Paras Indonesia, January, 17 2007 @ 08:45 pm
Watak Asli SBY Muncul Dalam Soal Burma
By: Tri Agus Siswowiharjo
Tahun 2007, sepantasnya menjadi tahun yang membanggakan bagi diplomasi RI.
Salah satunya, karena Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB dan Ketua Dewan HAM PBB. Namun, sikap abstain RI dalam
rancangan resolusi DK PBB mengenai Burma, sungguh sangat bertolak belakang dan
mengecewakan. Kebijakan politik luar luar negeri pemerintahan RI saat ini tampaknya
sangat mencerminkan sikap pribadi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
penuh bimbang dan ragu. Selain itu, latar belakang militer presiden juga
mempengaruhi cara pandang dalam melihat suatu negara menyelesaikan masalah
demokrasi dan hak asasi manusia.
Sikap politik Indonesia terhadap Burma dipandang maju ketika Indonesia menjadi
pimpinan ASEAN pada periode 2004-2005. Waktu itu Indonesia bersama negara
ASEAN lainnya meminta Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya dibebaskan
sebagai prasyarat rekonsiliasi politik. Meskipun permintaan itu tidak dikabulkan
namun menunjukkan sikap politik yang mendorong demokratisasi di kawasan
ASEAN. Mundurnya Burma menjadi pimpinan ASEAN 2006 juga merupakan
kerjasama yang bagus antara diplomat negara-negara ASEAN dan para aktivis
internasional yang mendukung demokrasi di Burma.
Kegagalan ASEAN merangkul Burma ternyata diabaikan SBY dengan mempercayai
begitu saja junta militer yang nyata-nyata telah berulang kali melanggar janji untuk
membebaskan Aung San Suu Kyi dan melaksanakan road map to democracy dan
rekonsiliasi nasional. Tampaknya junta militer Burma selain berhasil mendapatkan
dukungan dari China dan India dengan imbalan ekonomi, juga mendapat dukungan
Indonesia dengan presidennya yang mantan jenderal yang sok pintar, naif dan mudah
diperalat.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) dan Kaukus Parlemen ASEAN untuk
Demokrasi di Myanmar (AIPMC) di DPR yang diketuai Djoko Susilo dan Nursyahbany
Katjasungkana sangat menyesalkan pilihan RI yang tak memilih ini. Beberapa hal
yang membuat para aktivis Indonesia kecewa antara lain;
Sikap abstain RI menunjukkan ketidaktegasan bahkan cenderung membela junta
militer yang nyata-nyata telah merampok dan menyandera demokrasi di Burma
setidaknya sejak kemenangan mutlak partai NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi)
pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum yang demokratis pada 1990.
Mempercayai perubahan pada junta militer tanpa tekanan adalah naif. Pengalaman
ASEAN menggunakan pendekatan lunak dan konstruktif tak menemui hasil bahkan
membuat frustrasi ASEAN. Ini karena junta militer tak pernah menepati janji
melakukan transisi demokrasi. Melindungi Burma semata-mata karena anggota
ASEAN sama saja mencoreng wajah ASEAN sendiri yang memang tak bersih. Hal ini
dibuktikan dengan separo pemerintah negara-negara ASEAN bukan pilihan rakyat.
Sementara Indonesia yang pemerintahannya pilihan rakyat namun presidennya tetap
tak bisa membedakan mana penjahat dan pejuang demokrasi di Burma.
Usulan Presiden RI tentang Dwifungsi militer ala Dwifungsi TNI era Orbe Baru
diterapkan di Burma merupakan pelecehan terhadap demokrasi, pasalnya
konsekuensi dari usulan itu adalah pelanggengan kekuasaan junta mililter yang tidak
merupakan representasi rakyat. Sangat disayangkan Presiden SBY yang dipilih
langsung rakyat justru membela junta militer, bukannya mendukung NLD yang
merupakan pilihan rakyat Burma. SBY lebih membela junta militer yang membajak
demokrasi daripada membela sanderanya yaitu rakyat Burma yang diwakili NLD.
Penyelesaian Burma melalui trilateral Indonesia-Philipina-Singapura adalah
membuang-buang waktu, karena melalui ASEAN yang lebih kuat saja tidak berhasil,
apalagi hanya melalui tiga negara. Junta militer Burma adalah rezim yang bebal, yang
kekejamannya melebihi rezim Orde Baru di Indonesia. Karena itu harus dihadapi
dengan cara yang lebih keras dari yang telah dilakukan selama ini. Membawa ke
tingkat yang lebih tinggi dari forum ASEAN adalah keharusan, dan bukan sebaliknya.
DPR RI harus menegur sekeras-kerasnya Presiden dan Menteri Luar Negeri RI yang
mengambil sikap abstain dalam rencana resolusi DK PBB. Sikap abstain ini sangat
tak sejalan dengan perjuangan DPR RI untuk menyelesaikan kebuntuan demokrasi di
Burma dengan sesegera mungkin junta militer membebaskan semua tahanan politik,
di antaranya ikon demokrasi Aung San Suu Kyi dan para anggota parlemen terpilih
pada Pemilu 1990.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|