The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 27 April 2006

Perber Dua Menteri Disalahpahami?

Andreas A Yewangoe

Dalam dua minggu terakhir ini, disampaikan informasi kepada kami, bahwa sejumlah tempat-tempat ibadah Kristen kembali ditutup, atau diminta untuk ditutup. Untuk menyebut beberapa contoh saja: di Bekasi, di dalam kompleks Seroja, dua gedung gereja yaitu milik Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Katolik, diberi batas waktu dua minggu untuk segera menutupnya.

Di Pasuruan, Ketua Badan Musyawarah Antargereja (Bamag) diminta untuk menutup gedung-gedung gereja yang tidak mempunyai IMB. Di Bogor, tiga gedung gereja yaitu milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Betel Indonesia (GBI), dan Gereja Baptis ditutup. Di Tulung Agung, sejumlah massa mendatangi Bakesbang membawa 500 tanda tangan mendesak menutup GPID setempat. Selanjutnya, menurut berita Metro TV, tanggal 23 April, dua ruko yang selama ini dipakai sebagai tempat ibadah sementara, di Gunung Putri Bogor, didatangi warga minta ditutup.

Sesungguhnya, penutupan gedung-gedung ibadah secara paksa atau setengah paksa, bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Umat Kristen, yang selama ini terbanyak tempat-tempat ibadahnya ditutup, telah agak "biasa" dengan penutupan-penutupan seperti itu. Alasan-alasan yang dikemukakan juga tidak terlalu meyakinkan, misalnya saja bahwa tempat-tempat itu bisa dipakai sebagai pusat Kristenisasi. Saya tidak yakin, fungsi gedung-gedung ibadah itu memang demikian.

Tetapi, bahwa gelombang penutupan gereja masih terjadi sesudah Perber Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ditetapkan, bahkan dengan dalih aturan itu, mestilah dicermati. Bukankah Perber tersebut berfungsi untuk melindungi warga negara melaksanakan ibadahnya, dan bukan untuk menghalang-halangi mereka? Dalam berbagai kesempatan, kami menyarankan agar Perber itu diujicobakan dulu selama satu atau dua tahun, baru kita mengambil kesimpulan, apakah ia efektif menjalin relasi-relasi berbuat di antara umat beragama di Indonesia atau tidak.

Ini disebabkan oleh adanya keraguan yang agak meluas di kalangan umat Kristiani, bahwa Perber ini justru akan dipakai menghalang-halangi mereka mempunyai rumah ibadah. Pada pihak lain, kami pun menyerukan agar jangan sampai umat beragama yang sedang berbakti dikriminalisasikan. Artinya, hal berbakti jangan dilihat sebagai suatu tindakan "kejahatan", hanya karena tempat mereka berbakti belum memenuhi persyaratan sebagai disyaratkan dalam Perber. Kalau sampai demikian, maka Perber tersebut telah tidak mencapai maksudnya. Sebagai demikian, Perber itu mesti ditinjau kembali, atau malah dicabut. Karena, dengan sedikit memvariasikan sabda Yesus: "Perber dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk Perber!"

Sekarang, belum sampai sebulan ditetapkan, bahkan juga belum disosialisasikan secara baik, Perber ini telah "memakan korban" lagi. Yang menggelisahkan adalah, bahwa desakan untuk menutup gedung-gedung atau tempat-tempat ibadah itu berasal dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Mengapa menggelisahkan? Karena mereka telah mengambil-alih tugas negara. Mestinya negara yang bertindak, apabila benar-benar tempat-tempat ibadah itu telah melanggar aturan yang berlaku.

Masalahnya bisa di bawa ke pengadilan. Kalau permasalahannya lalu menjadi urusan kelompok-kelompok yang kebetulan mempunyai "suara" yang lebih nyaring, maka sulit kita memahami apakah kita benar-benar hidup dalam sebuah negara yang berhukum. Kita pun menjadi gerah untuk hidup dan selanjutnya sulit pula kita membina kebersamaan sebagai satu bangsa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adalah tugas negara menegakkan hukum, bukan saja dengan mencari bangunan-bangunan mana yang belum ber-IMB, tetapi juga terhadap kecenderungan menjadi hakim sendiri di kalang-an masyarakat. Negara pun berkewajiban untuk memfasilitasi diperolehnya izin secara mudah oleh masyarakat yang membutuhkannya.

Dalam pertimbangan-pertimbangan yang merupakan konsiderans dari Perber tersebut, sangat jelas dirumuskan hak beragama sebagai hak asasi manusia. Dengan tegas juga dikatakan, bahwa setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya; bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; bahwa pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk- pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Ini semua adalah rumusan- rumusan yang indah dan menyejukkan, yang tentu saja merupakan refleksi dari Pancasila dan UUD 1945. Ini mengimplikasikan bahwa penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam berbagai UU, peraturan-peraturan, termasuk Perber atau apapun namanya mestilah konsisten dengan Pancasila dan UUD tersebut.

Tidak boleh ada pertentangan antara konsiderans dan diktumnya, lebih-lebih lagi dengan aplikasinya di lapangan. Kalau ternyata terjadi ketidakcocokan di antara unsur-unsur yang disebutkan tadi, maka aturan bersangkutan tidak bisa diberlakukan.

Prinsip berpikir ditetapkannya Perber ini adalah, bukan saja karena SKB/1969 telah ketinggalan zaman, tetapi terutama karena negara sadar akan kewajibannya untuk menjamin setiap warga negara mengungkapkan iman dan kepercayaannya secara publik melalui antara lain ibadah tanpa ditekan oleh siapapun. Untuk dapat melaksanakan itu, sarana- sarana ibadah, seperti gedung atau ruang untuk beribadah diperlukan.

Dalam kenyataannya, ada yang pemakai-pemakainya belum mencapai 90 orang sebagaimana disyaratkan dalam pasal 14 Perber tersebut. Ada juga yang belum bisa membangun karena alasan keuangan, atau karena sebab-sebab lainnya. Semua alasan ini, tidak boleh menghilangkan hak seseorang untuk beribadah. Di mana pun ia beribadah, mesti dijamin dan dilindungi. Terhadap apa yang dikatakan ini, mungkin ada yang menyampaikan kontra alasan, misalnya, bahwa yang bersangkutan dapat menjalankan ibadahnya di tempat lain. Tetapi di dalam kenyataannya, tempat lain yang dimaksud itu bisa sangat jauh dari tempat kediaman yang bersangkutan.

Dalam keadaan seperti ini, diharapkan pengertian baik dari masyarakat sekitar, apabila yang bersangkutan "terpaksa" melaksanakan kebaktiannya di tempat tersebut. Apalagi, kalau selama ini telah berdiri tempat kebaktian di situ, maka kemungkinan untuk memperoleh izin mesti ada, dan bukannya justru minta.

Kita mesti hidup rukun dalam masyarakat majemuk ini. Setuju banget. Tetapi kerukunan yang dimaksudkan tidaklah statis, yang menempatkan setiap anggota masyarakat dalam ghetto. Memang, "kerukunan" seperti itu bisa saja terjadi, tetapi tanpa kontak satu sama lain. Ini tidak bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan kemanusiaan.

Kerukunan seperti itu tidak ada gunanya bagi saling memperkaya kehidupan bersama. Kerukunan otentik adalah, ketika kita bukan saja mengakui perbedaan-perbedaan yang melekat pada kita, tetapi juga saling belajar dari perbedaan-perbedaan itu. Informasi yang makin canggih dewasa ini tidak memungkinkan lagi kita mengurung diri di dalam isolasi-isolasi kita.

Penulis adalah Ketua Umum PGI


Last modified: 27/4/06
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoegajah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044