The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Radio Vox Populi


Radio Vox Populi [Ambon], 05-Sep-2006

Kearifan Lokal Tampil Damaikan konflik

Azis Tunny - Ambon

KONFLIK antar warga dengan mengusung simbol-simbol agama di Maluku memang fenomenal. Sejak pecah konflik tanggal 19 Januari 1999, dalam sekejab intensitasnya begitu tinggi dan menimbulkan korban dalam jumlah besar, baik jiwa maupun harta. Konflik yang tadinya terjadi di Kota Ambon dengan cepat menyebar ke daerah-daerah, menyentuh semua lapisan masyarakat. Akibatnya lebih dari 80 persen wilayah pemukiman di Maluku terdegragasi berdasarkan agama

"Konflik bernuansa agama di Ambon menandai indikasi begitu lemahnya spirit agama sebagai kekuatan civil society yang pro kemanusiaan. Agama-agama bukannya berperan sebagai kekuatan integrasi sosial, justru digunakan sebagai simbol segmentasi dan segregasi sosial yang menjustifikasi konflik dan kekerasan," ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku Pdt. Jacky Manuputty.

Pernyataan Manuputty ini disampaikan saat menjadi pemateri dalam Interworking Group Visits, dengan tema "Revitalisasi Perdamaian Melalui Kearifan Lokal", hasil kerjasama International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Uni Eropa di Ambon, Jumat (25/8). Peserta yang mengikuti acara ini berasal dari tiga provinsi yang dilanda konflik masing-masing Maluku, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat.

Manuputty menjelaskan, sejak dulu keberagaman Maluku sudah inklusif dan pluralis. Dalam pandangan kosmologi nenek moyang orang Maluku sudah memiliki horizon yang sangat maju yakni cara pandang yang bersifat monodualistik (dua tapi satu), dunia atas dan dunia bawah. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi negeri (desa adat) Islam dan negeri Kristen, yang dalam budaya orang Maluku dikenal dengan sebutan "Salam-Sarane" (Islam-Kristen).

Dalam cara pandang monodualistik inilah nenek moyang orang Maluku dengan akal budi yang luhur meletakan dasar peradaban yang cukup tinggi namun modern yakni membuat kontrak sosial seperti di Maluku seperti di wilayah Maluku Tengah dikenal istilah "Pela Gandong" dan "Larvul Ngabal" di Maluku Tenggara. Kedua sistem kultural ini menjadi perekat sosial Islam dan Kristen. Bahkan identitas sosial kultur masyarakat ini memberi spirit bagi ikatan kemanusiaan antar "agama orang bersaudara". Hubungan pela gandong maupun larvul ngabal ini mengikat dua atau lebih negeri-negeri di Maluku tanpa melihat agama masyarakatnya.

Sehingga tidak salah jika, kata Manuputty, Maluku pernah menjadi ikon harmonisasi Islam dan Kristen namun terstimulir menjadi konflik hanya karena perkelahian sopir angkot bernama Jopie (pemuda Kriasten) dan seorang pemuda Islam Nursalim, yang selanjutnya secara spontanitas meluas begitu cepat dan tak terkendali.

"Tidak ada yang salah dengan kearifan lokal tapi semata karena politisasi agama berkembang cukup pesat. Ketika peran agama tak mampu selesaikan konflik, kearifan lokal justru efektif mempersatukan masyarakat yang tercerai-berai berdasarkan komunitas agama," tandasnya.

Dikatakannya, kearifan lokal menjadi instrumen penyelesaian konflik Maluku. misalkan, saat pengembalian pengungsi negeri Waai Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah yang mayoritas penduduknya Kristen, negeri pela Waai yakni Morela yang berpenduduk Islam melakukan pendekatan dengan negeri-negeri Islam, bertetangga dari Waai seperti Tulehu dan Liang.

"Untuk menghindari resistensi saat pengungsi Waai pulang, masyarakat Morela mendinamisir negeri-negeri tetangga Waai yang Muslim sehingga mereka bisa pulang dengan damai dan diterima negeri tetangganya," katanya.

Contoh lainnya, kata dia, seperti negeri Zeith dan negeri Ouw yang terikat dalam relasi sosial Gandong yakni dua atau lebih negeri yang memiliki asal-usul yang sama. Dalam situasi memanasnya konflik, pemuda Ouw yang beragama Kristen justru tinggal dan menetap di Zeith yang berpenduduk Islam tanpa diganggu dan terancam. Kehadiran pemuda Ouw di negeri gandongnya itu untuk membangun rumah raja (kepala desa adat) Zeith

Meskipun begitu, Manuputty mengakui, akibat perkembangan jaman relasi sosial khususnya di Ambon bergeser menjadi relasi ekonomi karena perkembangannya sebagai kota migran dan barometer politik, ekonomi, pendidikan di Maluku. Kondisi ini turut pengelompokan masyarakat berdasarkan etnis dan agama. Agama begitu pesat terpolarisasi di ruang publik dan mengalami degradasi yang cukup vital. Ini kian diperparah dengan penerapan UU Nomor 5 Tahun 1979, tentang penyeragaman strata pemerintahan desa adat menjadi desa. Praktis relasi Pela Gandong sebagai tatanan etnis dan hukum desa adat di Maluku mulai tergeser.

Pembicara lainnya, Asisten II Setda Maluku Rahman Soumena mengakui konflik di Maluku terjadi begitu besar sehingga nyaris sulit teratasi. Eskalasi konflik, katanya, paling besar terjadi di Ambon dan Maluku Tengah, begitupula dengan jumlah pengungsinya.

"Di Ambon, kecenderungan konflik terjadi di daerah perbatasan sedangkan di Maluku Tengah justru terjadi penyerangan dari desa ke desa bahkan sampai menyeberangi laut untuk bisa menghancurkan desa lain," ungkapnya.

Meskipun sudah damai, namun menurutnya, Maluku masih rentan konflik karena beberapa persoalan mendasar belum selesai seperti pengungsi dan jika tidak dituntaskan bisa menimbulkan konflik baru. "Untuk memulangkan pengungsi kita kerap menggunakan beragam variabel, dari pendekatan adat sampai penegakan hukum. Tapi penegakan hukum sampai saat ini tidak pernah dilakukan," terangnya. (VP)

Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoegajah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044