarga yang tak
tersentuh oleh berita tentang gempa bumi tektonik yang mengerikan itu. Sebagai
sesama anak bangsa, solidaritas sosial itu akan tertanam dalam di lubuk hati para
korban, dan akan memberi makna yang dalam berupa rasa persaudaraan sebagai
bangsa Indonesia. Solidaritas spontan yang kita lakukan itu mudah-mudahan dapat
menyentuh hati mereka, untuk memperkuat perasaan persaudaraan sebagai satu
bangsa.
Bencana Yogyakarta dan sekitarnya telah mengajarkan rakyat dan bangsa Indonesia
pada umumnya tentang makna hidup: bahwa, tanpa sesama yang lain, setiap orang
tidak bisa eksis, karena hanya lewat orang lain diri kita bermakna. Oleh sebab itu,
melalui semangat kebersamaan, solidaritas dan inklusifitas, harus dirancang visi-misi
ke depan, dengan mengembangkan berbagai konsep, gagasan, strategi dan program
pembangunan kembali Yogyakarta sesuai situasi kondisi sosial kultural masyarakat
setempat.
Dalam hal ini, mengacu kepada pandangan Heidegger, diperlukan pemeliharaan atas
semua semangat kehidupan dan kemanusiaan untuk menolong masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya dengan tidak melupakan pentingnya pemulihan psikologis,
yaitu proses pemulihan rakyat setempat dari trauma psikologis yang amat dalam
akibat gempa bumi, dengan menciptakan iklim rasa aman; merenungkan makna dan
hikmah berbagai bencana; dan membangun hubungan baru, yaitu dengan mengajak
rakyat setempat ikut serta secara aktif menyusun visi dan strategi masa depan
mereka. Penting pula rehabilitasi pendidikan, yaitu penciptaan sarana dan iklim
belajar yang aman dan kondusif bagi para murid, pelajar dan mahasiswa, sebagai
harapan bangsa dan generasi penerus masa depan.
Dalam hal ini, diperlukan rekonstruksi kultural, yaitu membangun masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya dengan merevitalisasi fungsi nilai-nilai sosial-budaya
sebagai pusat kebudayaan Jawa, dan reposisinya dalam konteks masyarakat masa
kini dan masa depan. Dalam konteks globalisasi dewasa ini, perlu dibangun kultur
intelektualitas dan spiritualitas, budaya inovasi dan penelitian, jaringan kerja sama
dan kemitraan, semangat kompetisi dan kewirausahaan, serta mentalitas produktif
dan keinginan berprestasi di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Agar
pasca gempa nanti, kehidupan sosial-ekonomi dan kultural masyarakat setempat
yang bercorak kolektif-kologial, bisa bangkit, berkembang dan kompetitif di tengah era
globalisme-kapitalisme yang lebih menekankan kekuatan individu.
Gempa Yogyakarta setidaknya mengingatkan bangsa ini supaya tidak lupa sejarah,
termasuk sejarah tsunami Aceh tahun 2004. Kesadaran akan sejarah ini bisa
membantu menghapuskan kepicikan, keserakahan, dan pembengkakan ego yang
berlebihan, yang kini gejalanya bisa dilihat dari maraknya korupsi di negeri ini
Dengan kesadaran itu, bencana Yogyakarya semestinya mengetuk hati para
penyelenggara negara agar mau menghapus sektor-sektor yang memboroskan
keuangan negara, serta memimpin dan memberi keteladanan penghematan. Ini bisa
dilakukan, misalnya, dengan memotong atau menghilangkan fasilitas mewah yang
selama ini dinikmati oleh penyelenggara negara dalam bentuk rumah, mobil, atau
kegiatan bepergian ke luar negeri.
Pemerintah juga harus mengupayakan agar pembangunan kembali Yogyakarta dan
sekitarnya harus bebas dari segala bentuk penyelewengan dan korupsi. Para
intelektual dan budayawan Yogya dan sekitarnya diharapkan dapat mengembangkan
berbagai bentuk pengetahuan, pemikiran, gagasan, ide, keterampilan, kepakaran, dan
kompetensi yang diperlukan dalam menyongsong proses pembangunan kembali
Yogyakarta dan sekitarnya di masa pasca gempa.
Bagaimanapun penanggulangan dan pengelolaan bencana tersebut harus bisa kita
lembagakan di masa depan. Dalam hal ini, dibutuhkan mekanisme yang melembaga,
dimana masyarakat sendiri memiliki kesadaran dan pranata untuk mengatasi
kompleksitas bencana dan musibah yang terjadi, yang mungkin di masa depan
terulang lagi.
Tentunya upaya besar ini memerlukan keteladanan dari atas (para pemimpin, elit dan
birokrat), juga budaya, etos kerja, disiplin dan rule of law. Karena itu, konsentrasi
pemerintah untuk mengupayakan langkah efektif dalam mengatasi bencana di
Yogyakarta dan sekitarnya ini, sangat diharapkan, dengan berangkat dari semangat
kebersamaan, solidaritas dan inklusivitas yang telah terjaga.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|