The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Radio Vox Populi


Radio Vox Populi [Ambon], 09-Jun-2006

Kalpataru Haruku Kembali Diusik Demam Emas

Azis Tunny - Ambon

Meskipun ditolak masyarakat Negeri (desa adat) Haruku Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah, upaya penelitian untuk eksplorasi dan eksploitasi emas di tanah ulayat Haruku terus dilakukan. Tindakan ini bakal mengan! cam tradisi adat Haruku yakni Sasi (pelarangan mengambil hasil hutan dan laut sebelum waktunya) yang telah mengantar mereka memperoleh kalpataru dan satyalencana pembangunan dari pemerintah Indonesia.

Perjuangan masyarakat Haruku menentang pertambangan emas dilakukan sejak tahun 1990, saat PT. Aneka Tambang dan In Gold yang kegiatannya sudah sampai tahap eksplorasi, terpaksa menghentikan kegiatannya akibat desakan masyarakat bersama kelompok pemerhati lingkungan dan hak masyarakat adat. Namun, pada 3 Juni 2006 pekan lalu, ketenangan masyarakat Haruku kembali terusik ketika sejumlah orang mematok tanah ulayat Haruku, tanpa pemberitahuan dan mendapat ijin dari masyarakat.

Pematokan tanah ini disinyalir untuk tujuan eksploitasi tambang emas dalam kandungan perut bumi Haruku. Pasalnya, Camat Pulau Haruku J. Kene sebelumnya melakukan pertemuan dengan pemerintah negeri dan masyarakat Haruku pada 5 Maret 2006. Dalam pertemuan itu camat meminta agar masyarakat memberikan ijin PT. Galtam-Indonesia melakukan penelitian pertambangan di tanah ulayat Haruku.

Permintaan camat lantas ditolak masyarakat yang tidak menghendaki agar penelitian, eksploirasi, maupun kegiatan apapun dilakukan di atas tanah ulayat Haruku yang merupakan tanah dati dan tanah pusaka mereka.

Penolakan masyarakat cukup beralasan. Mereka memiliki pengalaman buruk dengan adanya upaya pertambangan yang dilakukan sejak tahun 1990. Mendapat dukungan dari LSM, media massa, kelompok pecinta alam, dan aktifis lingkungan hidup baik di Maluku, Indonesia maupun dari luar negeri, perjuangan panjang masyarakat Haruku akhirnya menuai hasil dengan tidak dilanjutkannya eksplorasi emas oleh PT. Aneka Tambang dan In Gold tahun 1997.

Namun kemenangan masyarakat adat ini tidak bertahan. Mereka kembali resah ketika secara diam-diam datang sejumlah orang ke hutan Haruku dan memasang patok, mulai dari perbatasan Rohomoni (negeri tetangga) sampai ke belakang perkampungan atau sekitar 100 meter dari rumah penduduk.

Kedatangan diam-diam tersebut dilakukan bersamaan dengan hari Sabtu, dimana menurut kebiasaan masyarakat Haruku pamali (larangan) untuk pergi ke hutan karena persiapan ibadah gereja pada hari Minggu dan Senin. Pada hari inilah digunakan orang-orang tersebut memasuki hutan adat Haruku.

Menghadapi persoalan ini, kepada wartawan di Ambon Kepala Kewang (penjaga lingkungan dan kampung dalam strata adat) Haruku Eliza Kissya meminta agar upaya penelitian, eksplorasi, maupun kegiatan apapun yang dilakukan di Negeri Haruku harus dihentikan. Apalagi, kata dia, tanah dati dan tanah pusaka yang merupakan tanah adat masyarakat dilindungi UUD 1945 pasal 18 point b dan pasal 28 point 1 yang menjamin hak-hak adat dan hutan masyarakat, serta UU Operasional Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 6 yang mengakui hak-hak masyarakat adat.

Eliza menyesali tindakan camat yang memberikan ijin sepihak kepada tim peneliti dengan membawa sejumlah pemuda Rohomoni, desa tetangga yang pernah bertikai dengan Haruku saat pecah konflik Maluku. "Ini bisa mengadu domba kami dengan basudara (saudara) di Rohomoni, apalagi yang melakukan pembersihan tanaman dan memasang patok adalah pemuda Rohomoni. Ini bisa menimbulkan salah paham padahal kami sudah menjalin hubungan baik untuk menjaga kedamaian di Pulau Haruku. Kami minta masalah ini mendapat perhatian serius dari bapak gubernur," kata Eliza kepada Radio Vox Populi di Maluku Media Centre, Rabu (7/6) sore.

Ia mengatakan, dampak kerusakan lingkungan yang akan timbul jika pertambangan tetap dipaksakan di Pulau Haruku yang hanyalah sebuah pulau kecil berpenghuni, bakal mengancam kehidupan masyarakat. Bukan saja masyarakat Haruku, tapi sepuluh negeri adat lainnya yang mendiami pulau tersebut maupun pulau-pulau sekitarnya bakal terancam akibat limbah perusahaan jika melakukan eksploitasi emas.

"Kita bisa lihat kasus Buyat (Sulawesi Utara), Minamata (Jepang) maupun Filipina Utara yang akibat pertambangan emas, derita yang ditanggung masyarakat tidak sedikit. Ini tidak baik karena Pulau Haruku hanyalah sebuah pulau kecil yang kalau di peta Indonesia saja tidak terlihat. Pulau Haruku terlalu kecil untuk dijadikan objek pertambangan," katanya mengingatkan.

Bukan saja lingkungan hidup, tradisi para leluhur yakni Sasi bakal terancam punah. Padahal tradisi adat yang bertujuan untuk penjagaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan ini mengantarkan Haruku memperoleh kalpataru tahun 1985 dan satyalencana pembangunan tahun 1999. Eliza yang menjabat sebagai Kepala Kewang sejak tahun 1997 mengkuatirkan, akses perusahaan pertambangan di negeri mereka akan mematikan tradisi Sasi. "Jangan sampai tradisi ini hilang karena tekanan kekuasaan," tandas salah satu pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.

Karena tidak memperoleh ijin penelitian pertambangan dari masyarakat, camat lantas mengirimkan dua surat ke Penjabat Raja Negeri (kepala desa) Haruku yang isinya bahwa camat telah memberi ijin kepada pegawai Pusat Sumber Daya Geologi guna melakukan penyelidikan geologi, geokimia, geofisika dan panas bumi selama dua bulan. Surat tertanggal 3 Juni 2006 ini dikeluarkan bersamaan dengan dilakukan survei dan pemasangan patok.

Ironinya, dalam surat camat disertai enam point penting diantaranya, memperhatikan dan mentaati kebudayaan dan adat istiadat setempat. "Justru apa yang telah dilakukan sangat mengganggu dan tidak menghargai hak-hak adat masyarakat kami," tandas tokoh adat ini.

Eliza menambahkan, masyarakat Haruku sudah tidak lagi percaya dengan trik dari pihak tertentu yang ingin mengeruk emas di negeri mereka. Pengalaman masa lalu cukup memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk bersikap.

Ketika menghadapi masa-masa sulit itu, salah satu warga Haruku Semi Latupapua sampai dipenjara gara-gara hendak melapor ke Polsek Pulau Haruku perihal kebunnya dipasangi kabel untuk eksplorasi emas dan pohon cengkih miliknya ditebang pihak perusahaan. Saat akan melapor ke polisi dengan membawa potongan kabel dan dahan cengkih miliknya yang ditebang sebagai barang bukti, justru Semi dipenjara dengan tuduhan sebagai pencuri.

Belum lagi, pihak perusahaan yang dibacking oknum aparat keamanan dan pemerintah memasang papan larangan bertuliskan "Dilarang Masuk dan Merusak Hutan Lindung". Pemasangan papan larangan ini tentu saja membingungkan masyarakat karena hutan ulayat mereka merupakan penopang ekonomi masyarakat Haruku. Apalagi kelestarian hutan Haruku tetap terjaga berkat sistem Sasi. Setelah ditelusuri, ternyata pemasangan papan larangan tersebut guna memberi keluasan perusahaan melakukan proses pertambangan.

"Ketidakpercayaan masyarakat kami (Haruku) karena pengalaman eksplorasi tambang pertama dilakukan. Kami menolak kegiatan apapun di tanah ulayat kami karena pernah ditipu, dibilang hutan lindung padahal mau membuka pertambangan. Ini upaya-upaya pembodohan kepada masyarakat," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, dia meminta dukungan semua pihak yang peduli terhadap keberadaan masyarakat adat serta lingkungan hidup, bisa tergerak untuk bersama-sama berjuang menentang upaya penghancuran nilai-nilai adat dan lingkungan hidup, terutama yang akan terjadi di Haruku.

Sementara itu, Penjabat Raja Negeri Haruku Paulus Kissya dalam surat balasannya ke camat menegaskan, sesuai keputusan rapat masyarakat yang dihadiri camat, masyarakat secara spontan menolak adanya survei pertambangan di wilayah petuanan adat Negeri Haruku, sehingga atas dasar itulah pihaknya tidak memberikan ijin. (VP)

Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoegajah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044