detikcom, 29/01/2007 03:49 WIB
Konflik Poso Siapa yang Bermain?
Iqbal Fadil - detikcom
Jakarta - Konflik Poso yang kembali memanas di awal tahun 2007 telah menewaskan
14 warga sipil termasuk 2 anggota polisi. Meski dibantah bernuansa agama,
kekerasan yang terjadi justru menunjukkan pergeseran pertarungan antara negara
versus masyarakat. Siapa yang bermain, siapa yang menangguk untung?
Masyarakat Poso sepertinya tidak akan pernah lepas dari rangkaian panjang tindakan
kekerasan. Pasca perjanjian Malino I dan Malino II yang digagas Jusuf Kalla dan
Susilo Bambang Yudhoyono yang waktu itu menjadi Menko Kesra dan Menko
Polkam, diakui memang terjadi perubahan. Setidaknya konflik yang terjadi kini bukan
konflik antarumat beragama.
Tapi mengapa konflik yang terjadi sekarang seolah menunjukkan terjadi pertarungan
antara polisi dengan warga? Bukankah sesuai konstitusi, negara seharusnya menjadi
pelindung bagi warganya?
Berbagai analisa muncul untuk memberikan gambaran, siapa sebenarnya yang
'bermain' dan apa kepentingan mereka menciptakan konflik secara terus menerus.
Analisa pertama seperti yang diungkapkan pengamat masalah konflik dari
International Crisis Group (ICG) Sidney Jones yang memprediksi kawasan Poso
sebagai tempat yang ideal untuk mengembangkan pemikiran jihad.
Menurut Sidney dalam rilis berjudul Weakening Indonesia's Mujahidin Networks:
Lessons from Maluku and Poso (Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di
Indonesia: Pelajaran dari Maluku dan Poso) yang dipublikasikan beberapa waktu yang
lalu, kawasan Poso diyakini layak menjadi qoidah aminah. Yakni tempat untuk
menjalankan prinsip-prinsip syariat Islam secara aman.
Poso dapat dijadikan basis untuk kemudian dijadikan daerah ujicoba untuk
pembentukan sebuah negara Islam. Karena itu, maka Maluku dan Poso terus menjadi
fokus bagi upaya dakwah dan perekrutan anggota baru organisasi-organisasi itu.
Siapa kelompok yang bermain, dengan yakin Sidney menuding organisasi teroris
terbesar di Asia Tenggara Jamaah Islamiyah (JI). tudingan ini seolah mendapat
pembenaran melalui pernyataan Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinasi
Polhukam Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai yang mengatakan Poso sebagai wilayah
Mantiqi III jaringan teror Internasional JI.
Kemudian seperti apakah keterlibatan JI di Poso. Bukankah posisi JI di Indonesia
kian melemah setelah kepolisian menembak mati buronan nomor wahid Dr Azahari
bin Husin pada November 2005.
Prof Zachary Abuza peneliti terorisme di Asia Tenggara, dalam tulisannya di The
Australian edisi 10 September 2006 memperingatkan, tokoh JI lainnya yang masih
buron yakni Noordin M Top merupakan ancaman yang paling nyata.
Apalagi setelah Noordin mengumumkan kelompok barunya yang bernama Tanzim
Qaidat al-Jihad. Kelompok ini menurut Abuza, merupakan sempalan JI yang paling
beringas.
Namun analisa ini tentunya dibantah keras-keras oleh sejumlah tokoh Islam di Poso,
termasuk partai Islam yang diundang Wapres Jusuf Kalla dalam dialog Sabtu 27
Januari.
Pengunaan istilah teroris seolah-olah menjadikan kasus Poso dibawa ke dalam
perang melawan terorisme yang dikumandangkanm Presiden AS George W Bush
pasca serangan WTC 11 September 2001.
Protes yang sama pun dilancarkan sejumlah tokoh Islam yang mendatangi Komnas
HAM untuk mengadukan kekerasan Polisi di Poso Kamis 25 Januari lalu. Pimpinan
Ponpes Ngruki Abu Bakar Ba'asyir, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq
dan kordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Mahendradatta serta beberapa tokoh
lainnya mempertanyakan keseriusan polisi dalam mengungkap kasus-kasus yang
terjadi sebelum perjanjian Malino ditandatangani.
Polisi dituding diskriminatif dengan hanya mengejar-ngejar 29 DPO Poso tanpa
menindaklanjuti 16 nama yang disebut-sebut terlibat dalam kasus kerusuhan Poso
oleh Tibo cs sebelum dieksekusi.
Analisa kedua adalah negara atau pemerintahlah yang berkepentingan menjaga
konflik di Poso terus terjadi. Kekerasan di Poso adalah buah dari pertarungan
kepentingan di tingkat elit politik. Sejumlah pengamat bahkan menuding konflik Poso
dikendalikan dari Jakarta.
Tujuannya untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dan kontrol strategis kawasan
Indonesia Timur. Konflik Poso justru keluar dari konteksnya, yang menjadi komoditas
politik dan ekonomi di pusat kekuasaan.
Lantas siapa yang bermain dalam konflik Poso, siapa yang kemudian menangguk
untung? Yang pasti kita semua bisa melihat, masyarakat Posolah yang yang
sekarang menjadi korbannya. (bal/bal)
Baca juga:
Polri Didesak Lucuti Senjata di Poso Tanpa Pandang Bulu
Konflik Poso, Waspadai Campur Tangan Asing
Dituding Dibekingi Pemerintah Eks Panglima Laskar Jihad Cuek
Polri Sinyalir Puluhan Orang di Poso Berpotensi Lakukan Teror
© 2007 detikcom, All Rights Reserved.
|