SUARA PEMBARUAN DAILY, 28 Agustus 2006
Demo di Depan Istana Tolak Tibo Dihukum Mati
(PHOTO: Massa Gerakan Indonesia Satu berunjuk rasa di Jakarta, Sabtu (26/8).
Mereka menuntut agar terpidana kasus kerusuhan Poso Fabianus Tibo, Domininggus
Da Silva, dan Marianus Riwu segera dibebaskan dari hukuman mati, karena
menurutnya tidak bersalah. [Pembaruan/YC Kurniantoro])
[JAKARTA] Sekitar 300 orang yang bergabung dalam Solidaritas Masyarakat Papua,
Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur, Sabtu (26/8),
melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta untuk menolak hukuman
mati bagi Fabianus Tibo dan kawan-kawannya.
Penolakan tersebut didasarkan atas penilaian mereka bahwa proses persidangan
para terpidana kasus kerusuhan Poso tersebut tidak transparan.
"Selain menolak hukuman mati (bagi Tibo dan kawan-kawan), kami juga
mempersoalkan peradilan kasus Poso yang prosesnya kami nilai tidak adil," kata
Boni, salah seorang yang berunjuk rasa itu seperti dilansir Antara.
Boni yang mengaku mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara tersebut
menjelaskan proses tidak transparan yang mereka maksud adalah persidangan
kasus kerusuhan Poso terkesan tertutup pada tahap awal dan baru terbuka pada
akhir persidangan menjelang vonis.
"Proses hukum juga tidak adil karena Tibo dan kawan-kawan didampingi pengacara
yang disediakan oleh pemerintah," kata Boni.
Massa yang berjumlah 300 orang tersebut berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia
sekitar pukul 10.00 WIB dan bergerak menuju Istana Merdeka. Selain berjalan kaki
mereka juga diiringi sejumlah kendaraan, sementara aparat keamanan dari Kepolisian
tampak mengawasi dan berjaga-jaga.
Selama perjalanan menuju ke Istana Merdeka, massa berorasi sejenak setiap kali
melintasi gedung pemerintahan, seperti Bank Indonesia, Departemen Pertahanan dan
Kantor Menko Polkam. Dalam orasinya, mereka meminta pemerintah mengubah
putusannya dan kembali membuka pengusutan kasus Poso secara transparan dan
adil.
Massa juga membawa sejumlah spanduk yang isinya antara lain, bertuliskan "Tolak
Peradilan Sesat" dan "Solidaritas Masyarakat Papua, Maluku, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur untuk Keadilan dan Kemanusiaan
Menolak Eksekusi Mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Dasilva".
Hingga pukul 12.30 WIB massa masih melakukan orasi di depan Istana Merdeka
Jakarta.
Tibo, Dominggus dan Marinus seharusnya telah menjalani eksekusi di hadapan regu
tembak pada 12 Agustus 2006 pukul 00.15 Wita, namun 30 menit sebelum batas
waktu penetapan dinyatakan ditunda setelah presiden memimpin rapat Polhukam.
Kajati Sulteng, M. Jahja Sibe SH, MH pekan lalu mengatakan hingga kini belum ada
pertemuan khusus dengan Kapolda Brigjen Pol Oegroseno membahas penetapan
kembali jadwal eksekusi ketiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso tersebut
Sejumlah rohaniawan Katolik yang belajar dan bekerja di luar negeri mengirim petisi
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya menentang hukuman mati
terhadap Tibo cs.
Para pastor yang bekerja di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Austria,
Irlandia, Brasil, Argentina, Ghana, Hong Kong dan Taiwan itu mengatakan, setelah
mempelajari berbagai pemberitaan, data, dan fakta dan bukti-bukti baru, termasuk
dari PADMA Indonesia, ternyata tiga warga sipil itu bukanlah dalang konflik di Poso,
Sulawesi Tengah, mulai 23 Mei-1 Juni 2000.
Karena itu, mereka mengirim petisi kepada Presiden Yudhoyono meminta
mempertimbangkan kembali keputusan hukuman mati terhadap Tibo cs. "Kami
meminta Bapak Presiden untuk menghapuskan hukuman mati atas dasar
kemanusiaan dan hukum internasional yang sudah diadopsi oleh Indonesia. Kami
juga mendukung seruan banyak pihak untuk menghapuskan hukuman mati di
Indonesia," kata Pastor Paulus Rahmat, SVD, koordinator kelompok misionaris
internasional yang kini bekerja di AS
Masih Diperlukan
Di lain pihak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menilai pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia dinilai masih diperlukan dalam sistem hukum di Indonesia.
Karena itu, PBNU dengan tegas menolak penghapusan hukuman mati dalam sistem
nasional.
Pimpinan tertinggi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini menilai hukuman
itu harus tetap ada dalam sistem hukum Indonesia, karena pada hakekatnya
keberadaan hukuman mati menjamin adanya kehidupan yang lebih luas.
"Dalam filsafat hukum, hukuman mati tidak perlu dihilangkan, karena keberadaannya
justru untuk melindungi kehidupan yang lebih luas, yakni masyarakat," kata Ketua
Umum PBNU KH Hasyim Mu-zadi dalam keterangan dalam situs resmi PBNU di
Jakarta, akhir pekan lalu.
Hal itu diungkapkannya menanggapi munculnya pro dan kontra dari sejumlah pihak
yang meminta agar hukuman mati dihilangkan dari sistem hukum Indonesia, karena
dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) lantaran menghilangkan hak seseorang
untuk hidup.
Hasyim, demikian panggilan akrab Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang,
Jawa Timur ini menjelaskan, di beberapa negara yang menerapkan hukuman mati
justru kasus pembunuhan terbilang jarang atau sedikit jumlahnya, seperti yang terjadi
di Malaysia.
"Namun, kita jangan hanya memperhatikan hak asasi manusia si pembunuh saja.
Bagaimana dengan hak asasi manusia korban yang telah terbunuh, mengapa itu tidak
kita perhatikan?" tegas mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini. Hakikat
dari hukuman mati itu sendiri, menurut Hasyim, sebetulnya ada pada penegakan
keadilan dan bukan pada eksekusinya itu sendiri.
"Salah satu contoh masih terjadinya kasus carok di Madura. Itu masih terjadi, karena
pelaku carok yang membunuh orang, ada yang hanya dihukum beberapa tahun,
makanya kasus serupa masih juga terjadi hingga saat ini," imbuhnya. Carok adalah
duel menggunakan senjata tajam khas Madura, celurit, yang sering diidentikan
menjadi budaya membela harga diri. [E-5/L-8]
Last modified: 28/8/06
|