TEMPO Edisi. 12/XXXV/15 - 21 Mei 2006
Ujung-ujungnya Duit Juga
Di Timur Tengah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempromosikan Indonesia.
Qatar dan Kuwait, tertarik tapi masih sebatas membeli surat utang syariah,
masing-masing US$ 1 miliar. SBY memberikan waktu tiga bulan.
SELAMA tiga jam, ruang rapat di lantai dua gedung Departemen Keuangan terlihat
sibuk, Rabu malam pekan lalu. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia P.
Nasution, bersama timnya berkutat membahas sebuah rancangan kertas kerja (policy
paper) yang disiapkan menjadi cikal-bakal peraturan pemerintah.
Mulia memang sedang kejar tayang. Soalnya, perangkat aturan inilah yang kelak
mengatur semua bentuk pengelolaan investasi pemerintah, termasuk investasi
berbasis syariah. Tanpa kejelasan aturan ini, investasi asing yang diharapkan
mengucur ke dalam negeri bisa-bisa kandas di tengah jalan.
Padahal, di depan puluhan miliarder Arab, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sudah berpromosi. Dibentangkannya peluang investasi di Indonesia yang mencakup
bidang infrastruktur, pengilangan minyak, perbankan, dan pembangunan kawasan
ekonomi khusus.
Ajakan itu disampaikan Yudhoyono dalam lawatan sembilan hari ke Arab Saudi,
Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Yordania, tiga pekan lalu. Hasilnya? Qatar dan
Kuwait tergerak memercikkan duitnya, masing-masing US$ 1 miliar (sekitar Rp 9
triliun), dengan membeli surat utang syariah.
Harapan Indonesia menadah kucuran dana investasi dari negara-negara Teluk cukup
wajar. Sebagai produsen minyak, kawasan ini memang sedang ketiban rezeki
nomplok berkat- melejitnya harga minyak dunia hingga US$ 72 per barel. Dengan
harga minyak US$ 50-65 per barel saja, negara-negara pengekspor minyak (OPEC)
diperkirakan menangguk berkah US$ 0,5 triliun atau sekitar Rp 4.500 triliun.
Pusaran duit inilah yang kini dilirik Indonesia. Tapi, tampaknya dana investasi dari
Timur Tengah itu tak serta-merta mengalir masuk. Sebab, seperti kata Muhammad
Lutfi, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, para sohib berkantong tebal dari
Timur Tengah itu lebih suka membenamkan duitnya dalam bentuk investasi
keuangan, seperti pembelian saham atau surat utang.
"Investasi yang mereka lakukan itu dikelola oleh penasihat keuangan andal, seperti
JP Morgan, Goldman Sachs, atau Citigroup," kata Lutfi. Merekalah yang memberi
nasihat: ke mana investasi harus dilabuhkan agar menghasilkan keuntungan berlipat.
Indonesia juga belum sepenuhnya siap menampung investasi keuangan berbasis
syariah dari negara-negara Arab. "Dalam undang-undang tentang surat utang negara,
misalnya, belum dikenal istilah bagi hasil," kata Lutfi. Ini jelas batu sandungan. Jika
tak segera dibenahi, kesepakatan yang sudah dicapai di tingkat kepala negara itu
bisa-bisa cuma sebatas manis di bibir.
Lutfi menambahkan, instrumen hukum yang dapat mengakomodasi keuangan syariah
juga masih harus diiringi dengan kecerdikan Indonesia dalam mengemas paket
investasi yang ditawarkan. "Seperti memberikan kemudahan dalam hubungan bilateral
atau multilateral, yang terkait dengan investasi asing- dalam pembangunan kawasan
ekonomi khusus," katanya.
Menurut Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin), M.S. Hidayat, keinginan para raja
Timur Tengah untuk melakukan investasi baru dalam tahap pembicaraan awal. Itu
sebabnya, menurut Hidayat, yang juga ikut dalam rombong-an Presiden ke Timur
Tengah, Yudhoyo-no memberi waktu tiga bulan kepada para menterinya untuk
menindaklanjuti. "Termasuk mempersiapkan segala aturan yang mendukung."
Semua persoalan ini sesungguhnya bukan baru disadari oleh Departemen Keuangan.
Sebelum Yudhoyono ke Timur Tengah, tim Lapangan Banteng lokasi kantor
Departemen Keuangan sudah membahas rancangan peraturan pemerintah tentang
pengelolaan investasi pada akhir tahun lalu.
Pembahasan dilakukan setelah Keputusan Presiden No. 67/2005 tentang Penyediaan
Infrastruktur oleh Pemerintah dan Badan Usaha dikeluarkan. Saat itu Departemen
Keuangan membentuk tim kecil yang dipimpin Agus Suprijanto, Direktur Pengelolaan
Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Departemen Keuangan.
Tim beranggotakan sembilan orang itu bertugas merumuskan rancangan kertas kerja
yang menjadi landasan peraturan pemerintah. "Tapi kami memang agak terlambat
membuat rancangan itu," kata Mulia. Padahal, tanpa perangkat hukum, kerja sama
yang mengatur investasi tidak bisa ditindaklanjuti. Itu sebabnya tim kecil kini
menggeber rapat tiga kali seminggu.
Sejauh ini sejumlah agenda dalam rancangan kertas kerja sudah dibahas. Di
antaranya mekanisme investasi, kerangka hukum dan kelembagaan investasi,
bentuk-bentuk kerja sama investasi, serta ketentuan yang terkait dengan pengelolaan
infrastruktur pendanaan.
Mulia menargetkan, rancangan kertas kerja ini sudah bisa rampung pada akhir Juni
mendatang. "Sehingga peraturan pemerintah tentang pengelolaan investasi bisa
keluar September," katanya. Sebagai langkah awal, hasil bahasan tim kecil
rencananya dilaporkan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pekan ini.
Dalam kertas kerja itu juga diusulkan pembentukan sebuah organisasi baru bernama
Direktorat Pengelolaan Dana Investasi, yang akan dipimpin oleh pejabat eselon dua.
"Organisasi ini yang akan mengurus kebijakan dana investasi," ujar Mulia.
Nantinya, organisasi ini juga yang mengatur pembentukan lumbung dana (trust fund)
seperti yang ditawarkan Qatar, atau pembentukan sebuah perusahaan khusus
(special purpose vehicle) untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Badan usaha
ini pun, kata Mulia, bisa menerbitkan surat utang berbasis syariah untuk menarik
investor lain.
Untuk sampai ke tahap itu, Departemen Keuangan kini tengah menggodok revisi
Undang-Undang No. 24/2002 tentang Surat Utang Negara, yang selama ini hanya
mengenal istilah bunga. "Targetnya agar bisa dibahas oleh DPR tahun ini," kata
Mulia. Bila revisi disetujui, pemerintah dapat menerbitkan surat utang negara
berprinsip syariah, de-ngan pola bagi hasil.
Seluruh aturan itu akan memudahkan investor Timur Tengah yang ingin memercikkan
duitnya lewat obligasi negara syariah ke Indonesia. Apalagi, menurut Adiwarman
Azwar Karim, pengamat ekonomi syariah, proyek-proyek yang ditawarkan Indonesia
adalah proyek yang diminati investor Teluk.
Adiwarman, yang juga Presiden Direktur Karim Business Consulting (KBC),
menambahkan para investor dari negara petrodolar juga tertarik masuk ke sektor
perbankan dan pasar modal. "Mereka akan membeli saham di beberapa bank dan
perusahaan sekuritas di Indonesia, Oktober mendatang," katanya.
Setelah investasinya meningkat, bank-bank itu akan dikonversi ke sistem syariah.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan di perusahaan sekuritas juga akan berdasarkan
prinsip syariah. Namun, Adiwarman tak bisa menyebutkan secara rinci siapa investor
yang dimaksud. Sebab, "Beberapa dari mereka akan menjadi klien saya," ujarnya.
Didik J. Rachbini, Ketua Komisi Perindustrian dan Perdagangan DPR, menilai aliran
modal dari Timur Tengah yang berbentuk syariah merupakan peluang bagi Indonesia
untuk memperbesar sistem keuangan syariah. Itu sebabnya, pemerintah dan DPR
harus tanggap membuat aturan main dan payung hukumnya.
Pendapat berbeda dikemukakan Chris Kanter, Wakil Ketua Umum Kadin. Menurut
dia, sambutan wah yang diberikan negara-negara Timur Tengah kepada Indonesia tak
istimewa-istimewa amat. "Sambutan seperti itu juga diberikan ketika Malaysia
berkunjung ke sana," katanya.
Setelah kunjungan itu, Malaysia mendapat suntikan US$ 2,7 miliar. Tapi, itu semua
atas akumulasi upaya yang sudah begitu lama dijajaki Malaysia. Sedangkan
Indonesia baru memulai ketuk pintu. "Jadi, jangan terlalu berharap banyak," kata
Chris.
Apalagi bila hanya mengandalkan sentimen sebagai sesama negara berpenduduk
muslim. Apa yang akan dilakukan para investor Timur Tengah, menurut Lutfi, tetap
mengandalkan sisi komersial. "Sesama muslim hanya perangsang awal. Tapi
ujung-ujungnya duit."
Yandhrie Arvian
copyright TEMPO 2003
|