TEMPO Edisi. 29/XXXV/11 - 17 September 2006
Laporan Utama
Kitab Baru Sang Teroris
Polisi menggelar siaga tinggi untuk mencegah siklus tahunan bom, sejak pekan lalu.
Azahari tewas. Noor Din M. Top lenyap. Tapi ancaman tetap subur. Kini beredar
"buku panduan" baru terorisme mandiri. Manual itu bisa memandu siapa pun untuk
melahirkan teror sekelas bom Bali II. Inilah laporan Tempo.
+ Apakah komputer jinjing yang dipakai Imam Samudra untuk chatting sudah
menjadi barang bukti?
- Tidak ada (komputer jinjing).
+ Jadi dia memakai apa?
- Komputer meja, komputer jinjing. Entahllah. Kan sama saja.
+ Komputer meja di dalam penjara?
- Justru itu yang menarik. Penyidik juga berpikir boleh jadi dia tidak chatting di
selnya. Bisa di ruang sipir.
+ Anda sudah membaca isi chatting?
- Maaf, itu harga mati. Kami tidak akan mmengumumkannya.
v v v
INI petikan percakapan Tempo dengan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal
Purwoko di kantornya, Jumat petang pekan lalu. Polisi sudah mencokok dua lawan
bicara Imam via Internet, Agung Setyadi dan Agung Prabowo. Tapi misteri chatting
Imam Samudra di penjara Kerobokan, Denpasar—yang ramai diberitakan media sejak
tiga pekan lalu—belum terkuak. Satu buron masih gentayangan. "Sebut saja Mr X,"
ujar Kepala Polri Jenderal Sutanto.
Purwoko memilih tutup mulut. Sutanto cuma memberikan kode nama. Ya, Imam
Samudra hanya satu titik dari gudang besar terorisme yang harus disisir polisi.
Mereka memilih bersikap ekstra hati-hati. Sumber di kepolisian yang pernah
melongok rekaman chatting Imam menuturkan, sebagian besar isinya hanya obrolan
perintang waktu. "Kata-katanya jorok menjurus porno," ujarnya kepada Tempo.
Lalu dia menambahkan dengan wajah muram, kata-kata jorok itu diduga berisi
petunjuk operasi bom Bali II yang mengempaskan Bali pada 1 Oktober 2005.
Agustus hingga November boleh dikata menjadi "jadwal rutin" aksi teror di Indonesia,
setidaknya dalam lima tahun terakhir. Maka sejak pekan lalu, polisi menggelar siaga
tinggi terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyambut "bulan-bulan bom".
Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan operasi kendaraan bermotor saban hari. Di
kawasan protokol Jalan Diponegoro, Surabaya, seseorang ditahan gara-gara
membawa lima keping cakram digital pada Selasa pekan lalu. Dia dilepas setelah
cakram dipastikan hanya berisi data pekerjaan kantor.
Kepolisian Daerah Jawa Tengah melakukan operasi serupa. Kepala Polda Jawa
Tengah Inspektur Jenderal Dody Sumantyawan bahkan mengundang semua kepala
desa untuk berkumpul pada pekan depan.
Semua desa diminta menghidupkan lagi buku tamu desa. "Setiap tamu identitasnya
harus dicatat," kata Dody. "Gerakan teroris seperti balon air, dipencet kanan lari ke
kiri, dipencet kiri lari ke kanan," dia menambahkan.
Sidney Jones, peneliti jaringan teroris di Indonesia dari International Crisis Group,
berpendapat gerakan kelompok Noor Din sebetulnya telah menyempit. "Dukungan
personel dan dana jauh berkurang," katanya. Tetapi potensi bahaya masih kuat.
Jones mencontohkan, Noor Din tidak pernah lelah mencetak kader-kader siap-jihad
selama dalam persembunyian. Adapun Azahari selalu dikitari murid yang cergas
belajar merangkai bom.
Toh, seorang pengurus wilayah organisasi Jamaah Islamiyah Jawa Tengah
menganggap operasi polisi di kedua provinsi itu berlebihan. "Bisa apa, Mas, orangnya
(kelompok teroris) sudah habis," katanya kepada Tempo. Boleh jadi demikian. Namun
ancaman teror tetap bisa datang dari pintu yang lain.
Beberapa bulan terakhir misalnya, telah beredar satu buku manual baru di antara
beberapa kelompok jihad. Manual itu berisi resep membuat sel atau kelompok jihad
mandiri. Seorang sumber yang memiliki salinan buku itu mengizinkan Tempo
membacanya.
Setebal 82 halaman, buku itu disusun dalam bahasa Indonesia yang mudah
dipahami. Jika buku itu jatuh di tengah jalan dan ditemukan si Fulan, dia bisa
membuat sebuah sel jihad tanpa banyak kesulitan. Syarat mutlak hanya satu. Dia
harus bisa memimpin.
Tiada keterangan nama pengarang buku. Inilah kalimat pembukanya:
+ Setiap hari jumlah orang yang berjihad semakin banyak. Alhamdulillah!
Selanjutnya, buku itu menerangkan ideologi dan mengutip ayat-ayat suci pembenaran
jihad dengan cara teror. Bab-bab selanjutnya menuliskan dengan rinci cara
penggalangan dana, rekrutmen anggota sel, pembagian tugas tiap anggota, cara
pelatihan, hingga syarat-syarat menentukan tempat pertemuan.
Disebutkan di situ, hanya butuh waktu enam bulan untuk membentuk sel komplet.
Rekrutmen menjadi babak amat penting. Setiap calon anggota dikeker dengan ketat
latar belakangnya. Apa catatan hidupnya saat usia 12 hingga 18 tahun. Usia itu
dianggap masa pembentukan karakter.
Nah, setiap calon anggota diberi ujian dengan tingkat kesulitan bertahap. Tugas bisa
bermula sebagai kurir surat. Jika lulus, derajatnya naik. Dia diizinkan mengirimkan
dokumen—sembari dibuat simulasi seolah-olah ada operasi penangkapan oleh polisi.
Setelah bakat dan kemampuan si calon lolos "uji kelayakan", spesialisasi tugas
mulai diperkenalkan.
Di antaranya, spesialisasi dakwah, intelijen dan keamanan, kemampuan berkomputer
dan Internet. Seorang anggota yang mempunyai latar belakang teknik bisa dilatih
merancang bom.
Dari mana dana untuk semua kegiatan ini? Ada infak, tentu saja. Para anggota
didorong membuat bisnis kelompok. Anggota sel juga diwajibkan terlibat dalam
kegiatan masyarakat sekitar. Salah satu kalimat di buku manual itu berbunyi:
+ Upayakan selalu hadir dalam acara perkawinan atau selamatan yang diadakan di
lingkungan.
Keamanan dokumen adalah soal mahapenting. Sebotol bensin dan korek api wajib
disiapkan di samping komputer. Beberapa alamat situs yang menyediakan program
penghancur dokumen dalam sekejap direkomendasikan untuk diunduh. Pada bagian
akhir buku terpampang pesan:
+ Kami berharap kalian menyempurnakan tulisan ini berdasarkan pengalaman khusus
yang kalian miliki. Semoga dilindungi Allah, juga Syeik Abu Abdillah Osamah bin
Ladin, mujahid jaman ini penakluk pasukan komunis dan Amerika Serikat.
Pemilik buku itu maupun beberapa sumber relevan yang dihubungi Tempo tidak bisa
memastikan kapan manual itu terbit dan seberapa luas peredarannya. Jika sudah
terpegang oleh banyak tangan, kemunculan kelompok jihad baru akan kian sulit
dilacak. Sebab, mereka bisa melakukan operasi penyerangan tanpa harus dikomando
oleh Noor Din M. Top, misalnya.
Langkah-langkah yang diterangkan dalam buku itu serupa benar dengan beberapa sel
yang membantu pelarian Noor Din dan Azahari saat mereka menyiapkan bom Bali II.
Salah satunya Subur Sugiyarto, buruh bangunan di Semarang yang pernah
membentuk tiga sel. Tiap sel memiliki spesialisasi masing-masing (lihat Pertalian
Empat Sel).
Bentuk sel lain bisa kita lihat di Tomini, sekitar 300 kilometer dari Palu, ibu kota
Sulawesi Tengah. Terdiri dari sepuluh orang, kelompok ini dipimpin Ustad Aan alias
Opo. Mereka diburu polisi gara-gara mengumpulkan dana atau fa'i dengan cara
merampok pada Februari lalu.
Fenny Tanriono, pedagang cokelat setempat, menjadi korban. Dia mengalami
kerugian uang Rp 3 juta, dua telepon genggam, dan dua jam tangan. Tubuh Fredy,
sopir Fenny, tertembus peluru oleh para pelaku fa'i. Namun nyawanya masih
terselamatkan.
Polisi menangkap kelompok Opo dua bulan kemudian. Para pelaku menyebut Aan
dengan panggilan amir. Artinya, pemimpin. Hingga pekan lalu, delapan dari sepuluh
anggota komplotan sudah tertangkap. Kasus perampokan itu masih disidangkan di
Pengadilan Negeri Palu.
Sumber Tempo di kelompok Mujahidin Poso menjelaskan, Opo bukan anggota inti
mereka. Dia baru tiga bulan mengikuti pengajian yang membahas soal fa'i. "Belum
matang ilmunya, dia nekat beroperasi," kata si sumber. Apakah mereka membaca
manual pembentukan sel? Hal itu tidak terjawab di pengadilan.
Pelaku teror di Indonesia sebagian besar berasal dari organisasi Jamaah Islamiyah.
Mereka memulai serangan pada 1 Agustus 2000 dengan menghantam Kedutaan
Besar Filipina di Menteng, Jakarta Pusat. Tapi polisi baru memperhitungkan bahaya
kelompok ini setelah bom Bali 12 Oktober 2002, yang menewaskan 202 korban dan
melukai lebih dari 300 orang.
Setelah itu, teror praktis menjadi acara tahunan. Terakhir, bom Bali II mengoyak
Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005 (lihat infografik). Sejak bom Bali I, polisi
menangkap sekitar 350 orang yang diduga terlibat aksi teror, hidup atau mati.
Para tersangka umumnya menyebut duet warga Malaysia, Noor Din dan Azahari,
sebagai kreator semua serangan. Salah satunya datang dari Mohamad Cholily, murid
Azahari yang diringkus pada November 2005 di Semarang. Dia divonis 18 tahun
penjara pada Kamis pekan lalu oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar.
Dalam dokumen pemeriksaannya yang diperoleh Tempo, Cholily mengaku pernah
mendengar pesan sang guru yang berkata:
+ "Serangan bom harus dilakukan setahun sekali."
Tempo mencatat ada sejumlah nama yang diduga terlibat aksi teror masih buron
sampai sekarang. Sebagian adalah alumni Perang Afganistan tahun 1990-an (lihat
Para Lelaki di Sekitar Mami). Amat dikhawatirkan, manual terorisme mandiri bakal
dengan cepat memperkuat jaringan mereka.
Gagasan membuat sel yang mandiri dan terdesentralisasi dipelopori Mustafa
Setmariam Nasar, 48 tahun. Pria kelahiran Suriah ini menyebarkan modul pembuatan
sel melalui Internet sekitar tiga tahun lalu. Terdiri dari 1.600 halaman, modul itu diberi
judul The Call for a Global Islamic Resistance.
Nasar memakai nama pena Abu Musab al-Suri. Dia menulis, antara lain:
+ "Lawan begitu kuat dan berkuasa. Kita lemah dan miskin. Perang bakal
berlangsung lama. Cara terbaik untuk melawan adalah melalui jihad revolusioner."
Sejumlah pengamat teroris dunia melihat dari cara membentuk sel, rekrutmen
anggota, serta teknik menyiapkan serangan, modul Nasar diterapkan oleh para teroris
yang menyerang Casablanca (2003), Madrid (2004), dan London (2005).
Pada November 2004, Amerika Serikat sempat menyayembarakan kepala Nasar
seharga US$ 5 juta (setara Rp 45 miliar lebih). Nama Nasar muncul lagi di harian The
Washington Post pada Mei 2005. Di situ disebutkan dia telah ditangkap polisi
Pakistan di perbatasan Kota Quetta.
Bisa jadi. Yang tak bisa ditangkap adalah manualnya, yang telah menerabas hingga
Indonesia. Ringkas dan mudah dipahami, manual versi Indonesia ini dilengkapi
muatan lokal yang "mendekatkan" pembaca dengan materi. Ibarat resep, menu telah
dicocokkan dengan lidah lokal.
Lima tahun terakhir menu itu dilepas pada rentang Agustus-November.
Seorang polisi mengaku kepada Tempo: "Kami memang bersiaga menyambut 'bulan
jihad' para teroris."
Agung Rulianto, Kurie Suditomo, Eduardus Karel Dewanto (Jakarta), Kukuh S.
Wibowo (Surabaya), Rofiuddin (Semarang), Darlis Muhammad (Palu), Imron
Rosyid (Solo)
copyright TEMPO 2003
|