Ambon.Com, 8 Januari 2007
RASKIN, Sebuah Kebijakan yang Merugikan Rakyat di Papua dan
Maluku
oleh David Chan
Masyarakat Papua dan Maluku telah mengkonsumsi sagu dan ubi-ubian seperti
betatas, kasbi, keladi serta embal selama berabad-abad. Saat ini makanan tradisional
tersebut sedang digantikan oleh nasi lewat kebijakan RASKIN dari Pemerintah
Indonesia yang lebih berpihak pada "berasnisasi".
Sagu, betatas, keladi dan kasbi sudah menjadi bagian dari identitas budaya rakyat
Papua dan Maluku. Ada banyak tarian tradisional, istilah bahasa daerah, peralatan
masak dan bertani, tari-tarian dan ritual adat serta lagu-lagu rakyat yang berhubungan
dengan makanan pokok tradisional tersebut. Bila beras berubah menjadi makanan
pokok di Papua dan Maluku maka identitas budaya bangsa-bangsa yang termasuk
dalam rumpun Melanesia ini akan ditinggalkan dan dilupakan untuk selamanya.
Masyarat Papua dan Maluku yang tinggal di perkotaan sudah sepenuhnya
mengkonsumsi nasi. Sangat menyedihkan karena kebanyakan dari mereka, kini tidak
tahu lagi bagaimana mengolah pohon sagu untuk diambil tepungnya. Pemerintah
Indonesia memperkenalkan Program RASKIN di Papua Barat enam tahun yang lalu.
RASKIN merupakan kependekan dari BERAS MISKIN.
Pemerintah Indonesia mulai mendistribusikan beras yang disubsidi secara nasional
ketika negara tersebut tengah menghadapi krisis ekonomi yang parah. Meskipun
program tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin, RASKIN
sebenarnya menciptakan ketergantungan dan dalam jangka panjang akan merusak
perilaku makan serta kebudayaan orang Papua baik yang tinggal di dataran rendah
maupun di dataran tinggi. Perlahan namun pasti, masyarakat Papua dan Maluku
semakin lebih banyak mengonsumsi nasi dari pada sagu atau betatas. Menurut data
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, hingga tahun 2004, masyarakat Papua
mengonsumsi nasi 55%, ubi-ubian 30% serta sagu 15%. Tentu saja persentase
pemakan nasi semakin tinggi sekarang karena gencarnya program RASKIN dan
berbagai kebijakan lain seperti pencetakan sawah besar-besaran di seluruh tanah
Papua dan Maluku.
Menurut harian KOMPAS, BULOG mengalokasikan 43.000 metrik ton beras bagi
256.622 rumah tangga miskin di Papua Barat setiap tahun. Bila dihitung secara kasar
untuk setiap rumah tangga (bapak-ibu dan 2 orang anak) maka jumlah penduduk
Papua yang memakan nasi setiap tahun dari program RASKIN adalah: 256.622 x 4 =
1.026.488 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk mereka yang membeli beras tanpa melalui
program RASKIN, yang tentu saja lebih besar dan lebih intensif. BULOG adalah
badan pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pendistribusian beras. Beras
dikirim ke Papua dari Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Kadang-kadang beras diimpor
dari negara lain.
Ketika tiba di Papua, beras didistribusikan di pasar oleh DOLOG – cabang BULOG di
daerah. Untuk mempercepat pengirimannya ke wilayah pegunungan, pemerintah
daerah – mencarter pesawat AMA dan MAF, dua badan penerbangan yang dimiliki
oleh misionaris Katolik dan Protestan. Seorang Papua yang bekerja bagi AMA,
menyebutkan bahwa sebuah pesawat AMA yang bernama Pilatus mampu
mengangkut hingga satu metrik ton beras ke kampung mana saja di daerah terpencil
Papua. Tidak mengherankan jika beras bersubsidi tersebut dijual dengan harga yang
jauh lebih rendah daripada harga makanan pokok tradisional masyarakat Papua. Di
sini di pasar lokal, beras dijual antara Rp.5.000 dan Rp.6.500/kilogram – jauh lebih
murah daripada sagu dan betatas yang rata-rata adalah Rp.10.000/tempat.
Pemerintah Indonesia telah mensubsidi beras selama bertahun-tahun. Subsidi
tersebut diberikan pada pupuk, tarif import peralatan pertanian, dan pembangunan
bendungan serta jaringan irigasi. Ini belum termasuk trilyunan rupiah yang
dialokasikan bagi program transmigrasi.
Di pihak lain, masyarakat Papua dan Maluku yang memproduksi sagu dan menanam
ubi-ubian tidak pernah menikmati subsidi seperti itu. Kebanyakan dari mereka masih
menggunakan peralatan manual tradisional untuk mengekstrasi tepung dari pohon
sagu (Metroxylon Rumphii). Inilah yang menyebabkan harga sagu lebih tinggi dari
beras.
Jelas bahwa program RASKIN mematahkan semangat petani-petani Papua dan
Maluku yang memproduksi sagu dan menanam betatas. Mereka tidak bisa dengan
mudah beralih menanam padi. Karena sagu dan ubi-ubian sudah merupakan bagian
dari kebudayaan masyarakat rumpun Melanesia ini.
Situasi tersebut semakin bertambah buruk. Jumlah uang yang dibelanjakan orang
Papua dan Maluku untuk membeli beras semakin tinggi. Karena Papua tidak mampu
memproduksi cukup beras sendiri, akibatnya ratusan milyar rupiah mengalir keluar
dari Papua dan Maluku setiap tahun. Jika orang Papua memilih untuk kembali
membeli sagu dan betatas atau kasbi, lebih banyak uang akan berputar di pulau itu
sehingga mendukung berbagai aktivitas ekonomi masyarakt lokal.
Untuk menjawab kondisi ini, pemerintah daerah dan pusat berencana untuk membuka
jutaan hektar sawah di Merauke dan kabupaten-kabupaten lain di seluruh dataran
Papua, mengubah rawa-rawa menjadi sawah. Di Maluku hal tersebut dilaksanakan di
Pulau Buru serta Seram. Sebagai konsekuensinya, program yang ambisius ini
memerlukan lebih banyak transmigran untuk mengimplementasinya, mengakibatkan
orang-orang Melanesia ini menghadapi kenyataan menjadi minoritas di tanah airnya
sendiri.
David Chan adalah warga yang prihatin dan tinggal di Papua Barat.
|