SUARA PEMBARUAN DAILY, 28 April 2006
Hindari Main Hakim Sendiri Sikapi Perber
[JAKARTA] Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta segenap
umat beragama di Indonesia, memelihara kerukunan umat beragama. Dalam
menyikapi Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri,
hindari sikap main hakim sendiri dan tindakan anarkis yang tidak menyelesaikan
persoalan.
Imbauan bersama ini dikeluarkan di Jakarta dan ditandatangani Ketua Umum PBNU
KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PGI Pdt Dr AA Yewangoe, dan Ketua KWI Julius
Kardinal Darmaatmadja SJ.
Diserukan, kepada pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi,
kota/kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa) di seluruh Indonesia agar menjalankan
Perber ini dengan seadil-adilnya di daerah masing-masing. Kepada aparat keamanan,
khususnya kepolisian agar memberikan jaminan keamanan bagi segenap masyarakat
yang menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, dan tidak
membiarkan orang main hakim sendiri dan melakukan tindakan anarkis, katanya.
"Kepada media massa diharapkan agar menyampaikan pemberitaan yang akurat
mengenai adanya penutupan rumah ibadat," demikian seruan bersama tersebut.
Konflik Horizontal
Secara terpisah Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (Fokoma PMKRI) dalam rapat koordinasi regio NTT, NTB dan Bali di
Maumere, NTT, Rabu (26/4) juga mengeluarkan seruan kemasyarakatan. Penutupan
sejumlah rumah ibadah atas dasar Perber merupakan bentuk ketidakadilan terhadap
kelompok agama tertentu. Hal itu merupakan kegagalan Perber yang seharusnya
dibatalkan karena hanya mendorong konflik horizontal yang lebih besar.
"Jika aturan yang dibuat untuk menyudutkan kelompok tertentu dan menguntungkan
kelompok lain, itu bertentangan dengan hak berekspresi setiap orang. Soal ibadah itu
sifatnya sangat pribadi. Inilah kegagalan pemerintah sehingga Perber rumah ibadah
harus dibatalkan," demikian seruan tersebut
Dijelaskan, pemerintah bukannya mendorong semua pihak untuk menjalin kerukunan,
tetapi justru mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan agama dan kepercayaan.
Bukan tidak mungkin di masa mendatang justru dikotomi suku, ras atau kepentingan
kelompok juga akan diatur sehingga akhirnya mendikotomikan mayoritas dan
minoritas.
Seperti diberitakan pekan lalu, aksi penutupan tiga tempat ibadah di Citereup dan
Gunung Putri, Bogor, masih saja terjadi karena dianggap melanggar peraturan yang
menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai pendirian tempat ibadah.
Jauh sebelumnya sudah terjadi pada sejumlah gereja.
"Perber justru menjadi sumber konflik kerukunan umat beragama, karena itu kami
mendesak untuk dikaji ulang, bila perlu dicabut," kata Ketua Umum Forkoma PMKRI
Hermawi Taslim kepada Pembaruan.
Sementara itu, Solidaritas Demokrasi Katolik Indonesia (SDKI) juga mendesak
perlunya kaji ulang atas aturan tersebut karena dinilai sudah tidak relevan dengan
kondisi saat ini.
SDKI menilai kemajemukan, pluralitas dan menghargai perbedaan yang ada
merupakan kekayaan bangsa Indonesia sehingga penutupan tempat ibadah
merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Wakil Ketua SDKI Alexius Plate menegaskan, para penganut Kristiani perlu
merefleksikan diri dalam setiap upaya membangun gereja yang selaras dengan
lingkungan sekitar. Umat senantiasa tidak semata-mata mendirikan gereja secara
fisik, tetapi lebih dari itu harus mempraktekkan ajaran Kristiani secara tulus.
Beribadah merupakan wujud umat beriman, tetapi juga harus seimbang dalam praktek
kepada pemeluk agama lain.
"Jika penutupan gereja di wilayah Jawa ini dilakukan terus-menerus maka tidak
mengherankan justru di wilayah Timur Indonesia juga melakukan hal yang sama
kepada pemeluk non-Kristen. Akhirnya berujung pada disintegrasi, apakah ini yang
diinginkan pemerintah dan aparat penegak hukum," tegasnya. [H-12/M-11]
Last modified: 28/4/06
|