The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


Masariku Network, 22 Oktober 2006

Negeri Kepedihan Republik Ironis

Andrias Hans

Pada hari Senin sore 16 Oktober 2006 saya sungguh dikejutkan dengan sebuah SMS yang dikirim teman saya dari Sulawesi Tengah. Beritanya jelas yakni peristiwa pembunuhan terhadap Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) oleh dua orang penembak yang mengendarai sepeda motor di Jalan Wolter Monginsidi Palu.

Tatkala menerima SMS ini hati dan pikiran saya terenyuh pedih bercampur rasa jijik, muak, dan marah. Mengapa ada rasa jijik, muak, dan marah bercampur pedih menjadi satu di dalam batin saya?

Pertama, karena pendeta Irianto Kongkoli yang saya yakini tak bersalah dan bermasalah dengan kerusuhan Poso, malah yang menginginkan perdamaian tercipta, mengapa harus tewas secara sadistis tak berperikemanusiaan di tangan manusia yang sok membela Tuhan tapi biadab lebih dari iblis?

Kedua, karena saya membayangkan suasana hati istri dan anak-anak Pdt. Irianto Kongkoli yang secara mendadak sontak kehilangan suami dan ayah yang sangat mereka kasihi. Ini juga yang pasti dirasakan seantero umat Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

Ketiga, saya sangat sedih, perih, dan pedih mengapa di negeri yang katanya menjunjung tinggi "Ketuhanan yang Mahaesa dan kemanusiaan yang adil dan beradab" masih ada saja monster-monster yang berkeliaran merusak persatuan dan kesatuan NKRI.

Keempat, koq para monster itu dibiarkan pemerintah? Apa gunanya Tuhan mempercayakan kuasa di tangan anda hai pemerintah? Saya katakan pemerintah membiarkan karena sudah begitu lama sekali tidak ada upaya serius untuk menangkap dan menghukum para tukang jagal itu. Justru mereka masih saja merajalela sesuka hati. Mau berapa nyawa lagi yang akan dibiarkan melayang di Poso dan Palu? Sudah buta, tuli, mati nurani, dan sudah jadi mayatkah pemerintah sehingga tidak mampu sedikitpun meresponi bau anyir darah dari batok-batok kepala yang hancur diterjang peluru? Pada 16 Nopember 2003, Bendahara Sinode GKST, Orange Tadjoja tewas di Poso pesisir dengan luka tembak dan pukulan benda keras di bagian kepala. Dan pada 18 Juli 2005, Pendeta perempuan GKST, Susianti Tinulele, juga ditembak manusia biadab pada saat ia sedang berkhotbah di Gereja Kristen Sulawesi Tengah jemaat Effata Palu. Dan sebelumnya juga terjadi penembakan terhadap seorang pemilik toko emas dan penembakan seorang jaksa di Palu. Belum dihitung puluhan ledakan bom dan penembakanbiadab di Poso dan Palu. Juga mutilasi yang amat sadis terhadap tiga orang siswi SMU di Poso. Pemerintah jangan banyak lagi berkomentar, tetapi renungkan sedalam-dalamnya jika masih punya hati nurani betapa di sepanjang tahun 2006 telah terjadi lima puluh tujuh peristiwa kekerasan, pemboman, dan penembakan misterius di Poso dan Palu. Pertanyaan saya kepada pemerintah, apakah jiwa-jiwa para hamba Tuhan di GKST tidak terdaftar di kantor Biro Pusat Statistik (BPS) sebagai jiwa manusia Indonesia? Sekali lagi mengapa anda tega membiarkan nyawa-nyawa itu melayang? Tuhan sedang menuntut pertanggungjawaban anda semua!

Kelima, karena ini mempertontonkan betapa mandulnya aparat dan penegakan hukum di negeri ini. Apapun alasannya, semua orang yang cinta damai harus mengatakan dengan tegas pemerintah sudah mandul fungsi. Mereka tidak mampu memberikan rasa aman dan realita keselamatan bagi warga negaranya di negeri sendiri. Masyarakat Poso dan Palu selalu hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang amatmencekam. Khususnya rakyat yang hidup di Poso pesisir hampir setiap saat mendengar letusan bom dan bunyi senjata dari tangan para monster yang masih saja berkeliaran bebas.

Itulah rangkaian kepedihan yang memaku dinding hati saya yang terdalam. Entah kapan paku-paku itu akan tercabut? Indonesia sebuah negeri yang kini diselimuti kepedihan. Bukan saja "Negeri Kepedihan", namun kini ia telah menjadi "Republik Ironis". Oleh karena itu, bagi saya kita sudah menjadi Negeri Kepedihan Republik Ironis! Ya republik kita kini penuh dengan ironisme. Kita punya lima dasar negara yang sungguh baik yang telah dibangun para pendiri negeri ini. Manusia Indonesia mengakui "Ketuhanan Yang Mahaesa", tetapi perilaku sebagian orang yang mengaku beragama dan berteriak-teriak atas nama agama bahkan bak pahlawan membela Tuhan, sangat tidak menunjukkan bahwa mereka sungguh memiliki Tuhan. Manusia Indonesia memproklamirkan kepada dunia "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", tetapi perilakunya sangat jahil dan biadab. Ingin diperlakukan adil dan beradab, tetapi perbuatannya sendiri berbalikpunggung terhadap orang lain. Manusia Indonesia menjunjung nilai-nilai "Persatuan Indonesia", tetapi justru sekarang secara sengaja mereka menghancurkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan Indonesia melalui keegoisan membangun hukum berdasarkan syariat agama tertentu di dalam hukum dan perundang-undangan Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Mengapa harus ada 58 kota yang memproduksikan PERDA berdasarkan syariat agama tertentu di wilayah NKRI? Quo vadis NKRI? Ironis bukan? Harus diingat! Negeri ini bukan milik sekelompok orang dari agama tertentu. Negeri ini dimerdekakan dengan keringat, darah, dan nyawa oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat latar belakang apapun. Dahulu para pahlawan kita bersatu dan berjuang untuk negeri ini tanpa membawa merek agama. Agama adalah hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhannya. Kita juga menjunjung nilai " Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan….", tetapi ironisnya rakyat kini dipimpin oleh emosi dan akal tak sehat dan tanpa musyawarah. Di mana-mana main hakim sendiri. Sesuka hati mereka merusak tempat mencari nafkah orang lain dengan alasan menjalankan perintah agama. Merusak tempat ibadah orang lain. Ironis! Kita juga menyerukan nilai-nilai "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", tetapi di manakah keadilan sosial itu? Dalam kasus pembunuhan yang acapkali terjadi di Poso dan Palu, khususnya yang baru-baru ini terjadi pada diri pendeta Irianto Kongkoli, saya bertanya di manakah keadilan? Yang ada hanyalah ironisme-ironisme. Beberapa saat setelah pembunuhan itu terjadi, Kapolri Jenderal Sutanto mengatakan: "Pihaknya sudah mengantongi anatomi pelaku penembak pendeta Irianto Kongkoli. Kami tinggal mencari mereka" (Tribun, Selasa 17 Oktober 2006, halaman 11 kolom 2). Namun besok harinya Metro TV memberitakan pernyataan Kapolri: "Penangkapan pelaku pembunuhan pendeta Irianto Kongkoli terbentur ketentuan undang-undang yang mensyaratkan minimal harus ada lima alat bukti untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka." Memang sungguh amat ironis pejabat kita. Undang-undang untuk manusia atau manusia untuk Undang-undang? Mari kita simak juga kata Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Ia mengatakan bahwa penembakan itu dilakukan oleh orang luar Sulawesi Tengah. Artinya beliau tahu siapa para penembak gelap itu. Tetapi mengapa mereka tidak segera ditangkap saja? Ironis bukan? Menarik sekali mencermati pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar: "Penembak misterius terhadap pendeta Irianto Kongkoli terhimpun dalam kelompok garis keras yang mangkal di Indonesia. Tindak dan tanduk teror yang disertai dengan kekerasan ternyata telah dirancang oleh kelompok radikal tersebut di salah satu daerah di Jawa Tengah pada Oktober 2006. Ada kita temukan bahwa mereka mengadakan rapat-rapat dan lain-lain di daerah jawa Tengah. Kelompok radikal ini akan terus menerus melakukan tindakan kekerasan dan teror selama mereka belum berhasil dicokok pemerintah. Kelompok ini bahkan telah berhasil merekrut muka-muka baru dalam menjalankan aksi teror di Indonesia, terutama Poso dan Palu." (Tribun, Kamis, 19 Oktober 2006 halaman 2).

Pemerintah sebentar lagi akan mengirimkan pasukan perdamaian ke Libanon. Uang ratusan milyar sudah keluar dari kocek negara untuk membeli puluhan panser. Sungguh ironis, pemerintah rela mengorbankan uang dan tenaga sebanyak itu untuk perdamaian di Libanon nun jauh di mata sedangkan Poso dan Palu dekat pelupuk mata tetap saja merana. Saya tidak mau lagi mengomentari ironisme-ironisme yang tidak lucu ini. Namun saya hanya mau mengatakan: "Jika anda semua masih suka bersandiwara, bersandiwaralah saja di panggung Negeri Kepedihan Republik Ironis ini."

MASARIKU NETWORK
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoemerah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044