Paras Indonesia, October, 23 2006 @ 03:59 am
Kekerasan Poso & Upaya Penyelesaiannya
Mahfud Masuara, Campaign Manager of Yayasan Tanah Merdeka Palu & Secretary of
Poso Center
Sudah memasuki delapan tahun kekerasan di Poso terjadi. Peristiwa yang berawal
pada tanggal 28 Desember 1998, menjadi salah satu catatan sejarah kemanusiaan
paling buruk di Sulawesi Tengah, bahkan di Indonesia. Lebih dari 1.000 orang
meninggal dunia dan lainnya luka-luka. Sekitar 30.000 mengalami gangguan jiwa
(berat dan ringan), sekitar 17.000 rumah dan bangunan umum terbakar, dan sekitar
98.000 jiwa (pernah) menjadi pengungsi.
Kekerasan Poso tidak boleh dianggap sebagai manifestasi dari konflik antar agama
dan suku. Secara historis, di wilayah ini tidak pernah terjadi kekerasan yang
melibatkan komunitas-komunitas berbeda agama dan suku di sana karena
perbedaan-perbedaan di antara mereka. Secara kultural dan sosiologis, dalam kurun
waktu yang panjang, komunitas-komunitas berbeda agama dan suku di sana dapat
hidup berdampingan secara kekeluargaan, saling menghargai, dan toleran.
Yang terjadi di Poso adalah penunggangan, eksploitasi dan manipulasi sentimen
agama dan suku untuk melakukan kekerasan. Atas nama kepentingan kekuasaan
politik dan ekonomi, segelintir orang dan faksi-faksi tertentu di dalam tubuh
negara/pemerintah telah memanfaatkan kerapuhan ekonomi dan transisi politik di
Indonesia untuk menjadikan Poso sebagai ajang kekerasan, dengan menggunakan
agama dan suku sebagai kayu bakar.
Sejak Desember 1998, kekerasan Poso terjadi dan meluas, karena kegagalan
negara/pemerintah. Kegagalan pertama ditandai dengan pembiaran terhadap
kekerasan, di mana otoritas keamanan tidak bekerja untuk melakukan tindakan
preventif dan represif secara sah dan profesional untuk menyudahi kekerasan.
Tingkatannya, secara umum mulai dari pembiaran kontak fisik terbuka antara dua
kelompok masyarakat, pengerahan pasukan yang terlambat ke lokasi kekerasan, dan
tidak adanya kesungguhan memotong mata rantai peredaran senjata api dan amunisi
dari sumber hulunya.
Kedua, keterlibatan aparat keamanan secara langsung dan tidak langsung dalam
serangkaian kekerasan di Poso. Penculikan dan pembunuhan Delapan warga Desa
Toyado, 3 Desember 2001 dan penembakan dua remaja (Ivon dn Yuli) pada 8
November 2005 merupakan contoh paling 'telanjang mata' bagaimana aparat
keamanan merupakan bagian dari kekerasan. Keterlibatan secara tidak langsung,
misalnya, ditandai dengan transfer senjata api dan amunisi kepada warga sipil secara
ilegal.
Ketiga, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan aparat keamanan mengungkap
serangkaian kekerasan misterius, terutama yang terjadi setelah Deklarasi Malino,
Desember 2001 sampai dengan saat ini. Padahal, berbagai kekerasan itu nyaris
memiliki pola yang sama, dilihat dari modus dan momentumnya. Dalam beberapa
kasus, kekerasan misterius itu dilakukan oleh orang-orang yang sangat terlatih,
misalnya, kemampuan menembak pada sasaran tertentu secara tepat.
Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam pengungkapan kekerasan misterius
kerap menimbulkan masalah. Misalnya, kerap terjadi kesalahan dalam penangkapan
pelaku dan penyiksaan terhadapnya. Di sisi lain, sejumlah kesaksian menganggap
bahwa kemungkinan pelaku kekerasan adalah aparat keamanan sendiri.
Ironisnya, di tengah keterpurukan masyarakat Poso, maka kekerasan di sana
sebenarnya menguntungkan institusi dan aktor-aktor tertentu di dalam tubuh
negara/pemerintah. Pertama, menguntungkan aparat keamanan di tengah tumbuhnya
industri pengamanan. Kekerasan Poso, sejak Desember 1998, telah meningkatkan
kehadiran aparat keamanan. Merujuk pada pengerahan pasukan untuk operasi
pemulihan keamanan. Kekerasan telah diikuti pengerahan pasukan dalam jumlah
besar, baik organik maupun non-organik Polri dan TNI AD di wilayah Sulawesi
Tengah. Jumlah tertinggi pernah mencapai 5.000 personil dan terendah sekitar 1.500.
Pengerahan pasukan memakai sandi operasi tertentu, seperti Operasi Sadar Maleo,
Operasi Cinta Damai, Operasi Sintuwu Maroso I - VII, dan terakhir Operasi Lanto
Dago
Saat ini, pasca eksekusi terhadap Tibo cs, kembali mobilisasi besar-besaran
pasukan ke Poso. sekitar 5000-an aparat keamanan (TNI/POLRI) telah menyebar di
berbagai daerah di Poso. Untuk satuan kepolisian saja, sekitar 2000-an personil
organik berada di sana, di bawah sandi operasi Lanto Dago. Ini diluar pasukan BKO
(Bawa Kendali Operasi) Brimob yang dimobilisasi menjelang eksekusi Tibo cs, dan
pasca kejadian Bom dan kosentrasi massa di Kelurahann Sayo, 30 September 2006
lalu. Terhitung, saat ini ada 10 Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 1200-an
Brimob, dari berbagai daerah berada di Poso.
Ke 10 SSK tersebut berasal dari berbagai daerah, yaitu; tiga SSK dari Brimob Kelapa
Dua Jakarta, dua SSK Brimob Sulawesi Selatan, dua SSK Bribob Kalimantan Timur,
dua SSK Brimob Sulawesi Utara dan satu SSK Bribob Sulawesi Tengah.
Sebaliknya, dari TNI AD terdapat 1.362 personel. Rinciannya, personel dari Kodim
1307 Poso sebanyak 208 orang, dari Yonif 714/Sintuwu Maroso 578 orang, Kompi
senapan B Yonif 711/Raksatama 106 orang, Batalyon Kavaleri 10/Serbu Kodam
VII/Wirabuana 400 orang, dan dari Tim Sandi Yudha Kopassus 12 orang. Hal ini di
luar rencana akan mendatangkan dua batalyon BKO lagi ke Poso.
Selain itu, operasi-operasi intelijen juga telah melibatkan berbagai kesatuan. Seperti
intelijen tempur Kopassus dari Sandhi Yudha dan intelijen negara dari Badan Intelijen
Negara (BIN).
Seperti telah kita lihat sendiri, kehadiran aparat keamanan itu sama sekali tidak bisa
meredakan kekerasan di Poso. Kekerasan terus saja terjadi, baik dalam bentuk
serangan-serangan terbuka, maupun serangan-serangan misterius.
Dalam bulan September 2006 misalnya, terjadi sejumlah kekerasan beruntun. Diawali
dengan meledaknya bom yang menyebabkan korban jiwa di Tangkura 7 September
2006 dan Kawua 9 September 2006. Pasca eksekusi Tibo cs, kekerasan makin
meningkat dan bahkan telah mengarah pada benturan antara masyarakat dengan
aparat keamanan dalam hal ini aparat kepolisian.
Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan hal di atas, antara lain: pengusiran satuan
Brimob di Polsek Pamona Utara; pelemparan Kapolsek Lage (22/9/06); serangan
terhadap Polsek Pamona Timur disertai pembakaran kendaraan bermotor milik polisi
(30/9/06); pengejaran terhadap polisi di Kawua dan Kayamanya pasca ledakan bom
tanggal 30 September 2006; dan, pembakaran pos portal masyarakat di Kelurahan
Gebang Rejo. Yang terakhir ketegangan massa di Sayo-Poso Kota yang nyaris
menimbulkan konflik terbuka.
Tidak cukup hanya di Poso, kekerasan kini meluas ke Palu. Penembakan terhadap
sekertaris umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GST) Pendeta Irianto Kongkoli di
Jl. Monginsidi, Palu, di sebuah Tokoh Bangunan, (16/10/06) merupakan rangkaian
provokasi sistemik terhadap peningkatan eskalasi kekerasan di Poso.
Pilihan pembunuhan terhadap Pendeta Kongkoli, yang mengambil alih posisi ketua
GKST pasca mundurnya Pendeta Renaldi Damanik, jelas mempunyai efek provokasi
meluas. Tentunya dengan sebuah harapan agar di Poso kembali terjadi konflik
terbuka antar dua komunitas yang saat ini sudah menjalani proses rekonsiliasi yang
cukup lama.
Penembakan ini, jelas semakin membuktikan kegagalan aparat keamanan di
Sulawesi Tengah. Penempatan ribuan pasukan di sana tidak berbanding lurus dengan
rasa aman yang dimiliki oleh masyarakat.
Melihat realitas tersebut, pengungkapan kasus kekerasan Poso secara fair tidak
cukup dilakukan oleh aparat keamanan. Oleh karena itu, pembentukan Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) adalah salah satu keharusan, guna mengungkap fakta-fakta
kekerasan secara obyektif. TGPF harus diberikan kewenangan yang luas untuk
menginvestigasi kasus-kasus kekerasan yang menonjol dan memberikan
rekomendasi yang mengikat kepada pemerintah/aparat keamanan untuk menindak
lanjuti hasil-hasil temuannya. Sebuah keputusan presiden (KP) diperlukan untuk
memberikan payung hukum kepada TGPF. Tanpa TGPF, penyelesaian kasus
kekerasan Poso hanya berlangsung secara parsial, karena terus-menerus
memelihara kepalsuan kepercayaan publik bahwa kekerasan di sana murni bersifat
komunal.
Copyright (c) 2005 - PT Laksamana Global International. All rights reserved
|