SINAR HARAPAN, Rabu, 10 Januari 2007
Menunggu Ketegasan Pemerintah di Poso
Oleh Erna Dwi Lidiawati/ Norman Meoko
PALU-Perayaan Natal dan Tahun Baru di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng),
berlangsung aman meski ditemukan sebuah bungkusan diduga bom di Jalan Pulau
Aru, Gebang Rejo, Minggu (31/12) malam. Namun, persoalannya apakah situasi itu
menjadi jaminan bahwa aksi kekerasan di daerah konflik itu tidak akan muncul
kembali di 2007?
Dalam kasus kekerasan di Poso, diakui atau tidak, hingga kini pemerintah masih
mempunyai utang yang belum dibayar, yakni apakah seluruh pelaku teror di sana
sudah ditangkap. Mabes Polri telah mengeluarkan 29 daftar pencarian orang (DPO)
kasus teror di Poso, namun hingga kini sikap tegas aparat kepolisian cuma sebatas
lips service saja.
Belakangan Mabes Polri yang kini personel telah mencapai 5.000 orang yang
"mangkal" di daerah konflik itu malah memberikan penangguhan penahanan terhadap
lima dari 29 tersangka pelaku DPO itu. Seorang di antaranya adalah Syahrir alias Ayi
Lakita yang terang-terangan mengaku sebagai pelaku teror dan peledakan bom di
Gelanggang Olah Raga (GOR) Poso, 2004 dan Gereja Eklesia, Juni 2006.
"Kami memberikan penangguhan penahanan karena mereka sangat kooperatif.
Mereka dengan kesadaran sendiri menyerahka diri ke polisi. Jadi, kita menghargai
kesadaran mereka dan memberikan kelonggaran dengan memberikan penangguhan
penahanan," kata Waki Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen
Anton Bachrul Alam di Masamba, 18 Desember 2006 lalu.
Kelima tersangka DPO kasus teror Poso yang menyerahkan diri itu selain Syahrir
alias Ayi Lakita, yakni Andi Bocor tersangka pencurian motor dan kepemilikan
senjata api, Ateng Marjo dan Nasir tersangka perampokan uang Pemda Sulteng
sebesar Rp 453 juta, serta Taufik Buruga alias Upik Kokong, tersangka teror.
Semuanya dari Kelompok Tanah Runtuh.
Lepas dari adanya tekanan dari sejumlah tokoh Islam di Poso, sikap Mabes Polri
bertolak-belakangan dengan penegasan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla di
Makassar, 26 Oktober 2006 lalu sehari sebelum mengunjungi Palu, Ibu Kota Provinsi
Sulawesi Tengah. Ketika itu, Wapres meminta Polri (termasuk juga TNI) untuk
mencari dan menghabisi pelaku teror di Poso.
Seakan ingin mengajak seluruh komponen bangsa ini, Wapres Jusuf Kalla pun lantas
menyerukan perlunya bersikap menganggap tindakan kekerasan di Poso sebagai
musuh bersama.
Keterlibatan Aparat
Kondisi yang seakan ingin membodohi masyarakat itu kontan saja memunculkan
pertanyaan besar: ada apa sebenarnya di Poso, sebuah wilayah yang disebut-sebut
masih "perawan" karena belum semua sumber daya alamnya tergarap. Salah satunya
adalah potensi kayu hitam dari kawasan Poso Pesisir dan ikan sogili dari Danau
Poso. Belum lagi tambang marmer serta perkebunan kelapa sawit.
Apakah memang Poso sengaja dijadikan sebagai "alat permainan" politik kelompok
elite tertentu di Jakarta? Atau sebagai alat untuk mengambil alih perhatian
masyarakat ketika pemerintah diguncang sederetan isu hangat?
Arianto Sangaji, anggota Presidium Poso Center, Palu, menyebut sejumlah
kesalahan besar yang dilakukan pemerintah di Poso (juga Palu). Pertama, terjadinya
praktik disinformasi oleh aparat pemerintah (sipil dan keamanan) bahwa tidak ada
serangan dari komunitas tertentu. Dia menyebut dalam kasus pembunuhan puluhan
penduduk di Desa Sintuwulemba, Poso, antara 23 Mei-1 Juni 2000, ternyata warga
yang telah mengetahui informasi tentang serangan lalu membatalkan mengungsi
karena dihalang-halangi aparat pemerintah. Akibatnya, sebagian besar di antara
mereka menjadi korban kekerasan.
Kedua, adanya pembiaran dari aparat keamanan. Dalam peristiwa Sintuwulemba,
aparat sebenarnya bisa mencegah pembantaian, namun dibiarkan begitu saja. Aparat
malah meninggalkan lokasi kejadian.
Ketiga, kebobrokan institusi intelijen. Sungguh sesuatu hal yang aneh aparat intelijen
tidak dapat menditeksi adanya gerakan serangan di Poso. Fakta lain malah
menyebutkan, kemungkinan adanya operasi intelijen yang bergerak di Poso dan
sekitarnya untuk mendorong eskalasi kekerasan.
Sumber SH malah menyebutkan keterlibatan sejumlah aparat keamanan dalam
sejumlah tindak kekerasan di Poso. Keterlibatan itu tidak hanya sebagai pihak yang
menyewakan senjata api mereka, tapi juga bahkan ikut sebagai eksekutor aksi tindak
kekerasan di sana.
Sebut saja dalam kasus penembakan Ivon Nathalia (18) dan Siti Nurani (18), siswi
SMEA Poso pada 27 Maret 2006 lalu, ternyata pelakunya adalah Briptu "I" (26),
anggota Polres Poso. Kedua siswi itu mengaku kenal baik dengan pelaku tersebut.
Banyak kasus keterlibatan aparat (baik polisi maupun TNI) tidak terbantahkan lagi.
Dua anggota dari Kodim 1307 Poso disebut-sebut bertindak sebagai provokator dalam
kerusuhan Poso.
Melihat kondisi demikian, menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah untuk
serius menangani kasus kekerasan di Poso agar di tahun 2007, apalagi Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di tahun ketiga pemerintahannya itu telah berjanji akan
bertindak tegas. Warga Poso dan sekitarnya menunggu sikap tegas pemerintah itu:
menjadi kenyataan atau sekadar basa-basi belaka. (*)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|