SINAR HARAPAN, Rabu, 24 Januari 2007
Terkait Konflik Poso
Hendropriyono: Mereka Itu Gerombolan
Oleh Sjarifuddin/Eddy Lahengko
Jakarta - Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), AM Hendropriyono, tidak
sependapat kalau kelompok bersenjata di Poso disebut warga sipil bersenjata.
Menurutnya mereka itu adalah gerombolan atau pemberontak.
"Saya sedih jika media massa menyampaikan kepada masyarakat seolah-olah
mereka ini rakyat sipil bersenjata. Tidak! Mereka itu gerombolan. Warga sipil kalau
bersenjata menembak dan memaksa penduduk bukan warga sipil namanya. Kalau
sipil kan orang yang tidak bersenjata, tidak terkait apa-apa dengan masalah. Tapi
kalau sudah pakaian sipil pakai senjata, itu lebih jahat dari yang pakaian dinas tapi
bersenjata," ujar Hendropriyono dalam wawancara dengan SH di Jakarta, Selasa
(23/1)
Menurutnya, orang yang berpakaian dinas membawa senjata dilindungi hukum
humaniter (hukum perang), tapi orang sipil pegang senjata tidak dilindungi hukum
perang. "Jadi yang di Poso itu pemberontak, jangan disebut warga sipil bersenjata,
karena warga itu tunduk pada UU negara, tapi kalau sudah tidak tunduk pada UU
negara, pengacau namanya," ujarnya.
Ia juga tak menepis kalau ada elite politik di Jakarta bermain di Poso. "Lihat saja
komentar-komentar mereka, banjir darahlah, polisi harus menahan dirilah. Ini politikus
yang mencari muka supaya mendapat dukungan. Padahal, ini sudah jelas
gerombolan," lanjutnya.
Dia menyatakan, tindakan polisi pada kejadian Senin (22/1) itu sudah tepat, nilainya
100. Ini karena mereka menantang perang, padahal sebelumnya sudah ada tindakan
persuasif melalui pertemuan.
"Apa yang dilakukan polisi sudah jalan terakhir. Namun ini ada hikmahnya kalau
mereka menyerah, malah tidak terbongkar, senjatanya disembunyikan dan saya tetap
saja dibilang bohong soal Poso. Masak warga sipil punya senjata M-16, MK-1, SKS
itu mah pasukan tempur. Dan kalau 50 orang lari ke hutan ini tidak gampang.
Gerakan mereka bisa sendiri-sendiri dan terpencar. Mereka ini harus dikejar dan
ditangkap," ujarnya.
Mertua di LP Cipinang
Hendro mengatakan, mereka yang tertangkap di Poso masih bersentuhan dengan
mereka yang menghuni LP Cipinang. Dari identifikasi yang meninggal dunia itu ada
nama. "Meskipun mereka ganti nama, tapi ciri badannya sama yaitu Mahmud, Pak
De, ini adalah alumni Akademi Militer angkatan ke-7 dari Afghanistan. Mertuanya,
Mustafa ada di LP Cipinang ditangkap 2004 karena melindungi Noor Din M Top. Dan
tahun 2007 ini bebas," katanya.
Satu lagi Santoso, angkatan kedua tahun 1985, akademi militer Afghanistan lulus
1988. Yang lari Basri, orang JI . "Untuk itu saya minta polisi didukung penuh karena
mereka yang keluar dari LP Cipinang ini nantinya siapa yang membinanya," tuturnya.
Dia mengatakan, mereka yang keluar dari Cipinang harus diwaspadai, tapi harus
diurus, diberi dana. Masalah mereka ini amat kompleks karena gerakan mereka
adalah organisasi di bawah tanah, tidak punya dokumen. Bahkan, KTP mereka palsu,
ganti-ganti nama.
Jika tidak dibina atau diwaspadai, bukan tidak mungkin mereka akan membesarkan
gerakannya lagi, bahkan bisa menjadi bos. "Masuk penjara kucing kurap keluar jadi
bos bila tidak dibina," tambahnya. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|