SuaraKarya, Selasa, 15 Agustus 2006
Eksekusi Mati atas Tibo dkk
Hendardi, Ketua Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia (PBHI)
Dalam enam bulan terakhir, muncul perjuangan untuk menghentikan eksekusi
hukuman mati (death penalty) atas diri terpidana Fabianus Tibo, Dominggus da Silva,
dan Marinus Riwu. Mereka divonis mati sehubungan dengan peristiwa kerusuhan
Poso pada tahun 2000.
Suatu kejahatan yang digolongkan sebagai tindak pidana berat seperti pembunuhan
(murder) bisa dihukum mati sesuai ketentuan KUHP. Ketentuan ini dibuat dan
diberlakukan pada masa kolonial Hindia Belanda.
KUHP sendiri sudah diberlakukan jauh sebelum adanya Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (UDHR). Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUD 1950
mengadopsi banyak pasal hak asasi manusia dalam UDHR. Salah satu hak
terpenting adalah hak untuk hidup (the right to life).
Dalam UUD 1945 Pasal 28A dinyatakan, "Setiap orang berhak hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya." UU Nomor 39/1999 tentang HAM juga
memperkuat perlindungan atas hak untuk hidup ini.
Tahun lalu, Indonesia meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan
politik menjadi UU Nomor 12/2005 yang melindungi hak untuk hidup. Bahkan
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman atau
Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia menjadi
UU Nomor 5/1998.
Kasus Tibo dkk bukan kejahatan yang termasuk UU Nomor 26/2000 tentang
Pengadilan HAM dan dapat diancam hukuman mati. Hukuman maksimum dalam
undang-undang tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, UU Nomor
5/1998, dan UU Nomor 12/2005.
Hukuman mati itu paling keji, menghancurkan harkat manusia (human dignity) dalam
peradaban modern. Hukuman ini menghilangkan hak hidup seseorang.
Jika Tibo dkk dieksekusi mati, berarti (pertama) sistem peradilan pidana kita
melanggar HAM secara berat (gross violation of human rights). Kedua, negara --
kendati memberlakukan UU Nomor 5/1998 -- tetap saja memiliki aparat pencabut
nyawa manusia (algojo).
Ketiga, peradilan juga tidak konsekuen terhadap mereka yang diduga terlibat dan
bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), seperti
peristiwa pembunuhan massal, penyiksaan dan penghilangan paksa tahun
1965-1966, dan kasus Timor Timur tahun 1999 -- karena banyak terdakwa
dibebaskan.
Keempat, perenggutan hak untuk hidup dipastikan tak mungkin diperbaiki lagi.
Riwayat hidup terpidana berakhir pada titik berlangsungnya eksekusi. Kelima, jika
Tibo dkk dieksekusi, sementara perkaranya tak dituntaskan, berarti sistem peradilan
menciptakan ketidakadilan dan melakukan diskriminasi.
Sudah seharusnya Presiden mengambil keputusan menyelamatkan hak untuk hidup
Tibo dkk dengan memberi grasi kepada mereka.***
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
|