Radio Vox Populi [Ambon], 05-Sep-2006
Tujuh Tahun, Masalah Pengungsi Maluku Belum Tuntas
Azis Tunny - Ambon
SEDIKITNYA 100 pengungsi asal Wailawa dan Tawiri Kecamatan Teluk Ambon
Baguala pada Rabu (30/8), mendatangi Posko Penanggulangan Pengungsi di Jalan
AY Patty Ambon. Pengungsi korban kerusuhan Ambon yang rumahnya terbakar
sejak tahun 1999 itu datang menagih janji pemerintah yang hingga tahun ini belum
dipenuhi.
Untuk mendapat bantuan berupa bahan bangun rumah (BBR) itu, seluruh kriteria
seperti kartu keluarga, denah rumah, serta peta blok (lokasi rumah terbakar), telah
disiapkan para pengungsi. Tempat bekas tempat rumah mereka yang terbakar telah
didatangi petugas dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku sejak tahun 2004.
Namun bantuan yang ditunggu-tunggu belum juga datang.
"Kami sudah menunggu dari tahun 2003, sampai sekarang belum mendapat
apa-apa," kata Ny. Aisya Lawalota (65), pengungsi Wailawa kepada Radio Vox
Populi.
Dikatakannya, rumahnya yang terbakar di Wailawa sudah didatangi oleh petugas
pemerintah guna memastikan bahwa dia benar-benar pengungsi korban kerusuhan.
Namun ketika Aisya bersama pengungsi lainnya mendatangi Kantor Dinas
Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku untuk meminta BBR, mereka selalu ditolak.
"Apa yang diminta sebagai syarat memperoleh BBR sudah kami siapkan. Tapi setiap
datang ke kantor dinas sosial, kami selalu ditolak dengan alasan macam-macam,"
katanya.
Abdul Hasan (46), pengungsi lainnya katakan, dirinya dan pengungsi lainnya khawatir
jika tahun ini mereka belum juga memperoleh bantuan BBR. "Kami khawatir dana dari
pusat (pemerintah pusat, red) tidak lagi cair untuk membantu pengungsi maluku.
Untuk itulah kami datang untuk meminta hak kami" katanya.
Bapak lima anak yang sehari-hari bekerja serabutan ini mengaku sulit membangun
rumah baru dengan biaya sendiri, karena untuk menafkahi keluarganya saja
dirasakannya sudah begitu susah. "Kalau saya orang kaya tidak mungkin saja datang
meminta bantuan seperti ini, tapi kasihan kami ini orang kecil yang menjadi korban,"
tuturnya.
Pantauan Radio Vox Populi, kedatangan ratusan pengungsi ini tidak membuahkan
hasil karena mereka tidak menemui pihak berkompeten di posko. Sejumlah petugas
yang menerima mengatakan, akan melanjutkan aspirasi para pengungsi itu. "Apa
yang menjadi keluhan dan keinginan bapak-ibu akan kami sampaikan ke pihak yang
berwenang dalam hal ini pihak dinas sosial," kata salah seorang diantara mereka.
Belum tuntasnya masalah pengungsi ini membuat sejumlah kalangan di Maluku
menduga telah terjadi penyimpangan dana bantuan pengungsi. Hingga kini belum
terungkap dugaan korupsi dana ratusan miliaran rupiah ini secara transparan,
termasuk pula hasil penyelidikan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas
Tipikor) yang dilakukan pekan lalu di Ambon.
Tiga anggota Timtas Tipikor yang menyelidiki dugaan korupsi dana pengungsi selama
1999 hingga 2006, hingga selesai bertugas selama tiga hari di Ambon pada akhir
pekan lalu, tidak terungkap tujuan dan hasil penyelidikan mereka. Timtas Tipikor yang
diketuai Kombes Pol Heru Ismowo sudah memeriksa sejumlah pejabat di Kantor
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku serta dokumen penggunaan anggaran
penyelesaian pengungsi. Namun hingga kembali ke Jakarta, tim ini selalu menghindar
dari wartawan.
Jumlah anggaran penanganan pengungsi yang sampai di tangan pemerintah seperti
yang disampaikan Asisten II Setda Maluku Rahman Soumena kepada Radio Vox
Populi mencapai Rp.800 miliar lebih, dimana Rp.600 miliar dikelolah Dinas
Kesejahteraan Sosial dan sisanya dikelolah Dinas Pekerjaan Umum serta Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sementara jumlah pengungsi dari tahun 1999 hingga
tahun 2004 sebanyak 65.910 kepala keluarga dan yang sudah tertangani 62.860 KK
Kedatangan Timtas Tipikor dinilai sebagai komitmen pemerintah pusat untuk
memberantas tindak pidana korupsi terutama penyelewengan dana pengungsi. Dia
berharap, pihak penyelidik dapat mengungkapkan semua temuan yang ada secara
transparan ke publik. "Apa yang dilakukan Tim Tipikor memperkuat dugaan bahwa
ada yang tak beres dalam penyelesaian pengungsi. Dugaan ini memang sudah lama.
Bayangkan, sudah tujuh tahun pengungsi yang hanya sekitar 65 ribu KK belum bisa
diselesaikan pemerintah," kata Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ambon
Husein Marasabessy.
Kondisi ini, kata dia, sangat paradoksal dengan anggaran yang dialokasikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi Maluku. Sampai dengan tahun 2006,
alokasi anggaran yang bersumber dari APBN mencapai Rp.800 miliar. Angka ini
belum termasuk dari anggaran yang bersumber dari APBD.
Sity Sangadji, pengungsi asal Waringin yang ditemui terpisah meminta agar
pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari penderitaan pengungsi mesti dihukum.
Dia berharap, persoalan penyelesaian pengungsi sudah saatnya mendapat perhatian
Presiden Indonesia. "Kami minta komitmen bapak presiden dalam upaya
pemberantasan korupsi. Apalagi uang negara yang dikorupsi itu buat rakyat kecil
yang menjadi korban," kata Sity.
Berbeda dengan versi pemerintah, Ketua Koalisi Pengungsi Maluku Pieter
Pattiwaelapia mengatakan, dana pengungsi yang dikucurkan ke Maluku sudah
mencapai Rp.1,2 triliun. "Masyarakat perlu mengetahui penyebab keterlambatan dan
kendala penanganan pengungsi Maluku agar tidak terjadi bias persepsi di
masyarakat," tandas Pieter. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|