Radio Nederland Wereldomroep, Senin 23 Oktober 2006 14:20 UTC
Berlanjutnya kekerasan Poso dan kepentingan elit politik
Seorang laki-laki tertembak mati dalam kerusuhan yang kembali melanda Poso. Dua
orang lainnya terluka. Menurut wakil presiden RI Jusuf Kalla, konflik di Poso
sebenarnya bukan konflik komunal, tapi sisa-sisa radikalisme. George Junus
Aditjondro dari Poso Centre berpendapat ungkapan Jusuf Kalla ini sebenarnya
terlambat, dan sang wapres sendirilah yang diuntungkan dari konflik Poso. Lebih
lanjut George Junus Aditjondro kepada Radio Nederland Wereldomroep.
George Junus Aditjondro [GJA]: Jusuf Kalla mestinya mengatakan itu lima tahun yang
lalu. Sejak Malino 9 Desember tahun 2001, orang yang mengenal konflik Poso sudah
tahu bahwa ini bukan lagi konflik antara komunitas Kristen dan komunitas Islam. Ini
konflik antara rakyat dan teroris.
Kan yang jadi sasaran adalah komunitas Kristen. Tapi komunitas Kristen juga tidak
melihat bahwa yang menyerang mereka atau berbagai tindakan penembakan
misterius dan lain-lain itu dilakukan oleh komunitas Islam. Mereka lebih melihatnya
itu sebagai tindakan orang-orang yang terlatih. Baik dari dalam aparat sendiri,
maupun orang-orang yang dilatih oleh unsur-unsur militer dan polisi.
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Jadi ungkapan Jusuf Kalla sebenarnya
terlambat ya Pak?
GJA: Ya, dan itu hanya untuk mencuci dirinya. Sebab katakanlah ada ketegangan
yang meningkat di Poso, dalam arti kemarahan kelompok komunitas Kristen. Karena
orang yang sama sekali bukan pelaku utama konflik Poso, yaitu almarhum Tibo dkk
dieksekusi dan yang ikut mendorong supaya cepat dieksekusi adalah Jusuf Kalla
juga.
Yang jelas dengan eskalasi ketegangan di Poso, yang untung juga Jusuf Kalla.
Sebab dengan penambahan pasukan, yang untung adalah perusahaan keluarga Jusuf
Kalla, Bukaka, yang sedang membangun sebuah PLTA yang sangat kontroversial di
sana, yang berdampak terhadap desa-desa sepanjang sungai Poso. Jadi itu
ungkapan yang agak munafik saya anggap.
RNW: Kerusuhan di Poso tampaknya tidak kunjung berakhir. Apakah ini karena
pemerintah kurang berupaya atau lalai menangani masalah ini?
GJA: Kerusuhan di Poso sebenarnya justru menguntungkan segmen-segmen tertentu
dalam pemerintah. Terutama angkatan bersenjata, baik polisi maupun militer. Yang
dengan merdekanya Timor Leste, dan juga perdamaian di Aceh, kehilangan ladang
latihan, tapi juga ladang tempat mencari tambahan pendapatan. Jadi yang
diuntungkan adalah faksi-faksi dalam militer dan polisi.
Yang kedua yang juga diuntungkan adalah mereka yang kemudian juga ikut
mengkorup dana bantuan kemanusiaan. Dan itu tidak sedikit. Dalam kasus Poso dari
200 milyar yang dicadangkan dari tahun 2000 sampai 2004, 2005 hanya seperempat
yang kabarnya sampai ke pengungsi. Jadi ada korupsi setingkat 75 persen.
Nah yang ketiga adalah perusahaan-perusahaan besar seperti kelompok Bukaka. Dan
juga beberapa kelompok perusahaan lain yang diuntungkan dengan penempatan
pasukan sebanyak-banyaknya ke Sulewesi Tengah bagian Timur. Jadi karena ada
yang diuntungkan maka tentu ini dilanjutkan.
Yang lain juga adalah ucapan almarhum Munir bahwa Ambon dan Poso hanya
merupakan pemantik api untuk membakar jerami di Jawa. Jerami di Jawa adalah
kelompok-kelompok Islam radikal, dan kalau sampai misalnya ada imbas ke
kelompok Islam di Poso, misalnya ada penyerangan terhadap ini, maka sebagian
pembalasan terhadap orang Kristen atau gereja-gereja Kristen di Jawa, akan
menaikkan suhu politik demikian tingginya, sehingga tentara akan ikut campur tangan
secara langsung. Dan dengan demikian usaha ke arah demiliterasi pemerintahan
Indonesia dan supremasi sipilnya akan terganggu.
Dengan kata lain almarhum Munir melihat bahwa Ambon, Poso dan kemudian
kerusuhan di Jawa merupakan satu paket. Dan berada di belakang paket juga
jaringan intelejen yang dulu dirintis oleh Hendro Priyono.
RNW: Jadi konflik di Poso sebenarnya bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar
lagi?
GJA: Saya melihat konflik di Poso adalah bagian tindakan militer untuk melepaskan
urusan sipil kepada polisi. Sehingga dengan kegagalan sipil mendamaikan Ambon,
khususnya Poso dan Sulewesi Tengah, maka tentara bisa mengatakan kami harus
tetap ikut campur. Dan dengan demikian mementahkan ketetapan MPR untuk
memisahkan polisi dari ABRI.
Dan ini masih kuat. Kuatnya kelompok yang ingin kembali ke supremasi militer
sangat besar. Dan itu bisa dilihat dari ketegasan aparat militer untuk melakukan
eksekusi terhadap almarhum Tibo dan juga untuk mengerahkan pasukan begitu
banyak, ribuan militer dan polisi di Sulewesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Jadi
tidak kelihatan kemajuan di dalam usaha menegakkan demokrasi dan supremasi
sipil. Tetapi justru yang terjadi sebaliknya.
Demikian George Junus Aditjondro kepada Radio Nederland Wereldomroep.
© Hak cipta Radio Nederland 2006 Disclaimer
|