Indopos, Rabu, 24 Jan 2007
Bara Poso yang Sulit Padam
Oleh Suprianto
"Demi Allah, saya tidak rela anak saya ditangkap polisi. Apalagi disuruh
menyerahkan. Lebih baik tidur sama mayat anak saya daripada menyerahkannya ke
polisi. Saya sudah ikhlas," kata Ny Jamilah, warga Poso kota yang anaknya masuk
dalam DPO (daftar pencarian orang) atas dugaan terlibat serangkaian kekerasan di
kabupaten itu.
"Mereka itu (para DPO) pahlawan. Saat kita diserang pasukan merah (kelompok
Kristen saat pecah konflik Poso), mereka yang berju! ang mati-matian di depan
sendiri. Kalau tidak ada mereka, mungkin kita sudah habis oleh pasukan Tibo
(Fabianus Tibo). Karena itu, saya tidak mungkin menyerahkan mereka ke polisi.
Kalau polisi mau menangkap, tangkap saja sendiri," ujar Ustad Adnan Arsal, tokoh
Islam Poso.
Pernyataan itu disampaikan kepada saya pada 7 November 2006 saat saya menjalani
tugas jurnalistik di Poso.
Polisi, termasuk Kapolda Sulteng Brigjen Pol Badrodin Haiti, tentu mendengar
ancaman perlawanan keluarga dan kelompok DPO itu bila penangkapan paksa
dilakukan.
Karena itu, saya tidak kaget ketika terjadi perlawanan mati-matian dari sebagian
masyarakat Poso kota saat polisi benar-benar menangkap paksa buron dalam DPO
layaknya penyergapan mendiang Azhari Husin hingga mengakibatkan tewasnya
sebelas warga sipil dan dua polisi.
Tak Cukup Penegakan Hukum
Kericuhan di Poso hingga rentetan bom yang kembali menyalak beberapa hari ini
memang berbeda dengan peristiwa serupa pada 1998-2000. Kala itu yang terjadi
konflik dua kelompok (Islam dan Kristen). Namun, kali ini konflik kelompok Islam
dengan aparat keamanan. Memang, yang terjadi sekarang sebenarnya juga sisa
masa lalu yang kelam. Yakni langkah aparat yang berusaha menuntaskan sisa
pekerjaan rumahnya mengusut segala tindak kekerasan yang terjadi pasca-Deklarasi
Malino (Deklama).
Setelah Deklama -perjanjian damai kelompok Islam dengan Kristen- situtasi Poso
sebenarnya sudah relatif aman. Kedua kelompok yang sebelumnya bertikai
pelan-pelan membaur meski satu-dua peristiwa kekerasan masih terjadi. Nah,
berdasar komitmen Deklama, aparat pun berjanji mengusut dan memproses peristiwa
kekerasan pasca-Deklama. Langkah aparat itulah yang kerap memantik situasi panas
di Bumi Sintuwu Maroso tersebut.
Tindakan aparat itu tentu tidak bisa disalahkan. Namun, menelusuri motif dan faktor
mengapa kekerasan masih saja terjadi pasca-Deklama harus tetap dilakukan. Sebab,
yang terjadi di Poso, pemerintah hanya fokus pada penegakan hukum setelah
Deklama dengan memproses tindak kekerasan yang masih terjadi. Padahal, untuk
membuat Poso aman, upayanya tidak hanya cukup dengan penegakan hukum.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kekerasan yang belum juga usai itu.
Faktor ekonomi misalnya. Sudahkah pemerintah all-out memikirkan itu? Sebab,
sampai sekarang, masih banyak janda dan yatim piatu korban konflik Poso yang
mencari makan setiap hari saja masih susah meskipun sebagian sudah dibuatkan
rumah kembali.
Konflik komunal itu sudah enam tahun berlalu. Namun, di beberapa wilayah yang
mayoritas dihuni muslim (di antaranya di Poso Kota), masih terlihat pengungsi
muslim yang belum juga kembali ke kampung asalnya. Begitu juga dari pihak Kristen.
Misalnya di daerah Tentena, masih terdapat warga Kristiani yang belum kembali ke
kampungnya.
Mereka belum kembali ke kampung asal bukan karena takut terjadi konflik komunal
lagi. Tapi, banyak yang berpikir apakah kembali ke kampung halaman itu bisa
membuat ekonomi mereka pulih? Sebab, suami, bapak, paman, kerabat, maupun
tetangga mereka ikut tewas sebagai korban kerusuhan.
Faktor itu pula yang membuat sebagian pemuda Poso nekat dan melakukan tindak
kekerasan. Mereka baru merasakan pahitnya buah konflik komunal yang
menewaskan kerabatnya dan membuat harta benda orang tuanya habis tak tersisa.
Sebagian di antara mereka itulah yang kemudian melakukan aksi balas dendam
sehingga harus berurusan dengan aparat kepolisian dan ujung-ujungnya dimasukkan
DPO.
Mereka sebenarnya sadar betul bahwa untuk membuat Poso damai harus mentaati
Deklama. Tapi, sebagian mempertanyakan keadilan proses hukum terhadap perusuh
Poso, baik dari kelompok Islam maupun Kristen.
Misalnya, yang sering dipertanyakan para buron DPO ialah cukupkah polisi hanya
mengeksekusi Fabianus Tibo, Marinus Rowi, dan Da silva? Padahal, kelompok
mereka itu membantai sekitar 300 warga Sintuwu Lembah. Terlebih lagi, sebelum
dieksekusi, Tibo menyebut beberapa orang penting di balik pembantaian itu.
Salah seorang warga Sintuwu Lembah yang saya temui mengaku melihat beberapa
orang yang turut melakukan pembantaian bersama Tibo. Dia pun mengaku tubuhnya
selalu bergetar dan seketika ingat putranya yang menjadi korban pembantaian pada
medio 2000 setiap kali melihat orang tersebut.
Profesionalisme Polri
Tidak ada korban jiwa, baik dari pihak sipil maupun polisi, kalau tidak ada
penangkapan paksa buron DPO tersebut. Namun, polisi mungkin sudah habis
kesabaran sehingga terpaksa melakukan aksi layaknya perang di Poso.
Namun, harus diingat, penegakan hukum di Poso tidak bisa disamakan dengan
daerah lain. Sebab, ibarat orang yang baru sembuh dari sakit, Poso belum pulih
benar. Karena itu, protap (prosedur tetap) pengamanan yang terkait dengan
penegakan hukum di Poso harus berbeda dengan protap pada umumnya.
Langkah Polri yang terus mengerahkan Brimob ke Poso patut disayangkan.
Sampai-sampai Brimob Kelapa Dua Mabes Polri yang dikenal paling elite diturunkan
untuk membantu menangkap buron DPO. Tidak jarang personel Brimob yang masih
muda-muda itu mondar-mandir dengan menenteng senjata.
Saya tidak tahu persis, apakah seluruh aparat yang bertugas di Poso paham kondisi
psikologis dan karakter orang Poso. Yang pasti, salah seorang anggota Brimob asal
Ternate yang waktu itu saya temui mengaku tak ambil pusing dengan ancaman warga
Poso. "Kalau macam-macam, kita tembak saja," katanya. Polri mungkin berpikir,
dengan pengerahan personel yang lengkap, warga Poso akan takut.
Kalau di lain tempat, warga mungkin tiarap dan lari menjauh bila mendengar rententan
tembakan. Tapi, tidak di Poso. Warga justru keluar rumah dan mencari asal suara
tembakan tersebut, kemudian memukul tiang listrik bertubi-tubi. Kalau sudah seperti
itu, warga satu kampung pun akan ke luar dan beramai-ramai mencari sumber suara.
Yang jadi pertanyaan, apakah Polri tidak mampu menangkap buron DPO Poso
dengan teknik undercover, ibarat menangkap ikan tanpa memperkeruh airnya?
Lantas, apa fungsi intelijen keamanan (intelkam) yang sudah dibentuk mulai tingkat
Mabes Polri hingga polsek? (*)
Suprianto, wartawan Jawa Pos, pernah meliput peristiwa Poso
©Copyright 2006, Indo Pos Online colo'CBN. |