The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Jumat, 26 Januari 2007

Kelompok Bersenjata di Poso

Arianto Sangaji

Kekerasan bersenjata dan berdarah-darah kembali melanda Poso pada Kamis (11/1) dan Senin (22/1). Belasan orang tewas, lainnya terluka. Situasi terus mencekam, ancaman kekerasan datang tiap saat.

Berbeda dari sebelumnya, kekerasan ini melibatkan aparat keamanan, terutama polisi, berhadapan dengan kelompok-kelompok (sipil) bersenjata (non-state armed groups) secara vertikal. Di masa lalu, kekerasan Poso selalu berdi! mensi horizontal, di mana simbol atau sentimen suku dan agama berbeda kerap menjadi obyek kekerasan.

Perubahan pola kekerasan ini secara terbuka mulai terlihat seusai eksekusi Tibo dan kawan-kawan pada 22 September 2006. Muncul ketidakpuasan warga terhadap aparat keamanan, baik karena eksekusi itu sendiri maupun metode penyelesaian kekerasan Poso dengan penetapan 29 orang masuk daftar pencarian orang (DPO). Ketidakpuasan itu tumpang tindih dengan kekecewaan warga terhadap berbagai kesalahan dan kegagalan aparat keamanan dalam menangani ketertiban di Poso delapan tahun terakhir.

Kelompok-kelompok bersenjata

Berbagai kelompok bersenjata yang dimaksud, secara politik merupakan sebutan penuh kontroversi. Dalam kasus kekerasan Poso terbaru, aparat keamanan menyebutkan mereka sebagai kelompok kriminal bersenjata atau teroris, karena itu perlu diperangi. Sebaliknya, di mata pendukungnya, kelompok-kelompok itu dipandang sebagai pejuang, karena itu perlu dibela.

Sepanjang kekerasan Poso, terutama sejak Mei 2000, kelompok bersenjata di dua komunitas berbeda agama tumbuh subur di Poso. Awalnya mereka mengelompok secara spontan dan hanya didasarkan pada pembelaan agama. Sejalan dengan pendalaman kekerasan, kelompok-kelompok itu menjadi kian solid dalam pengertian ideologi, organisasi, dan program.

Pertumbuhan kelompok-kelompok bersenjata itu sebenarnya bukan faktor tunggal, genuine dari masyarakat. Ada akar dan konteks yang melatari kehadirannya.

Pertama, penggunaan atau manipulasi simbol-simbol agama dalam perebutan kekuasaan politik. Cakupannya tidak hanya bersifat lokal Poso, tetapi juga berakar dalam jantung kekuasaan di Jakarta. Kemunculan kelompok-kelompok bersenjata dalam rentang sejarah kekerasan Poso memperlihatkan pihak-pihak yang terlibat dalam perebutan kekuasaan politik mendukung atau membiarkan kelahiran kelompok-kelompok itu melalui dukungan logistik (terutama senjata api dan amunisi), latihan, perlindungan, dan kehadiran. Pemetaan teliti tentang kelompok-kelompok itu, termasuk penyebaran senjata api, akan ditemukan mata rantainya.

Kedua, kekerasan Poso sudah seperti "pasar". Dana-dana pemulihan situasi Poso bersumber dari APBN dan APBD—melalui penggunaan yang koruptif—mengalir untuk melanggengkan kekerasan Poso. Di sisi lain, serangkaian kriminal ekonomi tumbuh subur di tengah kekerasan yang berlarut, seperti transfer senjata api secara ilegal yang melibatkan aktor-aktor negara. Kelompok bersenjata menjadi penting dalam kerangka ini.

Ketiga, ketidakmampuan pemerintah menuntaskan kasus Poso. Penyelesaian yang parsial, karitatif, elitis, sarat korupsi, dan tidak menyentuh kepentingan korban dan keluarganya telah menumbuhsuburkan kekecewaan di kalangan warga. Problem-problem yang dirasakan warga, seperti ketidakadilan dalam penegakan hukum, hak-hak keperdataan (tanah dan aneka properti lain), dan masalah pengungsi, terus dieksploitasi untuk melanggengkan kekerasan di sana. Kekerasan baru dengan mudah direproduksi, dengan menjadikan korban atau keluarga korban sebagai obyek, entah melalui proses manipulasi ideologi tertentu atau eksploitasi perasaan dendam. Inilah lahan yang menyuburkan berbagai kelompok bersenjata.

Tanpa menyentuh soal ini, semua bentuk kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok ini sama sekali bukan jawaban. Menetapkan dan menangkap semua nama dalam DPO tak menjamin kekerasan akan berakhir. Generasi-generasi baru bakal muncul secara alamiah dan menjadi bagian dari kelompok-kelompok bersenjata. Terbukti, dari kekerasan terbaru, bagaimana kelompok warga yang lebih luas ikut dalam kekerasan. Padahal, mereka sendiri sudah terintegrasi dalam kehidupan normal beberapa tahun terakhir ini.

Deeskalasi kekerasan

Di tengah situasi memanas, langkah penting yang segera dilakukan adalah deeskalasi kekerasan.

Pertama, aparat keamanan harus menahan diri untuk tidak menempuh cara-cara kekerasan dalam melakukan penangkapan para DPO. Terbukti, tiap tindak kekerasan tidak membuat warga kian takut, sebaliknya mengundang solidaritas yang kuat dan luas untuk melakukan perlawanan terhadap aparat.

Kedua, warga harus menghindarkan diri dari provokasi untuk melakukan kekerasan. Karena, kekerasan yang berlanjut, apalagi berhadapan dengan aparat keamanan, hanya menimbulkan situasi Poso kian memburuk. Makin banyak korban jiwa. Kemungkinan pemerintah menaikkan status Poso menjadi darurat sipil atau darurat militer pun terbuka. Seperti penetapan keadaan darurat di tempat lain, perkembangan seperti ini sama sekali tidak menguntungkan masa depan Poso.

Ketiga, pemerintah segera menyudahi kekerasan di sana dalam konteks penyelesaian masalah secara keseluruhan. Soal-soal kepentingan politik dan ekonomi yang lebih rumit serta soal-soal di masyarakat, seperti ketidakadilan dan keterpurukan hidup akibat kekerasan dari masa lalu, harus diselesaikan serentak. Langkah prioritas tertuju pada pelucutan senjata (disarmament) dan demobilisasi berbagai kelompok bersenjata, tetapi harus menyentuh kekuatan-kekuatan yang secara politik amat berpengaruh secara historis mendukung kelompok-kelompok itu. Program ini juga harus dilakukan bersamaan dengan pengembangan rekonsiliasi dan aktivitas ekonomi yang langsung menyentuh kelompok-kelompok itu.

Arianto Sangaji Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoemerah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044