The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Paras Indonesia


Paras Indonesia, June, 07 2006 @ 06:46 pm

Wisata Gempa

By: Woro Wahyuningtyas

Ratusan kendaraan bermotor roda dua maupun mobil berduyun-duyun datang ke lokasi gempa yang menimpa daerah Bantul, Imogiri, Klaten dan sekitarnya. Di sepanjang Jl. Bantul dan Jl. Parangtritis yang merupakan dua jalan utama menuju daerah Bantul tiba-tiba menjadi padat dan terjadi kemacetan yang panjang. Padahal, dalam hari-hari biasa, hal itu tidak pernah terjadi.

Sebenarnya apa yang mereka cari di daerah gempa tersebut?

Beberapa jam pasca gempa, semua orang ingin melihat kejadian itu secara langsung. Pada awalnya mereka berkunjung ke rumah sakit, banyak dari mereka membawa kamera, memotret obyek yang menjadi korban gempa. Kejadian itu kadang sangat mengganggu petugas medis menjalankan tugasnya. Bahkan di RS Bethesda Yogyakarta, pada hari Sabtu pagi tanggal 27 Mei 2006, pengunjung membanjiri halaman rumah sakit membawa kamera, dan sibuk memotret para korban gempa, orang-orang yang terluka. Kejadian yang sangat ironis, tapi itulah yang terjadi saat itu.

Sehari pasca bencana gempa, sepanjang jalan menuju ke Bantul dipadati oleh kendaraan yang berduyun-duyun menuju lokasi gempa. Kendaraan pembawa bantuan logistik korban gempa pun kewalahan untuk menuju lokasi gempa. Banyak kendaraan bernomor kendaraan dari luar kota Jogjakarta, antara lain Semarang, Surakarta (Solo), Madiun, Jakarta, Bengkulu dan beberapa kota lainnya. Hal dapat dipahami karena mereka ingin melihat keadaan sanak - saudaranya yang tertimpa bencana. Tetapi tidak sedikit pula orang yang hanya datang dari luar Jogja hanya untuk melihat secara langsung apa yang terjadi. Mereka tentu bukan orang yang berada dalam tingkatan ekonomi rendah karena mereka datang dengan menggunakan kendaraan-kendaraan beroda empat. Mobil-mobil yang mereka gunakan juga bukan mobil biasa, termasuk mobil keluaran baru antara lain Honda Jazz, Kijang Inova, Toyota Avanza dan merk-merk mobil yang lain.

Berapa banyak bahan bakar yang mereka habiskan hanya untuk memuaskan keinginan mereka berwisata? Untuk hitungan Surakarta - Yogyakarta (Bantul) paling tidak membutuhkan sekitar Rp100.000 untuk pembelian bahan bakar, belum lagi logistik yang diperlukan selama perjalanan. Paling tidak mereka bisa menghabiskan sekitar Rp200.000 sekali perjalanan. Dengan uang sebesar itu mereka bisa membeli kurang lebih empat sampai lima kardus mie instant dan air mineral yang bisa mereka serahkan kepada para pengungsi yang mengalami musibah gempa. Apabila mobil yang datang ada 100 buah, maka biaya operasional mereka bisa dibelikan sekitar 500 kardus mie instant.

"Saya khusus datang dari kota Bandung untuk sekedar melihat secara langsung keadaan pasca gempa di daerah Bantul, tapi saya juga membawa sedikit bantuan untuk mereka kok," kata Asep, seorang turis dari Bandung.

Asep datang dalam rombongan lima mobil. Mereka datang dan memberikan bantuan ke salah satu posko yang terletak di Jl. Imogiri Barat. Kepuasan untuk melihat korban dan suasana pasca gempa ini membuat orang berfikir tidak rasional. Mereka tidak berpikir bahwa biaya yang mereka pergunakan untuk menuju lokasi bisa jadi sama besar dengan besarnya sumbangan yang mereka berikan.

Lalu lintas yang menjadi padat secara tiba-tiba ini juga dikarenakan mereka banyak berhenti di pinggiran ruas jalan hanya untuk memotret obyek gempa, gedung perkantoran dan kampus yang runtuh, dan rumah yang rata dengan tanah. Hal ini tentu menyusahkan mobil-mobil pembawa bantuan untuk masuk ke daerah lokasi bencana dan menghambat evakuasi korban dengan menggunakan ambulans. Hal yang sama juga diceritakan oleh seorang korban gempa yang berada di wilayah Bambanglipuro Bantul.

"Kami ini bukan tontonan mbak, tapi kok ada saja orang yang datang hanya untuk melihat-lihat, sudah gitu mereka foto-foto disini, apa kami tidak nelongso?" demikian dikatakan oleh Surati.

Apabila di Aceh terdapat wisata tsunami, sekarang di Yogyakarta dan sekitarnya ada fenomena yang sama, yaitu wisata gempa.

Pemandangan ini juga terjadi di daerah bencana yang lain, yaitu di Kecamatan Gantiwarno dan Wedi Kabupaten Klaten. Seminggu pasca gempa, mobil-mobil dan sepeda motor berarakan sepanjang jalan menuju ke Klaten. Di hari-hari awal pasca gempa wilayah kecamatan Jatinom, satu-satunya jalan terdekat dari arah Semarang ke Klaten, tiba-tiba menjadi sangat padat. Semua kendaraan hampir berjalan merayap, dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam.

"Biasanya kalau hari-hari biasa, jalan kesini (Wedi dan Gantiwarno) belum tentu dalam satu menit ada mobil yang lewat, paling-paling motor, itu saja tidak banyak, hanya 1-2 saja," menurut Marsini, penduduk setempat yang bertempat tinggal di Dengkleng Wedi, salah satu daerah terkena gempa.

Namun sekarang berubah drastis. Kini dalam satu menit bisa delapan sampai 10 mobil dan 15 sepeda motor yang melintas.

"Kalau yang kesini sambil bawa bantuan masih lumayan mbak, tapi kalau yang kesini cuma lewat dan melihat-lihat, kok seperti tidak punya hati ya," kata Marsini.

Fenomena wisata bencana ini memang benar terjadi, menurut penuturan Prapto yang datang dari Kecamatan Boja, Kendal. Beliau dan rombongan sebanyak tiga mobil dan dua truk berisi manusia jauh-jauh datang dari Boja untuk melihat kondisi lokasi gempa sekaligus memberikan bantuan ala kadarnya yang dikumpulkan oleh penduduk wilayah setempat. Banyaknya biaya operasional yang digunakan untuk sampai pada lokasi gempa di Kecamatan Gantiwarno tidak kalah besar dengan bantuan yang mereka berikan kepada para korban.

Dalam fenomena wisata bencana ini, sebenarnya bisa dikategorikan menjadi dua jenis wisatawan. Yang pertama wisatawan yang datang dan membantu korban ala kadarnya. Yang kedua wisatawan yang hanya datang untuk melihat-lihat dan memotret sana-sini.

Karena tidak ada kesiapan dari Pemerintah, hal diatas terus terjadi sampai tulisan ini dibuat atau 11 hari pasca gempa. Jalanan masih macet, bahkan keadaan makin kacau pada empat sampai hari hari pasca bencana gempa karena terjadi penjarahan di posko-posko penerima bantuan. Para penjarah tersebut adalah orang-orang yang kekurangan makanan karena sistem distribusi yang tidak terkontrol. Di desa-desa yang jauh dari jalan raya, mereka seperti tidak tersetuh oleh bantuan. Banyak dari mereka hanya berteduh di bawah terpal yang sudah tidak layak pakai, atau tikar yang dibuat sebagai tempat berteduh. Banyak dari mereka hanya makan singkong yang mereka ambil dari sisa-sisa reruntuhan bangunan disana.

Kemana mobil-mobil dan kendaraan lain yang ingin berwisata tadi?

Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoegajah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044