SINAR HARAPAN, Senin, 29 Januari 2007
Cegah Poso Jadi Lebanon
Oleh Tjipta Lesmana
KETIKA belajar bahasa Spanyol di Kedutaan Argentina di Jakarta sekitar 36 tahun
yang lampau, guru saya mengajarkan sebuah ungkapan sebagai berikut:
"Barangsiapa tidak tahu tapi tidak sadar bahwa ia sesungguhnya tidak tahu adalah
orang dungu, tinggalkan dia! Barangsiapa tidak tahu tapi sadar bahwa ia memang
tidak tahu adalah orang jujur. Ajarkanlah dia! Barangsiapa tahu tapi tidak sadar bahwa
ia tahu adalah orang sedang tidur. Bangunkanlah dia! Barangsiapa tahu dan sadar
bahwa ia tahu adalah orang pintar. Ikutilah dia!"
Seorang pemimpin yang baik mestinya masuk dalam kategori "Manusia ke-4": ia
tahu, sekaligus sadar bahwa ia memang tahu. Konsekuensinya, ia tahu apa yang
harus diperbuat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Manusia "tipe ke-1" adalah pemimpin paling jelek: ia tidak tahu permasalahan, tapi
ngotot sok tahu. Akibatnya, segala langkah dan kebijakan yang diambilnya meleset,
bahkan berakibat blunder.
Tapi, di Indonesia, banyak pemimpin yang termasuk kategori manusia "tipe ke-3".
Pemimpin seperti ini mendapat predikat NATO: No action, talk only.
Ia sebenarnya tahu permasalahan, tapi rakyat melihat ia seperti tidur terus, sehingga
tidak ada tindakan konkret dan berani untuk mengatasi permasalahan bangsa.
Masalah Poso, misalnya, sejak era Gus Dur, pemerintah sudah tahu, tapi dibiarkan
terus, sehingga makin ruwet, kelompok-kelompok radikal kian kuat. Tanyakanlah para
pejabat di Badan Intelijen Negara (BIN) atau intelijen militer, mereka pasti bisa
memaparkan persoalan Poso.
Dari kelompok mana saja mereka, berapa kekuatannya, berapa senjata api yang
dimiliki, dan apa tujuan perjuangan mereka, semua lengkap datanya. Laporan demi
laporan sudah lama diberikan kepada Presiden. Tapi, Presiden kita dari dulu sampai
hari ini no action.
Ada tiga kemungkinan untuk menjelaskan mengapa Presiden diam saja. Pertama,
laporan itu "sekadar" laporan intelijen. Menurut pihak kepolisian, laporan intelijen tidak
bisa dijadikan dasar bagi mereka untuk bertindak. Ketika AM Hendropriyono, Kepala
BIN, pada tahun 2000, mengungkapkan bahwa instansinya telah menemukan tempat
latihan teroris di Poso, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar menjawab enteng: "Ini baru
laporan intelijen". Sejumlah politisi di DPR dan Menteri Kehakiman Yusril Ihza
Mahendra bahkan mengecam Hendro atas pernyataannya itu.
Tanggal 24 Februari lalu, Kapolda Sulawesi Tengah mengemukakan bahwa
orang-orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang ditangkap polisi
sebenarnya hanya pelaksana. Operatornya orang-orang dari luar Sulawesi. Bukankah
ini berita yang sudah sangat basi?
Untuk menyebut "orang dari Jawa" saja, polisi tidak berani, apalagi menyebut kota di
pulau Jawa. Aparat kita seperti katak dalam tempurung: tahu, tapi takut untuk
mengungkapkan.
Semua orang tahu bahwa polisi bekerja berdasarkan TKP (Tempat Kejadian
Peristiwa). Kalau belum ada bom meletus, atau nyawa manusia melayang, polisi
tidak bisa bertindak. Tapi, apa artinya kerja polisi jika bom sudah meletus dan
menewaskan sekian banyak manusia tidak berdosa, termasuk tiga gadis pelajar yang
dipenggal lehernya?
Akibatnya, sebelum polisi berhasil mengungkap satu kasus, bom lain sudah
meledak; begitu seterusnya sehingga polisi kedodoran. Dalam masalah teroris,
langkah preventif dan represif yang keras lebih penting daripada langkah TKP. Aparat
harus berani menyerbu "sarang tikus" dan menghancurkan "tikus-tikus" berbahaya
sehingga mereka tidak lagi sempat melancarkan teror.
Di sinilah kelemahan dan kekurangan polisi. Di sinilah, polisi harus didukung oleh
aparat intelijen di luar polisi, termasuk intelijen TNI.
Kedua, Presiden terlalu khawatir akan stabilitas pemerintahnya jika para teroris itu
ditindak sekerasnya. Sebagian besar komponen bangsa padahal menentang dan
mengutuk terorisme. Para tokoh NU dan Muhammidyah pun tidak mendukung
terorisme. Seharusnya kepada tokoh-tokoh lintas agama diberikan briefing yang jelas
dan lengkap tentang persoalan yang kita hadapi.
Ketiga, pimpinan kita tampaknya memang lebih suka tidur daripada mengambil
tindakan yang berisiko "panas"; atau berlagak tak ada masalah. Wakil Presiden Jusuf
Kalla mengatakan aparat keamanan sudah tahu "siapa mereka sebenarnya". Kalau
sudah tahu apa lagi yang ditunggu? Apakah menunggu sampai Poso berubah menjadi
Lebanon?
Kisah Lebanon amat tragis dan memilukan. Selama 15 tahun negeri ini hancur karena
perang saudara, terutama antara kelompok Shiah dan Sunni. Baru lima tahun lalu
perang saudara berakhir tuntas. Namun, setahun terakhir Lebanon kembali terancam
perang saudara. Ini karena beberapa negara asing ikut bermain demi meraih
kepentingan politiknya.
Poso oleh kelompok tertentu dijadikan "Medan Jihad". Sasaran akhir mereka sudah
sama-sama kita ketahui. Kelompok mereka, dari segi militer, kian hari kian kuat.
Jangan heran jika polisi pun terkesan "takut" ketika hendak menggerebek mereka.
Dan korban jiwa tidak bisa dielakkan, sebab mereka melawan dengan senjata api
pula.
Tapi, pemimpin negara yang betul-betul committed untuk mempertahankan keutuhan
bangsa dan negara takkan pernah takut dengan persoalan HAM. Pada era Orde Baru,
Soeharto tidak mentolerir kelompok mana pun yang mempersenjatai diri mereka,
apalagi yang semena-mena menyerang kelompok masyarakat lain.
Memang Soeharto kemudian dikecam, antara lain, karena tindakannya memberangus
HAM rakyatnya sendiri. Tapi, kalau mau jujur, hendaknya kita semua bertanya: mana
lebih penting, HAM atau keamanan? Apa arti HAM jika bangsa terancam pecah, atau
banyak warga terus diteror atau sekelompok masyarakat memaksakana
kehendaknya terhadap kelompok lain?
Pada saat-saat tertentu yang kritis, pemimpin bangsa harus berani tegas dan
mengambil segala langkah untuk memerangi terorisme. Max Weber menulis "A state
has a monopoly on the legitimate use of physical force within a given territory".
Pemimpin yang tidak berani menggunakan physical force untuk menghancurkan
kelompok teroris sebaiknya mundur saja, sebab itu berarti dia telah mengkhianati
fungsi pokoknya, yaitu melindungi rakyatnya. n
Penulis pengajar ilmu komunikasi Universitas Pelita Harapan.
Copyright © Sinar Harapan 2003
|