KOMPAS, Jumat, 19 Januari 2007
Petaka Sodom dan Gomora
F Rahardi
Flu burung (avian influenza, AI) tiba-tiba menjadi hantu yang sama menakutkan
dengan AIDS. Inilah kutukan dari Sodom dan Gomora modern.
Agroindustri unggas modern sebenarnya telah menentang alam, sekaligus menantang
hukum Allah. Itulah yang harus diubah, bukan hanya sekadar restrukturisasi
menyangkut pembagian kapling.
Flu sebenarnya merupakan penyakit lama. Ada tiga tipe virus influenza: tipe A yang
bisa menyerang hewan maupun manusia dan tipe B serta C yang hanya bisa
menyerang manusia. Virus tipe A masih terdiri atas beberapa subtipe, yakni H (1-15)
dan N (1-9). AI sendiri sudah terdeteksi sejak 1978 di Italia, tetapi AI subtipe baru
dengan virus H5N1 pertama kali terdeteksi di Hongkong tahun 1997. Sejak itu, flu
burung menjadi mirip AIDS, menimbulkan gejolak atas bisnis perunggasan, sekaligus
mengancam hidup manusia.
Ketika AI menyerang unggas, virus ini belum menjadi wabah yang mendunia.
Agroindustri perunggasan lalu menjadi massal dan mendunia, dengan benih
(DOC/DOD), pakan, hormon pertumbuhan, antibiotik, dan obat-obatan dalam dosis
tinggi secara intensif. Inilah pemicu utama terciptanya virus subtipe baru. Terlebih
setelah agroindustri peternakan hanya mementingkan keuntungan, tanpa memikirkan
dampak negatif yang ditimbulkan.
Wabah sapi gila di Inggris juga kutukan. Virus penyakit gila ini sebenarnya hanya
berjangkit pada domba, dan tidak pernah menjadi wabah. Namun, agroindustri
peternakan di Inggris terlalu rakus. Limbah dari rumah potong hewan, terutama
tulang-tulang—terdiri tulang domba, kambing, sapi, babi, dan ternak lain—digiling dan
dicampurkan ke konsentrat. Tujuannya adalah efisiensi. Dampaknya, terjadi
degradasi genetik dan penularan penyakit. Penyakit gila yang sebelumnya hanya
menyerang domba berjangkit pula ke sapi.
"Nuggets" dan sosis tulang
Pada agroindustri perunggasan, terutama ayam petelur, yang akan dipelihara
hanyalah DOC betina. DOC jantan harus dibuang. Jika DOC jantan diberikan kepada
ikan, dampak negatifnya hampir tidak ada. Namun sekali lagi demi efisiensi, DOC
jantan langsung dimasukkan ke penggilingan dan dicampurkan ke pakan.
"Kanibalisme" inilah antara lain yang telah mengakibatkan degradasi genetik,
sekaligus ikut berperan memicu terciptanya virus AI subtipe baru.
Namun itu semua belum terlalu mengerikan. Kini, tampaknya konsumen kurang jeli
melihat (atau tidak menduga) sosis (sapi dan ayam), nuggets (ayam), dan kornet
(sapi), yang dikonsumsi, sebenarnya bukan dari daging, tetapi limbah tulang-belulang.
Limbah rumah pemotongan hewan dan rumah pemotongan ayam selalu menghasilkan
limbah berupa tulang keras, tulang rawan, sumsum, urat, dan sedikit daging yang
masih melekat. Tulang kerasnya dipisahkan dan disebut MBM atau meat and bone
meal. Ini merupakan bahan campuran industri pakan ternak, termasuk unggas.
Tulang rawan, urat, sumsum, dan daging disebut meat and debone meal (MDM).
Produk inilah yang semula menjadi bahan campuran industri sosis, kornet, dan
nuggets. Kini, MDM menjadi bahan utama makanan pabrik itu. Terlebih dalam sosis
ayam. Yang dimaksud MDM unggas sebenarnya semua limbah ayam digiling, sebab
sekeras apa pun tulang ayam masih amat lunak untuk menjadi sosis dan nuggets.
Kita tidak pernah diberi tahu oleh Asosiasi Produsen Makanan Olahan Daging
(National Association Meat Producer = NAMPA), berapa persen sebenarnya
kandungan MDM pada tiap sosis dan nuggets. Jangan-jangan sudah 100 persen.
Pola industri ternak seperti ini sebenarnya sudah melawan hukum alam, sekaligus
hukum Allah. Sapi dan domba aslinya herbivora. Dalam industri modern mereka
dipaksa menjadi karnivora, bahkan kanibal. Unggas makan biji-bijian dan kadang
serangga serta cacing. Tetapi mereka tidak pernah kanibal. Bahkan elang dan gagak
yang karnivora pun tidak pernah kanibal. Tetapi manusia telah memaksa ayam dan
itik menjadi kanibal. Bahkan DOC, anak ayam yang baru menetas pun, harus kembali
digiling untuk dimakan oleh induk-induk mereka. Ini sudah lebih sadis dibanding kisah
Sodom dan Gomora.
Limbah dari AS
Rakyat AS relatif cerdas dalam melihat "penyimpangan" atas hukum alam ini. Selain
cerdas, mereka kaya. Itu sebabnya mereka tidak menyantap bagian lain dari ayam,
kecuali daging dada. Kulit, daging paha, daging sayap, hati, ampela, tabu disantap.
Apalagi kepala, leher, pantat, dan ceker. Semua itu harus dibuang. Lembaga
konsumen AS juga ketat hingga limbah itu tidak bisa digiling begitu saja dan dijadikan
pakan. Kasus sapi gila di Inggris membuat rakyat AS lebih waspada.
Ke manakah limbah yang masih layak makan itu dibuang? Tentu ke negara yang
penduduknya banyak dan ekonominya lemah. Sasaran utama membuang paha dan
sayap ayam adalah RRC, India, dan Indonesia. MDM hasil penggilingan limbah
unggas juga dibuang ke negara berkembang dan negara miskin. Untuk sarana
pembuangan, kota-kota besar di negara berkembang siap dengan restoran cepat saji
dan pasar swalayan. Saat memungut sosis ayam dan nuggets, ibu-ibu pasti tak
pernah membayangkan, bahan utama produk itu bukan daging, tetapi limbah.
Sebenarnya pemerintah harus mulai memperkuat agroindustri perunggasan tradisional
peternakan itik sebagai penyeimbang. Kelembagaan peternakan rakyat ini
sebenarnya sudah amat kuat. Hanya alokasi modal dan fasilitas lain tidak pernah
tertuju ke mereka, sebab mereka bukan pengusaha yang punya kapling dalam
Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi). Jika para peternak itik yang
sudah massal pun tak tersentuh perhatian pemerintah, ayam kampung lebih tak
terperhatikan lagi. Rakyat memang harus tabah dalam menerima petaka Sodom dan
Gomora modern berupa wabah flu burung.
F Rahardi Wartawan; Penyair
Copyright © 2006 Harian KOMPAS
|