KOMPAS, Jumat, 03 November 2006
Karut-marut Kekerasan Poso
Arianto Sangaji
Modus baru kekerasan muncul di Poso: warga berhadapan dengan aparat keamanan.
Bentrok antara aparat kepolisian dan warga di Kelurahan Gebangrejo, Kota Poso
(22-23/10/2006), mengakibatkan seorang warga tewas, tiga lainnya luka-luka
(termasuk seorang anak berusia empat tahun), sebuah mobil polisi dan beberapa
sepeda motor terbakar. Buntutnya, sejumlah organisasi massa Islam dan partai
politik di Poso meminta pasu! kan BKO (bawah komando operasi) ditarik dari Poso.
Sebelumnya, warga juga menyerang aparat kepolisian di Taripa, Kecamatan Pamona
Timur (29/9/2006). Massa membakar dua mobil, beberapa sepeda motor, dan
melempari helikopter milik kepolisian. Versi warga, kemarahan massa dipicu
kekecewaan karena Kepala Polda Sulawesi Tengah menolak berdialog dengan
mereka perihal eksekusi Tibo Cs.
Modus baru kekerasan ini harus dijelaskan sebagai puncak gunung es dari
ketegangan yang sudah berlangsung lama.
Pertama, karena ketidakmampuan atau ketidakmauan aparat keamanan
menyelesaikan berbagai tindakan teror yang melanda Poso dan Palu beberapa tahun
terakhir. Publik menganggap aparat keamanan gagal mengungkap aktor dan motif di
balik tindak kekerasan—pengeboman, penembakan, dan pembunuhan—yang telah
memakan korban tewas puluhan orang dan ratusan orang luka-luka.
Kedua, dalam mengungkap kasus-kasus teror dan kekerasan, aparat kerap salah
dalam bertindak dan berlebihan. Beberapa orang disiksa dan ditembak dengan
tuduhan terlibat kekerasan tertentu. Belakangan, mereka dilepaskan bukan karena
lemah alat bukti, tetapi karena aparat salah menangkap pelaku. Kasus-kasus
semacam ini menyuburkan ketidakpuasan warga terhadap aparat keamanan.
Ketiga, warga menduga ada keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan tertentu.
Kasus penculikan dan pembunuhan warga Desa Toyado, Desember 2001, serta
penembakan terhadap Ivon Nathalia dan Siti Nuraini, November 2005, merupakan
contoh nyata keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan di Poso. Buruknya
penuntasan hukum kasus-kasus ini tidak saja membuat warga merasa diperlakukan
tidak adil, tetapi juga menyuburkan keyakinan, aparat memelihara kekerasan.
Tiga faktor itu dibarengi berbagai ekses turunan operasi pemulihan keamanan di sana,
memupuk ketidakpuasan warga atas aparat. Proteksi bisnis dan bisnis proteksi,
pelecehan seksual terhadap perempuanperempuan muda, dan aneka kriminal
ekonomi, membentuk semacam memori kolektif, aparat keamanan kerap merupakan
beban, bukan pemecah masalah.
Pemerintah lemah
Sebagai reaksi atas kekerasan-kekerasan terbaru, Wakil Presiden Jusuf Kalla
menyatakan, kekerasan di Sulawesi Tengah bukan konflik, tetapi teror yang dilakukan
orang-orang tidak bertanggung jawab (Kompas, 30/10/2006).
Bagi kita, tidak penting apakah itu konflik atau teror. Pertama, karena kekerasan
telah memakan korban jiwa tidak sedikit, sementara pemerintah tidak bisa menjamin
keselamatan jiwa di masa depan. Ancaman teror menghantui siapa saja, kapan saja,
dan di mana saja.
Kedua, pemerintah atau pejabat publik seperti Kalla perlu mewujudkan political will
melalui tindakan nyata untuk membongkar motif dan aktor di balik kekerasan. Bukan
dengan mengulangi pernyataan-pernyataan abstrak dan seremonial, yang tidak saja
membingungkan, tetapi juga tidak menyumbang apa-apa terhadap jaminan rasa
aman.
Ketiga, pemerintah perlu mempelajari anatomi kekerasan Poso secara mendalam,
agar tidak melihat kekerasan secara simplistis. Misalnya, dengan menyatakan
maraknya kekerasan sebagai tindakan teror oleh kelompok kecil. Toh, semua tahu,
kekerasan di sana menjadi tunggangan "pasar" dan "kuasa".
Jalan keluar
Bagaimanapun, dengan merajalelanya kekerasan Poso, pemerintahan
Yudhoyono-Kalla adalah contoh paling nyata dari pemerintahan yang lemah.
Pemerintah tak mampu mengendalikan dan menggunakan institusi keamanan dan
ketertiban untuk menciptakan rasa aman. Biasanya, sebuah rezim yang lemah
ditandai fragmentasi dan rivalitas yang keras antaraktor dan institusi-institusi negara,
termasuk antarinstitusi represi negara.
Menghadapi kekerasan Poso yang karut-marut, selayaknya pemerintah menempuh
beberapa jalan keluar. Pertama, membenahi institusi penegak hukum di Poso.
Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar wajah teror dan kekerasan di Sulawesi
Tengah adalah buramnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum sering tidak
berkutik mengungkap motif dan aktor di balik teror dan kekerasan, baik karena
lemahnya sumber daya maupun karena campur aduknya dengan kepentingan di luar
hukum. Sejumlah orang ditahan, sebagian diseret ke pengadilan dengan tuduhan
terlibat kekerasan dan teror, tetapi kerap bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan
mereka amat lemah. Cerita pun sering berakhir di situ.
Kedua, aparat keamanan yang dikerahkan ke Poso hendaknya lebih menonjolkan
pendekatan penegakan hukum dan secara proaktif menciptakan keamanan dan
ketertiban melalui dialog, dibanding reaksi penggunaan kekerasan. Konsep
community police yang diperkenalkan mantan Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen
(Pol) Oegroeseno sebaiknya dipertahankan dan dikembangkan, dibanding mobilisasi
pasukan bersenjata.
Ketiga, pemerintah perlu membuka diri guna mencari penyelesaian kekerasan Poso,
melibatkan pihak lebih luas. Artinya, pemerintah perlu menempuh solusi penyelesaian
Poso dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan saja. Beberapa langkah
mendesak yang harus dilakukan adalah pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta
Independen (TGPFI) di bawah otoritas presiden, evaluasi menyeluruh atas kinerja
aparat keamanan, dan pemulihan sosial ekonomi, termasuk reintegrasi aneka
kelompok bekas kombatan.
Arianto Sangaji, Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|