SINAR HARAPAN, Senin, 05 Juni 2006
Wapres Jusuf Kalla dan Syariat Agama
Oleh Victor Silaen
Harian ini, edisi 24 Mei lalu, menyajikan sebuah berita menarik berjudul "Masyarakat
Bisa Tolak Perda Bernuansa Agama, Wapres Akui Aturan Rumah Ibadat Masih
Bermasalah". Khususnya tentang Wakil Presiden Jusuf Kalla, harian ini melaporkan
bahwa beliau mengakui pelaksanaan Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama
(Menag) No 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No 9/2006 (selanjutnya
disebut Perber 2006) tentang Tata Cara Pendirian Rumah Ibadat masih bermasalah.
Ia meminta kepolisian bersikap tegas terhadap tindakan pelarangan ibadah dan
perusakan tempat ibadah oleh kelompok tertentu yang jelas di luar hukum itu.
"Pemerintah harus objektif. Saya pasti menyesalkan apabila ada tindakan-tindakan di
luar hukum," katanya saat membuka Musyawarah Nasional I Partai Damai Sejahtera
(PDS) di Jakarta, Selasa (23/5) malam.
Sementara itu, demikian ditulis Sinar Harapan, terkait dengan maraknya Peraturan
Daerah (Perda) yang bernuansa agama, Hakim Agung Gunanto Suryono mengatakan,
masyarakat bisa menolak penggunaannya sebagai dasar penghukuman, bila tindak
pidana yang dituduhkan kepada individu itu sudah diatur dalam KUHP. Pasalnya,
setiap orang memiliki hak mendapatkan jaminan atas kepastian hukum, sedangkan
keberadan perda itu justru telah menimbulkan dualisme penegakan hukum.
"Masyarakat bisa menolak karena tidak berdasarkan undang-undang, apalagi jika
perda-perda itu jelas-jelas bertentangan dengan UU," katanya kepada Sinar Harapan
(22/5). Pembiaran terhadap perda ini, menurut Gunanto, akan membuat hilangnya
jaminan atas kepastian hukum. Dilihat dari hierarki perundang-undangan, perda tidak
dapat diterapkan jika bertentangan dengan UU.
Belakangan, memang, alih-alih memunculkan kekhasan daerah, sejumlah wilayah
mulai memunculkan perda. Beberapa daerah yang mayoritas penduduknya Islam
mencoba memunculkan perda dengan sanksi pidana berdasarkan syariat Islam.
Daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim juga mencoba membuat sanksi
tersendiri. Di antaranya adalah perda berupa antipelacuran, antiperjudian, antimaksiat,
busana muslim ataupun tentang wajib baca Alquran. Perda semacam ini tak hanya
muncul di tingkat provinsi, tapi juga kabupaten, bahkan desa.
Desa Padang yang berada di Kecamatan Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan,
misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Desa No 5 Tahun 2006 tentang Hukuman
Cambuk. Hukuman ini diberikan kepada penzina, penjudi, dan pemabuk. Di
Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mayoritas penduduknya beragama
Kristen Protestan muncul perda serupa yang mengatur masalah ketertiban umum,
seperti minuman keras, prostitusi, dan judi.
Saling Menghormati
Kembali pada Wapres Jusuf Kalla, tentang perda-perda bernuansa agama tertentu, ia
meminta agar umat Kristen khususnya, dan seluruh komponen masyarakat Indonesia
pada umumnya, tidak lagi curiga dan mempertentangkan syariat agama, karena pada
dasarnya selama ini bangsa Indonesia telah saling menghormati dalam menjalankan
syariat agamanya masing- masing.
"Saya harap hal ini dapat dimengerti dan saling dipahami. Tidak ada yang salah
dalam pengertian syariat. Sebenarnya kita semua telah menjalankan syariat
masing-masing dengan saling menghormati sudah berlangsung lama," ujar Wapres
Jusuf Kalla seperti dikutip Suara Pembaruan (24 Mei 2006).
Apa yang patut kita komentari dari pernyataan tersebut? Kita setuju bahwa tidak ada
yang salah dalam pengertian syariat. Setiap umat beragama bahkan harus
menjalankan syariat agamanya masing-masing secara konsekuen. Tapi, itu tentu
hanya (boleh) berlaku atau diberlakukan bagi diri dan kelompok sendiri, sesuai
dengan semboyan "bagiku agamaku, bagimu agamamu" (wakum dinukum
waliyyadin).
Pada hakikatnya, agama adalah kepercayaan, dan kepercayaan tak sekali-kali boleh
diganggu-gugat oleh orang lain yang tidak sama kepercayaannya. Dengan demikian,
baik ajaran maupun aturan yang terkandung dalam setiap agama, tentu saja
di-percaya sebagai kebenaran dan kebaikan oleh para penganut agama tersebut.
Tapi, bagaimana untuk mereka yang bukan penganut agama tersebut? Haruskah
persepsi atau paradigma yang sama (yang dimiliki oleh para penganut agama
tersebut) dipaksakan untuk diterima dan dihayati pula oleh mereka yang tidak
seagama itu? Tentu saja ini tidak boleh sama sekali. Alasannya, karena praktik
pemaksaan jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, juga karena beragama
yang sejati justru harus dilandasi dengan kebebasan.
Jadi, ketika seseorang memilih agama A untuk dipercayainya, lalu menjalankan
ajaran dan aturan dalam agama A tersebut di dalam kehidupannya sesehari, dan
semuanya karena dan atas nama kebebasan, maka orang itu layak disebut umat
beragama yang sejati. Sebab, dia beragama secara merdeka, tanpa paksaan.
Bukankah sejatinya agama memang untuk memerdekakan, untuk melepaskan diri
dari segala macam belenggu?
Tata Urutan Perundangan
Sekaitan itu, ada beberapa hal yang patut dicermati dari pernyataan Wapres Jufuf
Kalla tentang syariat itu. Pertama, bukan soal syariatnya, melainkan "pemaksaan"
syariat bagi semua warga negara di daerah tersebut tanpa hiraukan agamanya apa.
Bukankah ketika syariat dimasukkan ke dalam perda, dengan sendirinya ia telah
menjadi hukum positif yang berlaku bagi semua anggota masyarakat di daerah
tersebut?
Ketika syariat itu telah menjadi "keharusan" bagi setiap orang, tak hirau agamanya
apa, bukankah hak asasi sejumlah orang tertentu dengan sendirinya telah dilanggar
olehnya?
Kedua, bukankah setiap peraturan publik harus memenuhi syarat sebagaimana yang
diatur dalam Tata Urutan Peraturan Perundangan RI (Tap MPR No. III/MPR/2000) dan
UU No 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Perundang-undangan? Artinya, setiap
peraturan publik manapun dan apa pun jenisnya, baik peraturan di tingkat lokal
(perda) maupun nasional (peraturan pemerintah atau undang-undang) harus
menyesuaikan diri (tidak boleh bertentangan) dengan Pancasila (sebagai dasar
negara) dan UUD 45 (sebagai konstitusi negara)?
Dalam Pancasila, bukankah ada Sila I yang memayungi semua agama? Dalam UUD
45, bukankah ada Pasal 29 yang meniscayakan kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah sesuai agamanya tersebut bagi setiap warga negara?
Wapres Jufuf Kalla agaknya patut diingatkan bahwa negara ini berbentuk republik.
Dalam negara republik, apalagi yang demokratis, pemimpin negara (baik di tingkat
nasional maupun lokal) adalah orang-orang yang mendapatkan mandat dari rakyat.
Artinya, mereka menjadi pemimpin karena mendapat kepercayaan dari rakyat. Untuk
apa? Apa lagi kalau bukan untuk melayani, agar rakyat makin lama makin sejahtera.
Jadi, kalau ada rakyat yang justru makin susah hidupnya, karena para pemimpin
justru gemar mengatur-atur urusan privat mereka (misalnya agama dan kehidupan
beragama), jelaslah ada hal-hal yang harus segera diubah. Sekaranglah saatnya,
daripada menunggu sampai negara kesatuan ini hancur berkeping-keping.
Penulis adalah Dosen Fisipol UKI.
Copyright © Sinar Harapan 2003
|