Intisari, Januari 2002
Sagu, makanan pokok yang merana
Sagu pernah menjadi makanan pokok orang Maluku dan Irian Jaya, benar! Namun
pohon sagu tidak melulu hidup di tanah Papua atau Maluku. Pohon yang mirip enau
ini dapat dijumpai di daerah lain di Indonesia. Ia potensial untuk diversifikasi pangan.
Namun sayang sekali gengsinya mulai tergeser beras.

|
Sosok pohon Sagu
| |
Masih ingat pelajaran di SD dulu kalau sagu itu makanan pokok penduduk Maluku
dan Irian Jaya? Sekarang tampaknya tepung sagu mulai tergeser beras yang sudah
menjadi makanan pokok nasional.
Irian Jaya memang tempatnya hutan sagu. Di tepi Danau Sentani, di Wasur,
Merauke, di mana-mana sampai di beberapa pulau kecil seperti Pulau Biak dan
Kepulauan Padaido. Luasnya jangan ditanya, bisa hektaran. Orang sana menyebut
hutan itu dus! un sagu. Meski dibilang dusun, tidak ada rumah atau penduduk tinggal
di sana, kecuali gubuk-gubuk bagi mereka yang sedang menokok (memanen) sagu.
Menarik sekali menyaksikan langsung pemanenan sagu, terutama buat kita yang
tinggal jauh dari Papua atau Maluku. Apalagi kalau sempat mencicipi makanan
utamanya, papeda - semacam bubur tepung sagu tetapi sangat kental, persis lem
kanji bikinan sendiri.
Biasa disajikan panas-panas dan disantap bersama "sup" ikan dengan kuah
melimpah. Atau dihidangkan bersama keladi dan sayur. Kalau nekat menyantap
papeda tanpa kuah, dijamin bakal kerepotan karena lengket di mulut dan susah
dikunyah. Buat lidah yang tidak terbiasa, papeda agak masam rasanya seperti sudah
basi. Terkadang saat pembuatan ditambah air jeruk nipis atau sejenisnya yang
tumbuh di sana.
Menyukai rawa-rawa
Dalam khasanah botani, pohon sagu termasuk anggota suku Palmae. Sosoknya
agak mirip pohon enau. Perbedaannya di pelepah daun. Pelepah daun sagu ditumbuhi
duri-duri seperti pada pelepah daun rotan. Bentuk buahnya mirip salak berukuran lebih
besar dan berpetak tiga. Hanya saja tidak bisa dimakan karena rasanya pahit-pahit
asam.
Ia termasuk palem yang merumpun, berbatang kasap dengan tinggi menjulang
sampai 7 - 10 m. Batangnya lebih besar ketimbang enau sampai tak terpeluk oleh
tangan orang dewasa.
Pohon sagu Metroxylon spec. tidak seperti rata-rata anggota suku palem lainnya. Ia
menyukai lahan rawa-rawa atau tepi sungai yang selalu tergenang air. Tempat
tumbuhnya di dataran rendah hingga ketinggian 120 m dpl. Tidak hanya di kawasan
Papua, pohon sagu juga banyak tumbuh di Maluku, Sulawesi, Kalimatan Barat,
Mentawai, Kepulauan Riau-Lingga, dan Sumatera. Juga di Jawa, meski sangat jarang.

|
Batang pohon sagu dibelah, lalu
bagian tengahnya (gumbar)
dihancurkan dengan alat yang
disebut tokok.
| |
Orang Minangkabau menyebut pohon sagu sebagai rumbia. Sementara di Irian Jaya
namanya banyak sekali sesuai bahasa masing-masing suku (menurut para ahli
tercatat ada lebih dari 250 bahasa). Ada yang menyebut ai rabo anam, akiri, atau da.
Orang Inggris menamainya sagopalm.
Masyarakat Irian Jaya secara tradisional membedakan pohon sagu sampai dua belas
jenis, masing-masing sesuai dengan batang dan durinya yang terdapat! di pelepah. Di
antaranya makbon, yang di Ambon disebut sagu nona. Entah kenapa dinamai sagu
nona, yang jelas durinya banyak dan rapat. Lalu amber yang durinya besar-besar dan
banyak. Yang pelepahnya polos, tanpa duri sama sekali, namanya Snaafe. Yang
berbatang dan berpelepah besar disebut sworu, dan masih dibedakan lagi menjadi
tiga macam. Ada lagi jenis ronggu, yang berbatang dan berpelepah besar. Di Pulau
Biak, sagu jenis ini biasa ditanam sebagai pembatas kepemilikan lahan sagu antara
satu klan dengan klan lain.
Di Jawa Tengah hanya dikenal lima macam sagu. Sagu kersula, buahnya banyak
sebesar jeruk nipis, ada 5 - 8 buah setandan. Rembulung, buahnya satu-satu dalam
setiap tandan, sebesar jambu bol, dengan biji seperti kolang-kaling. Tembulu, sagu
dengan tunas daun muda yang belum terbuka (janur) berwarna putih. Sagu bulu,
tunas daun mudanya berwarna kekuningan. Jenis rajang bungkoan, daunnya dapat
dibuat tikar kajang terbaik, warnanya cerah mengkilat, dan tidak getas (mudah patah).
Padahal dalam literatur taksonomi, pohon sagu hanya dibedakan atas beberapa jenis.
Metroxylon rumphii forma sagus genuina Rumphius, forma yang paling banyak tumbuh
di Maluku dan sekitarnya. Tangkai daunnya berduri banyak, dengan susunan berbaris
melintang. Duri-durinya lurus sepanjang 1 - 4 cm. Mutu sagunya pun sangat baik.
Metroxylon longispinum Mart. panjang durinya. Batangnya tidak lebih besar dari pohon
kelapa. Metroxylon micranthum Mart. berduri pendek dan besar, dan gumbarnya (hati
batang sagu) tahan lebih lama.
Metroxylon sylvestra Mart. memiliki batang paling tinggi, gumbarnya lebih keras.
Duri-durinya panjang dan ramping berjejalan pada pelepah. Sagunya berwarna
kemerahan. Metroxylon sagus Rottb. (Sagus laevis Rumphius) dengan daun berujung
runcing panjang dan tajam. Tinggi batangnya sedang-sedang saja, namun bisa
menghasilkan tepung paling baik.
Sagu dipanen, pohon ditebang
Kata penduduk di Irian Jaya, tanda-tanda pohon sagu siap "dipanen" bisa dilihat pada
pelepah daun dan bunga. Jika pelepahnya semakin condong, pertanda batang sagu
sudah mengandung banyak pati. Atau, jika pelepah menjadi keputih-putihan seperti
ditaburi kapur atau tepung. Begitu pula ketika bunganya mulai muncul, berarti pohon
sagu sudah siap ditebang.

|
Gumbar sagu yang sudah
hancur dibungkus kain,
diremas-remas sambil disiram air
banyak-banyak. Air yang
mengandung pati itu ditampung
untuk diendapkan.
| |
|
| |
Menjelang berbunga, biasanya tangkai daun mudanya memendek sebelum akhirnya
pembentukan daun terhenti. Selanjutnya dari tandan-tandan bunga muncul
tangkai-tangkai sepanjang kira-kira 8 cm. Saat yang tepat untuk "memanen" sagu
diperkirakan antara perkembangan mayang dan munculnya tangkai-tangkai itu, yang
waktunya kira-kira satu tahun. Kalau bunga sudah telanjur menjadi buah, kandungan
patinya sudah jauh berkurang.
Secara tradisional orang Irian Jaya "memanen" sagu menggunakan tokok. Bentuknya
mirip beliung kecil bertangkai panjang dari kayu dan logam. Batang sagu ditebang
pada bagian bawah dekat akar, lalu dipenggal-penggal sepanjang 2 m. Baru
potongan-potongan itu dibelah memanjang. Empulur atau gumbarnya dihancurkan
dengan tokok, dan dipangkur hingga hancur seperti serbuk gergaji. Serbuk gumbar itu
dibungkus kain sebagai tapis, lantas diremas-remas sambil terus-menerus diguyur air
banyak-banyak.
Air bercampur pati itu ditampung dalam bak penampung untuk diendapkan. Ketika air
ditiriskan, akan diperoleh endapan berupa pati. Tepung sagu ini biasanya dikemas
dalam wadah terbuat dari daun sagu. Supaya tahan selama sebulan, tepung dalam
kemasan itu setiap kali perlu disiram air segar untuk menjaga agar tetap basah.
Cara orang Mentawai menokok sagu sedikit berbeda. Dari batang yang dibelah,
empulur diambil, ditumbuk dalam palung kayu ukuran besar, lantas direndam selama
24 jam. Selanjutnya, diremas-remas hingga serat-seratnya mengambang di
permukaan air dan didiamkan. Saat air sudah jernih kembali, serat yang
mengambang ditiriskan dan tinggallah tepung sagu berbentuk bubur. Begitu
dikeringkan, jadilah tepung sagu dan biasanya juga dibungkus daun sagu. Sagu dari
Mentawai sering dibilang lebih murni dan lebih putih warnanya.
Tergeser beras
Sayangnya, sebagai bahan makanan pokok di wilayah timur Indonesia, sagu mulai
banyak kehilangan penggemarnya. Tergeser oleh beras sejak zaman Orde Baru.
Perlahan-lahan namun pasti gengsi sagu melorot drastis sampai dianggap sebagai
makanan pokok orang miskin dan terbelakang. Apalagi didorong anggapan, orang
maju dan sejahtera harus makan beras. Wah!

|
Menyusuri hutan sagu, jika tidak
hati-hati bisa terperosok ke dalam
lumpur.
| |
Papeda, bubur sagu kental dan lengket yang mesti dimakan pakai kuah ikan itu, kini
sudah menjadi pemandangan istimewa dan barang langka. Makanan ini hanya
dijumpai pada saat perayaan adat perkawinan atau kelahiran anak. Rata-rata kaum
muda usia 30-an tahun ke bawah tidak suka lagi makan papeda. Mereka lebih doyan
makan nasi. Hanya kelompok yang lebih tua, meski sekarang juga makan nasi, tetap
tidak bisa meninggalkan papeda sama sekali. Maklum, sedari kecil perut mereka
terbiasa makan papeda.
Jadi, kalau kelompok usia yang lebih tua itu merantau ke tanah Jawa, misalnya,
terpaksa makan nasi. Tapi karena perutnya sudah akrab dengan papeda, masih saja
mereka berusaha mendapatkan tepung sagu untuk dibuat papeda. Seminggu sekali
bisa ketemu papeda sudah lumayan. Kalau tak menemukan tepung sagu, tepung
singkong pun bisa disulap jadi papeda singkong. Peristiwa ini betul terjadi. Mirip perut
orang Jawa yang merasa belum makan kalau belum "kemasukan" nasi.
Sebenarnya, potensi sagu sebagai bahan pangan masih sangat besar, namun
sayangnya tidak dimanfaatkan dengan lebih baik. Mestinya warga di daerah-daerah
yang secara tradisional makanan utamanya sagu, tidak perlu menggantinya dengan
beras, apalagi dengan alasan gengsi. Penghasil beras terdapat di kawasan barat
Indonesia, sehingga kawasan timur harus mendatangkannya dari tempat yang jauh.
Ini tentu pemborosan, terutama dalam hal ongkos transportasi. Apalagi negeri kita
kini juga pengimpor beras. Bukankah akan lebih ekonomis kalau diversifikasi pangan
digalakkan? Tanpa harus semata-mata menggantungkan pada jenis serealia yang
menghidupi miliaran umat manusia di muka Bumi ini?
Tepung sagu itu luwes, dapat dibuat aneka macam olahan selain papeda. Ada roti
tradisional, seperti sagu tutupola yang dimasak dalam bumbung bambu, sagu uha
yang dimasak dengan dibungkus daun sagu. Sagu sinoli yang dibuat dari tepung
sagu ditambah garam dan kelapa parut lalu digoreng dalam wajan panas. Pati sagu
bisa juga dibikin kue tart, bolu, atau "kue modern" lainnya. Tergantung kreativitas
kokinya. @ (Adi Mustika, di Kebumen)
Copyright © Intisari Online
|