KOMPAS, Senin, 09 Oktober 2006
Mengapa Poso Kembali Memanas?
Arianto Sangaji
Suka atau tidak suka, eksekusi mati terhadap Tibo, Marinus, dan Dominggus di Palu
(22/ 9/2006) telah memicu ketegangan baru di Poso. Jauh sebelum eksekusi itu
dilakukan, warga Poso terbelah dalam kontroversi "setuju- tidak setuju". Aksi-aksi
protes massa, kendati dilakukan secara damai dan terorganisasi, telah menempatkan
warga dalam batas-batas agama yang berbeda.
Para pihak yang berbeda pendapat soal eksekusi bukan menonjolkan argumentasi
hukum, melainkan lebih memakai sentimen, simbol, dan ritual agama. Lebih celaka
lagi, karena aksi-aksi itu menjadi eskalatif, karena adanya provokasi dan dukungan
dari aktor formal pemerintah.
Menjelang dan setelah eksekusi dilakukan, kekerasan misterius meningkat tajam.
Peledakan bom terjadi di mana-mana yang menewaskan dua orang di tempat
berbeda. Belum jelas nasib dua korban penculikan. Pembakaran terjadi beruntun di
sejumlah tempat berbeda. Aksi-aksi misterius ini yang diikuti dengan kegagalan
aparat keamanan menangkap pelakunya justru memicu tidak saja kekecewaan dan
kemarahan kepada aparat bersenjata, tetapi sekaligus merangsang kembali
kecurigaan antarwarga. Massa menumpuk di beberapa tempat seperti siap
melakukan kekerasan.
Kalau sudah! begitu, pemerintah memberikan reaksi standar. Aparat keamanan
segera mengerahkan pasukan tempur BKO, tercatat ada sekitar delapan satuan
setingkat kompi (SSK) didatangkan dari luar Poso dalam beberapa hari terakhir untuk
memperkuat pasukan tempur organik TNI dan Brimob setingkat dua batalyon yang
sudah berada di Poso sebelumnya. Inilah siklus yang selalu berulang.
Kegagalan
Bagaimanapun, kembali memanasnya situasi keamanan di Poso harus dilihat
sebagai problem klasik kegagalan pemerintah. Pertama, berkenaan dengan
keputusan tentang eksekusi Tibo dan kedua rekannya. Pemerintah menutup mata
dan telinga, dengan sama sekali tidak mendengar seruan, protes, dan upaya-upaya
resmi untuk mencegah atau menunda eksekusi itu. Dengan berdalih pada penegakan
hukum—sesuatu yang sering kali menjadi bahan tertawaan di Poso—pemerintah
memilih melakukan eksekusi.
Kedua, kegagalan pemerintah membaca situasi. Seperti diketahui, eksekusi mati
dilakukan beberapa saat menjelang tibanya bulan Ramadhan. Seperti sudah diduga
sebelumnya, eksekusi segera menimbulkan eskalasi. Karena, dalam sejarahnya
eskalasi kekerasan Poso selalu terjadi dalam bulan tersebut.
Kegagalan membaca situasi ini mungkin karena dua hal. Di satu pihak, penyebabnya
karena pemerintah tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai dinamika
kekerasan di sana. Tentu saja ini sangat ironis karena apa yang kurang dari
instrumen keamanan dan ketertiban negara di Poso saat ini.
Atau di lain pihak, karena atau memang ada kepentingan untuk memanaskan Poso,
dengan menjadikan momentum eksekusi Tibo cs sebagai titik masuk. Sebab, bukan
rahasia lagi, kekerasan Poso merupakan kombinasi dari kepentingan-kepentingan
ekonomi dan politik yang kompleks.
Hentikan solusi primitif
Bagaimanapun, masa depan keamanan di sana sangat bergantung pada kemauan
pemerintah. Pertama, kemauan untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak
bertumpu pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus menghentikan solusi primitif
penyelesaian Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata. Apalagi sudah terbukti,
penempatan pasukan organik dan pengerahan pasukan BKO dalam jumlah besar
tidak serta-merta menciptakan rasa aman di sana. Selain sudah terbukti gagal, juga
semakin memperkuat citra bahwa kekerasan Poso identik dengan proyek keamanan.
Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso secara menyeluruh, tidak per
kasus. Kasus Tibo cs merupakan contoh, di mana pemerintah meng! gunakan
kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor paling
penting dalam kekerasan. Akibatnya, selain sarat kontroversi, kasus ini diletakkan
berdiri sendiri, tanpa melihat kaitan dengan kasus lainnya. Juga, tidak kalah penting
adalah menempatkan setiap kasus ke dalam konteksnya, yakni kekerasan Poso
merupakan kombinasi dari ketidakmampuan, ketidakmauan, dan kegagalan aparat
keamanan menciptakan rasa aman.
Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|