Banjarmasin Post, Senin, 02 Oktober 2006 00:25
Provokator Masih Ada
TIDAK habis-habisnya Poso bergolak. Sejak pertama kali terjadi pada 1999, kota
kecil di Provinsi Sulawesi Tengah ini terus diguncang teror yang tiada henti. Bom,
pembunuhan, kerusuhan, demo terus muncul secara bergelombang. Terakhir adalah
Sabtu malam lalu, tiga bom rakitan meledak saat warna menanti makan sahur.
Tidak ada korban jiwa, karena hanya bom jenis low explosif. Peristiwa ini terjadi
setelah sehari sebelumnya masyarakat mengamuk, merusak Polsek Pamona Timur
dan melempari helikopter yang ditumpangi Kapolda Sulteng, Komisaris Besar
Badrodin Haiti. Kemarahan warga ini hampir pasti berkaitan dengan eksekusi tiga
terpidana mati, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Dua orang
hilang dalam insiden itu dan sampai kini belum ditemukan.
Sebagai bangsa, kita ikut prihatin melihat pekembangan buruk yang tiada
habis-habisnya. Dari dulu orang selalu mengatakan bahwa Poso ada provokatornya,
ada yang ?memelihara?. Kita memang tidak sependapat, semua kasus yang terjadi
di Poso merupakan pertikaian warga apalagi kalau dikaitkan dengan agama.
Warga Poso, sebagaimana warga Maluku yang penah tercabik-cabik oleh ulah
provokator, adalah orang-orang yang cinta damai. Terbukti mereka selama ini bisa
hidup rukun, tidak ada permusuhan. Adat pun tidak akan membawa mereka dalam
pertikaian seperti sekarang. Karena itu, masuknya pengaruh luar sangat mungkin
terjadi.
Bahwa sentimen agama atau suku akhirnya menyeret mereka dalam perselisihan,
bisa saja terjadi. Seperti kasus dieksekusinya Tibo dan kawan-kawan, tidak hanya
memancing emosi warga Poso dan Sulteng tetapi juga warga Atambua, Nusa
Tenggara Timur, tempat asal Tibo. Ribuan warga mengamuk, mereka membakar
rumah Kepala Kejaksaan Negeri Atambua, mendobrak Lembaga Pemasyarakatan
dan memaksa 180 narapidana dan tahanan kabur.
Solidaritas agama atau suku harus diakui ada, tetapi ini tentulah hanya ekses.
Masyarakat melihat hukuman mati itu tidak adil, karena ada banyak nama di
belakang Tibo dkk yang seharusnya bertanggung jawab ternyata dibiarkan. Paling
tidak, mereka tidak segera ditangkap sampai Tibo dkk dieksekusi. Inilah rasa tidak
adil yang dirasakan terpidana maupun sebagian masyarakat.
Terlepas benar tidaknya asumsi itu, kita memang sering melihat adanya sikap
membodohi masyarakat dengan tidak memproses suatu perkara yang menyangkut
orang penting, misalnya. Putusan pengadilan juga sering tidak memuaskan
masyarakat. Misalnya, koruptor dibebaskan, pembunuh dihukum ringan tetapi yang
lain divonis berat dan banyak lagi contoh keputusan pengadilan yang tidak
memuaskan.
Ini juga bisa menjadi pemicu atas ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan
pengadilan yang lain, yang lantas menganggapnya tidak adil. Keputusan pengadilan
memang tidak harus sama karena hakim bebas menjatuhkan putusan sesuai rasa
keadilan yang dimilikinya, tetapi harus ada benang merah yang bisa menjaga
konsistensi atas rasa keadilan itu.
Kasus Tibo dkk hendaknya tidak terus berlarut-larut, tetapi segera diambil
hikmahnya. Siapa pun yang bersalah harus dihukum, tidak boleh ada pihak yang jadi
korban atau dikorbankan. Untuk itu kesungguhan aparat dalam menyingkap kasus
Poso sangat diharapkan. Kita masih prihatin melihat perkembangan Poso yang belum
juga pulih. Bom yang masih terus meledak, menjadi bukti masih adanya pihak yang
ingin membuat Poso terus menerus rusuh.
Tidak jelas apakah itu ada kaitan dengan eksekusi Tibo atau tidak, tapi setidaknya
bisa menjadi bukti di Poso masih ada provokator yang terus mencari mangsa. Karena
itu aparat hendaknya tidak berhenti, jaringan perusuh masih terus beraksi. Aparat
bisa mengungkap kasus Bom Bali sampai kasus bom lain yang demikian rumit.
Mereka juga bisa menangani kasus kerusuhan Ambon yang berdarah-darah sekian
lama, rasanya mereka pun mampu mengungkap kasus Poso. Jangan biarkan
masyarakat menduga-duga sendiri yang ujung-ujungnya bisa salah.
Adalah bijaksana apa yang dikatakan Ketua MPR Hidayat Nurwahid, agar pemerintah
mempercepat eksekusi 82 terpidana mati yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap
agar tidak menimbulkan diskriminasi hukum di Indonesia terkait eksekusi mati Tibo
dkk.
Hukuman mati, katanya, tidak ada kaitannya dengan agama, adat atau kelompok,
sebab hukum tidak mengenal batasan seperti itu. Kalau vonis tidak dilaksanakan
justru mencederai UUD 1945.
Kita berharap Poso segera tenang kembali. Semoga bulan suci Ramadhan bisa ikut
menciptakan suasana tertib dan damai, saling menghargai dan saling menyayangi
satu dan lainnya
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
|