SINAR HARAPAN, Senin, 01 Mei 2006
Mewaspadai Konflik Antaragama Pasca-SKB
Oleh Fajar Kurnianto
Hubungan antaragama belakangan ini sedang mengalami ujian berat. Problem yang
baru-baru ini mengemuka adalah pengrusakan tempat ibadah oleh umat beragama
lain karena dinilai tak sesuai dengan aturan. Aturan yang dimaksud Surat Keputusan
Bersama (SKB) No 1/1969 antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
Akibat kejadian itu, banyak pihak menuntut pemerintah mencabut SKB yang
dianggap menjadi pangkal persoalan tersebut. SKB dinilai tidak sejalan dengan UUD
1945 yang menjamin kebebasan beragama dan melakukan kegiatan keagamaan.
SKB itu dinilai dapat memicu konflik horizontal antarumat beragama.
Desakan agar pemerintah mencabut SKB itu mendapat reaksi dari banyak kalangan.
Melalui serangkaian demonstrasi di beberapa tempat, kalangan ini membela
"mati-matian" SKB. Katanya SKB itu sudah tepat aturannya. Justru, pihak-pihak yang
terkait dengan pendirian tempat ibadah "dadakan" itu sendiri yang tidak mau
mengindahkan SKB tersebut.
Akhirnya pemerintah melakukan kajian ulang terhadap SKB itu dengan melakukan
dialog setidaknya hingga sepuluh kali, dengan melibatkan perwakilan dari
agama-agama. Maka disepakati tata aturan baru. SKB No 1/1969 direvisi dengan
SKB baru Menag No 9/2006 dan Mendagri No 8/2006 yang diteken bersama pada 21
Maret 2006.
Mencederai UUD 1945
Tetapi, substansi SKB masih belum mencerminkan semangat UUD 1945 yang
menjamin kebebasan beragama. Jika dicermati, akan tampak bahwa pendirian tempat
ibadah harus mendapat pengaturan ketat. Lebih parah lagi, yang mengatur adalah
negara. Berarti negara telah mengintervensi kebebasan beragama warganya. Jika
kuasa negara menjadi alat dominan dalam kehidupan umat beragama, setidaknya
ada beberapa hal yang cukup mengkhawatirkan.
Pertama, negara telah "mencederai" UUD 1945. Fungsi negara, memang salah
satunya mengatur ketertiban warganya. Tetapi, jika fungsi pengatur itu bertentangan
dengan UUD 1945 sebagai perundang-undangan tertinggi, maka fungsi pengaturan itu
perlu dilihat kembali.
Kedua, jika kuasa negara telah mengintervensi kehidupan umat beragama, maka
kerapkali terjadi politisasi agama. Agama dijadikan alat politik untuk menekan,
membatasi, sekaligus membungkam agama lain. Dalam SKB revisi dikatakan
pemerintah akan memberi izin jika ada kesepakatan dari warga setempat. Hal ini
berpotensi besar menciptakan blok-blok agama di daerah-daerah.
Terjadinya blok-blok agama tentu saja bakal menjadi ganjalan dalam upaya
menciptakan kerukunan antarumat beragama yang sebetulnya ingin diciptakan oleh
SKB revisi itu. Alih-alih ingin menciptakan kehidupan yang harmonis dan toleran,
yang lahir justru semakin menguatnya sentimen terhadap agama lain. Pada saat
yang sama, terbangun kekuatan internal agama-agama secara radikal-ekstrim.
Tak Mempersulit
Terwujudnya blok-blok agama, secara geopolitis juga mencerminkan kondisi warga
bangsa yang rawan terpancing konflik. Sensitifitas umat beragama akan semakin
menguat. Jika terjadi pergesekan akan mudah terpicu dan terprovokasi. Selain itu,
akan semakin meneguhkan bangsa ini sebagai bangsa yang suka memelopori konflik
warganya sendiri.
Untuk mengantisipasi terjadinya konflik antaragama akibat SKB revisi, ada tiga hal
yang mesti dilakukan.
Pertama, pemerintah secara proaktif lebih mengedepankan keleluasaan dan
kebebasan beragama kepada umat beragama. Wujudnya, tidak mempersulit hal-hal
yang sebetulnya sederhana. Pemerintah juga mesti menjamin SKB itu bukan alat
untuk menciptakan blok-blok agama, tetapi untuk mengatur umat beragama supaya
tertib dan nyaman menyelenggarakan kegiatan keagamaannya.
Kedua, memaksimalkan peranan FKUB yang terbentuk sesuai amanat SKB.
Wujudnya, intensif melakukan dialog lintas agama untuk menemukan titik temu demi
menghindari kesalapahaman. Keberadaan FKUB langkah strategis jika
didayagunakan maksimal. Melalui forum ini akan terjadi dialog yang progresif
mengenai peranan lebih aktif agama-agama terhadap persoalan sosial yang serius,
lebih dari sekadar mendiskusikan soal pendirian tempat ibadah.
Ketiga, membangun kekuatan civil society atas dasar persamaan derajat
kemanusiaan dan kebangsaan melampaui dasar-dasar persamaan agama. Jika hal itu
terbangun, SKB itu tidak diperlukan. Umat beragama akan lebih memahami
pentingnya kerja sama dan hubungan antarsesama secara harmoni.
Tempat ibadah penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana kekuatan civil society
yang terbangun dari tempat-tempat ibadah memberikan hal progresif bagi kehidupan
umat beragama secara keseluruhan.
Penulis adalah Peneliti Institut Studi Agama Sosial dan Politik (ISASPOL), Jakarta.
Copyright © Sinar Harapan 2003
|