Paras Indonesia, January, 18 2007 @ 02:40 pm
Stop Menyatakan Banjir Lumpur Panas Lapindo Bencana Alam!
Luluk Uliyah, JATAM
Banjir lumpur panas akibat blow out pengeboran sumur Banjar Panji 1 oleh PT
Lapindo Brantas sejak 29 Mei 2006 telah banyak memakan korban. Tindakan -
tindakan penanganan yang dilakukan sebagian besar berujung pada ketidakpastian
bagi masyarakat korban dan lingkungan sekitarnya. Alih-alih berupaya memastikan
tanggung jawab perusahaan, Ketua DPR RI Agung Laksono malah menyatakan
kejadian tersebut sebagai bencana alam (Media Indonesia, 9/01/07). Padahal
menetapkan kejadian ini sebagai bencana alam akan beresiko merugikan rakyat
korban dan negara dalam jangka panjang.
Banjir lumpur panas Lapindo telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa lebih
atau lebih dari 3.500 KK mengungsi, 11 desa dan + 350 ha lahan pertanian terendam
lumpur, serta 23 bangunan sekolah dan tak kurang dari 20 perusahaan tutup. Lumpur
Lapindo telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan.
Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol Gempol-Surabaya yang
berakibat kerugian dialami perusahaan - perusahaan jasa angkutan dan transportasi
ekonomi lainnya.
Pernyataan Ketua DPR RI yang menyatakan kejadian di atas sebagai bencana alam
perlu diprotes keras. Sebagai Ketua DPR RI dan petinggi partai Golkar, Agung
Laksono mestinya mengetahui benar apa implikasi menetapkan kejadian ini sebagai
bencana alam. Tindakan tersebut akan menghapus penyebab utama dan pemicu
kejadian, yaitu pengeboran Sumur Banjar Panji 1 oleh Lapindo Brantas. Lantas
seperti kejadian bencana alam biasa, banjir dan longsor, maka alamlah yang akan
dijadikan kambing hitam. Karena alam tak bisa bertanggung jawab maka rakyatlah
yang terkena getahnya. Tak hanya harus merelakan harta bendanya hilang akibat
bencana alam. Rakyat juga harus rela menerima penanganan ala kadarnya seperti
yang terjadi pada banyak penanganan bencana lainnya di negeri ini. Ujung-ujungnya
warga korban harus pontang-panting agar bisa bertahan hidup. Sementara pemerintah
jelas tak memiliki pendanaan yang cukup di tengah bencana berulang yang marak di
negeri ini. Kecuali pemerintah bisa mengemis bantuan dari luar negeri atau
menambah utang baru. Tak hanya itu, pemerintah juga akan menanggung biaya
infrastruktur yang rusak akibat kejadian ini.
Bagaimana dengan Lapindo? Jika kejadian ini ditetapkan sebagai bencana alam,
maka perusahaan bisa membatalkan janji membayar pembelian tanah dan asset
rakyat empat desa yang sudah terendam. Lapindo juga tak perlu membayar biaya
pengalihan pipa gas Pertamina yang meledak beberapa waktu lalu, peninggian kabel
dan relokasi kabel optik Telkom, serta kerugian PLN akibat dimatikannya jaringan
SUTET dan pemindahan gardu trafo listrik. Bahkan perusahaan bisa balik menuntut
segala biaya yang dikeluarkannya sebagai biaya produksi dan harus dimasukkan
dalam cost recovery. Artinya negaralah yang harus membayar segala biaya yang
telah dikeluarkan oleh Lapindo.
Sungguh beresiko menjadi warga Indonesia, Republik yang selalu menyebut dirinya
negara hukum. Bagaimana tidak, jika pengurus negaranya kerap menempatkan
rakyatnya sebagai pelengkap penderita atas nama investasi dan pertumbuhan
ekonomi semata. Penanganan banjir lumpur Lapindo memberikan potret cukup
lengkap mengenai hal itu. Tak ada satu pun pejabat Lapindo yang ditangkap, tak ada
satu pun pejabat BP Migas dan Departemen ESDM yang diperiksa, apalagi meminta
maaf dan mengundurkan diri karena lalai mengurus sektor-sektor hulu migas. Tak ada
upaya tegas pemerintah untuk menyita aset-aset Santos, EMP dan MEDCO, sebagai
pemegang saham Lapindo untuk memastikan tersedianya dana yang bisa dicairkan
bagi penanganan banjir lumpur panas.
Ironisnya, meskipun terlihat berpihak kepada korban melalui keluarnya Kepres No
13/2006 dengan memerintahkan Lapindo membayar kerugian warga, tetapi
pemerintah terkesan enggan memastikan perusahaan bertanggung jawab. Presiden
SBY bahkan membiarkan Menteri Kesejahteraan Rakyat Abu Rizal Bakrie, sekaligus
pemilik saham Lapindo, sekali-dua bersikap layaknya pemilik Lapindo, bukan pejabat
publik. Keppres yang diharapkan banyak orang menjadi tameng ampuh menangani
banjir lumpur, belakangan terbukti tidak bergigi. Tim Nasional Penanganan Banjir
Lumpur Lapindo sendiri terang-terangan mengaku belum menerima gaji dan tersendat
dukungan peralatan dan operasional dalam penanganan lapangan akibat kesulitan
dana. Sekali lagi kondisi ini dibiarkan terus berlarut.
Sebaliknya, hingga saat ini warga 11 desa yang terkena dampak dipaksa
"mensubsidi" Lapindo dengan rela menjual tanah dan assetnya dengan harga murah,
mutu hidupnya menurun, pendidikan dan kesehatannya terganggu. Demikin pula
publik, harus mensubsidi Lapindo dengan terganggunya transportasi dan kegiatan
ekonomi menuju dan ke luar jalan tol Gempol - Surabaya. Sementara pemberitaan
banjir lumpur mulai berkurang di berbagai media, tertutup oleh kejadian dan bencana
lain. Warga korban dan lingkungan sekitarnya semakin tidak jelas nasibnya.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|