SINAR HARAPAN, Kamis, 15 Februari 2007
DPD Ragukan Penyelesaian Kasus Poso oleh Polisi
Jakarta-Desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih
memimpin penyelesaian kasus kekerasan di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah
(Sulteng) kembali menguat. Kali ini desakan muncul dari Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) RI. Mereka meragukan penyelesaian kasus Poso jika ditangani pihak
kepolisian. Sebelumnya, desakan serupa juga dikemukakan Sosiolog George Junus
Aditjondro.
Menurut Wakil Ketua DPD Laode Ida ketika dihubungi SH, Rabu (14/2) malam, dari
Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), menyatakan Presiden tidak perlu menunggu
lama lagi untuk menyelesaikan persoalan di Poso. "Presiden harus segera
mengambil alih agar korban di kalangan warga sipil tidak jatuh lagi," katanya.
Menurutnya, penanganan Poso tidak bisa menggunakan pendekatan kekerasan dan
operasi teritorial tetapi harus menggunakan pendekatan sosial dan politik. "Untuk itu
perlu ada sebuah tim independen yang berisikan aparat kepolisian dan masyarakat
sipil yang akan membantu pihak kepolisian dan bertanggung jawab langsung kepada
presiden," lanjutnya.
Dia berpendapat bahwa tindakan selama ini di Poso seperti yang dilakukan
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri merupakan tindakan yang
dilakukan tanpa memperhitungan kondisi psikologis masyarakat sehingga
memunculkan perlawanan dari kelompok yang dikejar. Kondisi itu justru memancing
peningkatan perlawanan kelompok perusuh.
Bentuk TGPF
Hal senada juga dilontarkan Ketua Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu Arianto
Sangaji yang dihubungi SH secara terpisah. Dia menegaskan bahwa dibutuhkan
penyelesaian secara extraordinary (luar biasa) untuk mengatasi kekerasan di Poso.
"Presiden harus segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan tidak
cukup melibatkan seorang brigadir jendaral polisi melainkan seorang jenderal penuh
yang bertanggung jawab pada presiden," katanya.
Menurut Sangaji, 29 orang yang terakhir ditangkap Densus 88 Antiteror Mabes Polri
hanyalah orang lapangan seperti Tibo dkk, yang menjadi kambing hitam saja.
"Penegakan hukum tidak akan menyelesaikan kekerasan di Poso karena aktor
intelektual yang merancang konflik dan kekerasan di Poso tidak pernah diungkap oleh
aparat keamanan," jelasnya.
Dia menambahkan bahwa pertemuan dirinya dengan petinggi kepolisian, Rabu (14/2)
siang, di Mabes Polri tidak akan memberikan solusi yang diinginkan masyarakat
Poso. "Masyarakat tahu bahwa orang-orang itu hanya korban kekerasan di masa lalu
dan memiliki dendam. Mereka hanya digerakkan kemudian dikorbankan. Rakyat
Poso menginginkan pengungkapan aktor intelektual, bukan kambing hitam kekerasan
yang mengorbankan rakyat sipil," tambahnya. (web warouw)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|