KOMPAS, Jumat, 27 Oktober 2006
KAMPUNG JATON
"Kiapa Torang Masih Dibilang Orang Jawa?"
Jean Rizal Layuck
Saat suara beduk kuno terdengar disusul azan yang menggema, tidak ada pilihan lain
bagi warga kampung Jawa Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara, kecuali datang ke
Masjid Alfalah. Di masjid itulah kekuatan spiritual 700 keluarga Jawa Tondano
disatukan di tengah warga Minahasa yang mayoritas beragama Kristen.
Dari masjid tua itu pula warga Muslim menguatkan tali persaudaraan. Hidup bersama
memelihara tradisi leluhur dalam solidaritas kemanusiaan yang tinggi menjadi
kekuatan masyarakat kampung itu. "Yang abadi adalah persaudaraan, kita tak
mungkin hidup sendiri, dan (untuk itu) kami dapat hidup sampai sekarang," kata
Achmad Kilapong (60), tokoh masyarakat Muslim Jawa Tondano.
Masjid Alfalah menjadi saksi bisu sejarah peradaban Muslim masuk ke dataran
Minahasa. Masjid itu dibangun pada abad ke-19 oleh orang-orang Jawa yang dibuang
Belanda ke Tondano. Mereka adalah keluarga dan pengikut Kyai Mojo, salah satu
pemimpin dalam Perang Diponegoro. Di Minahasa sendiri mereka dikenal dengan
sebutan Jaton (singkatan dari Jawa Tondano).
Dari catatan sejarah Salim Rivai (76), tokoh masyarakat Jaton keturunan keenam
pahlawan Achmad Rivai Kendal (Jawa Tengah), saat itu sekitar 63 orang pengikut
Kyai Mojo yang dibuang ke Tondano itu bersama-sama membangun masjid tersebut.
Masjid Alfalah memiliki benda peninggalan abad ke-18, yaitu beduk berusia hampir
200 tahun tahun dan mimbar yang berdiri kukuh di dalam ruang utama masjid.
Keduanya masih digunakan sampai sekarang. Kecuali beduk berdiameter satu meter
yang kulit kayunya sudah terkelupas di sana-sini, mimbar itu masih kelihatan kukuh
dan terjaga keindahannya.
"Beduk itu sebenarnya sudah beberapa kali ingin diganti, akan tetapi sebagian
pengurus keberatan, karena nilai sejarahnya. Kalau mimbar sudah sering dicat,
sehingga kelihatannya baru," kata Salim.
Kini Masjid Alfalah telah dipugar dengan warna dasar putih yang sangat mencolok di
tengah perkampungan Jawa Tondano. Dari depan jalan di sebelah jembatan, menara
masjid yang menjulang ke langit setinggi 25 meter tampak jelas.
Suasana masjid berkapasitas 500 orang itu menjadi sangat marak saat memasuki
bulan Ramadhan. Ritual keagamaan berlangsung tanpa putus, sejak dinihari, siang,
hingga malam hari. Berbuka puasan mereka lakukan secara kolektif sambil
mengundang banyak orang. Undangan biasa diberikan kepada tokoh agama dan juga
para pejabat pemerintah kabupaten.
"Pak Bupati (Minahasa) tiap tahun berbuka puasa di sini," ujar Salim. Namun
kenyataannya banyak tamu yang singgah untuk berbuka puasa. Masjid Alfalah
menjadi tempat pertemuan sesama warga Muslim. Bahkan di masjid itu hadir
sejumlah tokoh berbeda golongan dan agama melaksanakan acara buka puasa.
Letaknya yang dekat dengan Kampus Universitas Manado membuat sebagian
mahasiswa yang tidak sempat pulang ke Manado, menjadikan Masjid Alfalah sebagai
tempat melaksanakan ibadah.
Bukan orang Jawa
Kampung Jawa Tondano merupakan alkulturasi Jawa dan Minahasa yang
komunitasnya terus hidup dan berkembang selama ratusan tahun. Keturunan orang
Jawa itu sudah enggan disebut orang Jawa, tetapi lebih bangga sebagai orang
Minahasa. Mereka juga tak mau disebut keturunan orang-orang buangan, karena
yang dibuang, menurut mereka, adalah sampah.
"Kiapa dorang masih bilang torang orang Jawa? Torang di sini sudah membumi dan
merasa sudah sebagai orang Minahasa. Semua orang di Minahasa bilang kami ini
orang Jaton, jadi kami tetap dianggap keturunan orang Jawa yang lahir, besar, serta
hidup di Tondano dan Minahasa," kata Hidayat Pantow, warga setempat.
Warga lainnya, Usman Saelangi, malah merasa janggal kalau sekelompok orang
Jawa keturunan rombongan Kyai Mojo yang dibawa ke Tondano sejak sekitar 170
tahun lalu, tetap saja dianggap stereotipe orang Jawa buangan.
Menilik sosok dan rupa, serta dialek dan logat berbahasa Indonesia, mereka sudah
100 persen orang Minahasa. Di Kampung Jawa Tondano, coba lihat, semuanya sudah
serba Minahasa. Entah itu bentuk rumah, kebiasaan dan pola hidup sehari-hari,
termasuk pemakaian bahasa Melayu Manado dan Tondano sebagai bahasa
komunikasi utama sesama warga Kawanua lainnya. Tidak ada bedanya lagi.
Kecuali memang hampir semua keturunan Jaton tetap beragama Islam. "Tapi ini ciri
utama kami sejak dulu, bahkan masyarakat Minahasa lainnya juga sudah menerima
kami dalam pergaulan sosial, serta perkawinan campuran antara Jaton dengan orang
Minahasa sejak zaman cikal bakal kami sudah terjadi," ujar Usman. "Coba cari siapa
orang Jaton yang bisa berbahasa Jawa?" tambahnya.
Orang Jaton merupakan bukti hidup dari sejarah kelabu Indonesia di zaman
penjajahan Belanda. Orang-orang Jaton di Tanah Minahasa ini, sesungguhnya suatu
potret kecil yang khas, dari sebuah album besar kehidupan masyarakat dan budaya
Indonesia. Mereka memang berada dalam satu kompleks permanen, sehingga tak
sulit mencari orang Jaton.
Tetapi rupanya orang Jaton tidak semuanya bermukim di Kampung Jawa Tondano di
Minahasa. Sebab setelah rombongan pertama Kyai Mojo, masih menyusul beberapa
rombongan lagi. Mereka dianggap Jaton juga atau mereka mengidentifikasikan diri
sebagai Jaton. Padahal banyak di antara mereka bukan berasal dari Jawa, atau
bukan keturunan langsung rombongan Kyai Mojo.
Dari catatan sementara ini, orang-orang Jaton itu tersebar juga di luar Kampung Jawa
di Tondano, seperti Saronsong di Tomohon, Girian di Bitung, Bojonegoro di Tompasu,
Ichwan dan Yosonegoro di Bolaang-Mongondow, di Kota Manado, Yosonegoro dan
Paguyaman di Gorontalo, termasuk Jailolo di Halmahera Barat, Maluku Utara. Mereka
juga dengan sadar menyebut dirinya sebagai Jaton yang populasinya kini kira-kira
50.000 jiwa.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|