The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Radio Netherland Hilversum


Radio Nederland Wereldomroep, 15-09-2006

"Pahlawan Perdamaian"

Abopeprijadi Santoso

Pak Wem, begitu dia menyebut dirinya, tertawa terkekeh-kekeh ketika saya tanya mengapa Ambon akhirnya bisa mencapai perdamaian setelah kerusuhan berdara! h antara dua komuniti religius sejak tahun 1999. "Orang Ambon ini panasan, seng (tidak) mau berpikir. Akhirnya kan yang rugi kita kita juga, dan anak anak kita, kan…. Kita ini bodo-bodo mau dimainin orang luar," ujar Wem, supir taksi yang mengantar saya dari Bandara Pattimura ke kota Ambon baru baru ini.

Ambon yang damai

Tertegun mendengar ini, saya cenderung tidak percaya. Masak orang-orang ini "bodo-bodo" sampai membiarkan diri mereka bermandi darah bertahun-tahun sebelum mencapai perdamaian?

Ambon, baik kotanya maupun propinsi Maluku pada umumnya, sekarang telah damai dan tenang. Ini tak perlu diragukan lagi. Di sana sini masih ada bentrokan, tapi tidak signifikan. Bahkan ada bentrokan antar kampung sewaktu saya di sana, tapi ini pun tidak menjalar menjadi pertempuran antara dua komuniti seperti di masa lalu. Ambon kini "sudah manise", kata orang! di sini. Hampir semua orang yang saya temui meyakinkan saya bahwa keadaan telah bagus. Kotamadya Ambon bahkan merayakan HUT ke-431 tanggal 7 September yang lalu. dengan optimisme, dengan memasang tajuk "Majulah Ambonku". Sampai larut malam orang hilir mudik dengan tenang di jalan utama A.J. Patty yang dulu pernah menjadi kawasan perbatasan antara kubu Muslim dan Kristen. Kini, di pusat kota, Lapangan Mardika, sampai dini hari, orang berbondong-bondong merayakan HUT ibukota dengan kembang api dan bermacam-macam atraksi.

Mirip Aceh

Ambon mirip Aceh. Keduanya pernah mengalami luluh-lantak akibat konflik bertahun-tahun yang membawa dampak struktural bagi prasarana ekonomi dan pendidikan. Keduanya sudah lama merindukan perdamaian setelah lama menjadi ajang perang saudara. Di Aceh maupun di Ambon pernah diturunkan lebih dari 20 batalyon tentara dan polisi, tapi peran mereka di kedua propinsi itu malah membuat konflik dan perang makin parah. Kini, kedua negeri itu berada di tengah euforia perdamaian.

Tapi, ada satu perbedaan yang penting: dalam konflik-vertikal ini, Aceh "membutuhkan" perang yang melelahkan kedua pihak, musibah dasyhat tsunami, tekanan dunia, serta peran aktif Eropa, sebelum berhasil mencapai perdamaian, sedangkan Ambon tidak.

Berkat provokasi

Dalam stereotipe yang berlaku di Ambon kini, konflik dan kerusuhan berdarah itu dikatakan semuanya terjadi berkat campur tangan dan provokasi "orang orang luar". Tentu, ada benarnya, namun tidak sepenuhnya demikian. Ada benih-benih konflik yang tertanam di Maluku sejak akhir 1990an. Ada isu-isu KKN seputar elit birokrasi daerah yang bernuansa komunal-religius. Semuanya itu akhirnya disulut menjadi konflik terbuka oleh jaringan jendral dan preman yang bermain dari Jakarta dan di Ambon yang kemudian bereskalasi, meluas ke seluruh kepulauan Maluku. Bahkan 24 batalyon TNI non-organik yang pernah dikerahkan akhirnya terlibat ke dalam konflik itu sendiri, mereka saling berperang. Terbukti dari asrama Brimob yang musnah akibat roket-roket korps tertentu. Persetujuan Malino ke-II 2002 pun datang, tapi ini hanya merupakan kesepakatan antar elit yang - dalam istilah lokal - menjadi "kamuflase" untuk berebut sumber daya bantuan pusat. Akhirnya Yon Gab (batalyon gabungan) yang para anggotanya tidak terlibat sentimen-sentimen lokal berhasil memulihkan keamanan.

Tapi ada satu faktor lokal yang menyumbang dan memperkuat perdamaian Ambon yang langka di daerah daerah konflik lainnya: yaitu peran komuniti tingkat akar rumput di kantong-kantong konflik itu sendiri.

Seruan perdamaian dari masyarakat lokal

Ibu Ottie Patty, misalnya, adalah korban kerusuhan yang terpaksa mengungsi dari Batu Merah (daerah Muslim). Ibu Kristen ini kangen sekali kembali bertemu rekan-rekan sekampungnya, yang Kristen maupun yang Muslim. Merasa tergerak, ia bangkit dan menjadi aktivis Perempuan Peduli Maluku dan mengajak teman-temannya yang Muslim untuk kembali ke kampung Kristen, dan teman-temannya yang Kristen mudik ke kampung Muslim. Pada mulanya Ibu Ottie menjadi cemoohan orang. Tapi dia bertekad dengan memasang syarat rekan-rekannya harus tetap memakai simbol-simbol religiusnya. "Mari kita pergi dan kau harus tetap seperti biasa, pakai jilbabmu. Kalau kau tak mau, itu munafik. Kalau kau mau, itu kau benar-benar pahlawan perdamaian!".

Seruan ini lama kelamaan membawa hasil. Orang memperoleh keberaniannya kembali tanpa mengorbankan jati diri dan simbol-simbolnya. Upaya seperti ini bahkan sempat memulihkan sejumlah pasar bagi semua komuniti, yang selama konflik sempat terbelah dan dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang dari luar Ambon. Tekad dan kesabaran seperti ini banyak terjadi dan akhirnya berbuah sumbangan perdamaian.

Dengan kata lain, konflik dan kerusuhan akhirnya memaksa dan membiasakan penduduk untuk memilah-milah rupa-rupa bentuk dan sifat faktor-faktor dan kepentingan dari luar yang muncul di tengah masyarakat Maluku. Mereka bukan "orang-orang bodo-bodo " yang membiarkan kerusuhan berkepanjangan, seperti diistilahkan Pak Wem, melainkan orang orang yang pintar, menghimpun daya dan bertekad menerobos situasi, semacam Ibu Ottie. Mereka, singkatnya, adalah pahlawan perdamaian…

© Hak cipta 2006 Radio Nederland Wereldomroep
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoegajah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044