SUARA PEMBARUAN DAILY, 13 Agustus 2006
Perlu Pemutihan Kewarganegaraan Etnis Tionghoa
[JAKARTA] Masyarakat etnis Tionghoa Indonesia menyambut baik lahirnya Undang
Undang Kewarganegaraan. Pasalnya, dalam produk hukum yang lahir pada tanggal
11 Juli 2006 itu Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) tidak disinggung- dan
dengan sendirinya bukti kewarganegaraan cukup dengan akta lahir dan KTP. Perlu
ada pemutihan kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa yang secara turun-temurun
tidak punya KTP dan akta kelahiran karena mereka tidak memiliki uang untuk
mengurusnya.
"Namun, selama dasar pengaturan pencatatan sipil Indonesia masih berdasarkan
reglement dan staatsblad kolonial Belanda yang membeda-bedakan status sosial
penduduk, maka masih tetap saja timbul masalah dalam pengurusan akta lahir, KTP,
akta perkawinan dan akta perceraian. Karena bagi golongan Tionghoa masih berlaku
staatsblad tahun 1917 yang tidak dinyatakan dicabut dalam UU Kewarganegaraan
yang baru," ujar Benny G Setiono, pengamat sosial dan pemerhati etnis Tionghoa
dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa di
Jakarta, Sabtu (12/8).
Menurut Benny, masalahnya bagaimana dengan orang-orang Tionghoa yang tidak
mempunyai akta lahir karena orang tuanya seca-ra turun-temurun tidak pernah
mencatatkan perka- winananya seperti orang Tionghoa yang biasa disebut dengan
Cina Benteng. Nenek moyang mereka pada umumnya telah ratusan tahun datang di
Indonesia dan hidup membaur.
Secara fisik, lanjutnya, mereka sudah tidak berbeda dengan penduduk asli di tempat
mereka berdiam. Pada umumnya mereka bekerja sebagai petani dan berpendidikan
serta berpenghasilan sangat rendah. Sampai saat ini jumlah etnis Tionghoa seperti itu
ratusan ribu jumlahnya di seluruh Indonesia. "Apakah dengan sendirinya nantinya
meraka tetap tidak dinyatakan bukan warga negara Indonesia. Seyogyanya perlu ada
pemutihan agar masalah kewarganageraan ini tuntas dan tidak meninggalkan sisa
lagi," tegasnya.
Dikatakan, perlu disadari bahwa di samping UU Kewarganegaraan ini, masyarakat
Tionghoa masih menunggu lahirnya UU tentang administrasi kependudukan yang saat
ini masih digodok di DPR untuk menggantikan staatsblad mengenai catatan sipil.
Sekarang kita kembali ke pertanyaan apakah dengan lahirnya UU Kewarganegaraan
2006 etnis Tionghoa tidak akan mengalami bentuk-bentuk diskriminasi lainnya atau
menjadi korban teror, amuk massa dan pemerasan lagi.
Peraturan-peraturan diskriminatif yang ada, termasuk mengenai catatan sipil, pada
hakikatnya bersifat administratif. Namun, karena sifat keperdataan yang terkandung
dalam pencatatan sipil, praktek segregatif dan diskriminatif tersebut mengakibatkan
praktek pembatasan dan diskrimi-nasi hak-hak sipil terhadap sebagian WNI. [E-5]
Last modified: 13/8/06
|