SINAR HARAPAN, Senin, 05 Juni 2006
Robohnya Gereja Kami...
Oleh SU Herdjoko
BANTUL-Suara burung gagak itu terdengar merintih menyayat pada Minggu (4/6),
sekitar pukul 06.00 WIB di kompleks Gereja Katholik Hati Kudus Tuhan Yesus di
Ganjuran, Bantul. Seharusnya, ada ratusan umat yang sudah datang dan duduk
dengan tenang di dalam gereja. Namun hal itu tidak mungkin terjadi kemarin. Gereja
berusia 82 tahun itu telah roboh. Ya, roboh akibat diguncang gempa hebat, Sabtu
(27/5) pagi.
Mungkin cerita robohnya sebuah gereja tidak akan begitu menyayat bila tidak ada
kisah pilu yang menyertainya. "Waktu itu sedang ada misa pagi yang dipimpin Romo
Jarot. Sekitar 60 umat sedang khusuk berdoa. Tiba-tiba gempa datang. Umat panik,
secara refleks ingin lari keluar lewat pintu depan gereja," kata Supriyono, seorang
saksi mata kepada SH.
Saat umat panik menuju pintu depan itulah, tembok depan gereja roboh menimpa
tujuh umat hingga tewas seketika.
Mungkin saja, lenguhan burung gagak menyuarakan kepiluan ratusan ribu keluarga
warga Bantul, Klaten, dan sekitarnya yang ditinggal mati anggota keluarganya.
Kisah Gereja Ganjuran-demikian sebutan tenar gereja itu-memang menarik. Gereja
yang dibangun pada 16 April 1924 itu kaya dengan simbol-simbol perpaduan
kebudayaan Semua bangunan itu tidak terlepas dari sentuhan keluarga Schmutzer,
pemilik Pabrik Gula Gondang Lipuro, satu-satunya pabrik gula yang bukan milik
Nederlandsch Indische Suiker Syndikaat (Sindikat Gula Hindia Belanda). Sebagai
pengamal ajaran sosial gereja yang disebut "Rerum Novarum", mereka adalah
keluarga yang menghormati secara istimewa Hati Kudus Tuhan Yesus.
Kemudian Caroline, istri Julius Schmutzer mendirikan rumah sakit dan sekolah untuk
kaum perempuan tahun 1920. Setahun berikutnya, dia merintis sebuah poliklinik.
Yang kemudian menjadi RS Santa Elisabeth Ganjuran yang kini dikelola
suster-suster Carolus Boromeus dan Yayasan Panti Rapih. Keluarga besar
Schmutzer itu pula yang kemudian mendirikan sebuah rumah sakit di Kota
Yogyakarta yang bernama Onder de Bogen yang sekarang bernama RS Panti Rapih.
Penuh Simbol
Memasuki Gereja Ganjuran, lebih mirip masuk ke candi Hindu. Maklum saja, di sana
banyak patung dari batu. Dan patung-patung itu berlainan sekali bentuknya dengan
patung Yesus yang biasa dijumpai di gereja-gereja konvensional.
Di depan gereja ada patung Bunda Maria sedang mendukung Yesus ketika masih
kecil. Namun sosok Maria dan Yesus ternyata dipatungkan mengenakan mahkota,
mirip raja-raja Jawa masa Dinasti Hindu maupun Buddha. Sementara bangunan gereja
dari luar memang menunjukkan arsitektur khas Belanda klasik. Tapi begitu masuk ke
dalam, interiornya "sangat Jawa". Pada altar utama, selain mimbar dan meja untuk
pastor, terdapat sebuah tabernakel dengan relief Yesus tersalib. Di kanan kirinya,
duduk bersimpuh dua patung malaikat, lengkap dengan sayap seperti yang dikenal
dalam tradisi kristiani. Namun ada yang aneh pada dua patung itu.
Cara mereka duduk bersimpuh dalam sikap menyembah dan sebuah mahkota para
pembesar kerajaan Jawa terpacak pada kepala mereka. Sementara itu, di sisi kiri
sebuah payung kebesaran kerajaan berdiri lengkap dengan sebuah lentera desain
gaya kraton Jawa.
Di dinding gereja, terpajang lukisan batik tulis yang menceritakan kisah sengsara
Yesus. Lalu di sisi yang agak jauh di kanan altar utama, duduk gagah arca Yesus,
serupa dengan yang ada di relung candi. Adapun di sisi jauh sebelah kiri, ada arca
Yesus kecil dalam pangkuan Maria.
Di sisi gereja ada candi yang di relung candi ada patung Yesus yang berdiri tegap
mengenakan busana kebesaran dan mahkota raja Jawa Mataram. Bahkan ada relief
di dinding di atas kepala Yesus bertuliskan: "Sampeyan Dalem Sang Maha Prabu
Yesus Kristus Pangeraning Para Bangsa". Di dalam gereja juga ada seperangkat
gamelan.
Kini Ganjuran berduka, seperti juga duka yang meruyak di Bantul, Klaten,
Yogyakarta, Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul. "Sejak gempa terjadi, kami
sudah melaksanakan misa tiga kali. Pada Kamis malam, kemudian Sabtu sore
kemarin, dan Minggu pagi ini," kata Sartono, seorang aktivis gereja.
Romo Gregorius Utomo Pr yang memimpin misa kudus kemarin, berkata, "Setelah
gempa hebat itu, kita mendapat anugerah yang tidak ternilai harganya. Itulah
kebersamaan dan kerukunan". Semua umat dari aneka agama, dari aneka golongan
maupun kelompok, semua bersatu-padu menolong korban bencana gempa."
"Oleh karena itu, mari kita sebagai umat tidak mementingkan umat sendiri, tidak
mementingkan kelompok sendiri, dan tidak mementingkan agama sendiri. Yang
terpenting adalah Tuhan. Kini kerukunan itu merata karena gempa yang hebat. Gereja
adalah simbol kerukunan itu. Kerukunan itu anugerah Tuhan yang luar biasa." lanjut
Romo Utomo. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|