Siwalima, 12 Februari 2007
Rido Rehatta dan Kapanya
Victor Manuhutu
Music is universal language.
Sewaktu beta menulis artikel ini, alunan lembut musik Hawaiian dari kelompok
Kapanya mengalirkan donci Batu Badaong. Sungguh lembut musik ini membuat beta
terpersona mengenang para maestro musik steel guitar asal Maluku.
Tak terasa tangan beta membelai bangga piringan hitam koleksi yaitu Kapanya band.
Maestro musik Hawaiian Maluku diantaranya tergabung di Kapanya Band. Sungguh
beta bangga pada kwalitas dan selera tinggi mereka. Simaklah lagu mereka maka
anda akan terpesona pada rythme tahun 70-an seperti nomor Kapanya Irama Asli
Maluku dan Badendang Cherlele.
Kapanya adalah fenomenal musik Maluku. Kapanya berusaha memperkenalkan aliran
baru dengan mengetengahkan musik asli Maluku. Kapanya digawangi
pendekar-pendekar musik Hawaiian Maluku yaitu Beng Leiwakabessy, Piet
Leiwakabessy, Rene Rehatta, Rido Rehatta dll.
Rene Rehatta adalah ayah dari Rido Rehatta. Rido Rehatta adalah sosok muda belia
kala itu yang memainkan gitar bass ditengah-tengah para pendekar tersebut. Band
Kapanya hingga pada New Kapanya adalah bentuk idealisme musik Maluku.
Cikal bakal Kapanya bermula dari kelompok Suara Maluku dari Ambon yang
mengikuti konkurs Hawaiian di lapangan Ikada Jakarta tahun 1955. Suara Maluku
berhasil menggondol juara 2. Goerge de Fretes, sang Raja Hawaiian, bersama
kelompoknya yaitu The Royal Hawaiian Minstrels - Suara Istana menggondol juara 1.
Di Suara Istana ada empat orang de Fretes bersaudara yaitu George, Arie, John dan
Peter de Fretes, Bram Titaley, serta lainnya sedangkan di Suara Maluku ada
pendekar musik dari Ambon sebut saja Rene Rehatta, Beng Leiwabessy, Piet
Leiwakabessy, Buce Matehelmual, Didi Pattiwael, Tjo Samalo. Menurut cerita, untuk
menarik simpati penonton, Beng Leiwakabessy bermain Hawaiiian sambil
menggendong steel guitar bak anak bayi seraya memainkan donci Sayang Kane.
Sayang Kane mampu membangkitkan hysteria penonton. Bravo oom Beng!
Beat Kapanya adalah ekspresi feeling orang Ambon dalam bermusik di kala suasana
gembira ria. Sedang di sisi religius biasanya masyarakat Ambon mengenalnya
sebagai Kapata.
Band Kapanya meramu musik Ambon yang indah berdasarkan berbagai beat tifa.
Sebagai contoh, "Tifa Cakalele" yang melandasi irama tarian perang. "Tifa Marinyo"
yang didasarkan pada irama mengumpulkan orang. "Tifa Panggayo", irama yang
digunakan oleh pendayung atau orang panggayo arombae. "Tifa Potong", irama yang
memberi semangat pekerja dalam bekerja. Irama tarian yang ceria untuk berdendang
dikenal sebagai "Tifa Badendang" dsb.
Dari berbagai jenis beat tersebut kemudian diciptakan beat baru yang dinamakan
Kapanya. Kapanya tidak hanya menggunakan beat asli Maluku tetapi juga diberi
sentuhan musik barat seperti irama Latin, Bassanova dan Soul.
Diparuh tahun 70-an Kapanya band dan kemudian dilanjutkan New Kapanya
mengetengahkan selera tinggi bermusik oleh para pendekar musik di Maluku. New
Kapanya bahkan memberi sentuhan unsur Jazz didalam musiknya.
Membandingkan kedua band diatas dengan kwalitas musik Maluku kini bagai
membandingkan makan sagu gula dengan tahu goreng bagi orang Maluku. Ada
sementara penilaian bahwa kwalitas bermusik orang di Maluku makin menurun
setelah era New Kapanya.
Rido Rehatta berada ditengah-tengah para punggawa musik steel guitar dalam
meracik selera dan kwalitas musik Kapanya dan New Kapanya pada saat itu. Tentu
seorang Rido Rehatta mewarisi idealisme para pendekar musik Kapanya, termasuk
semangat bermusik dari sang ayah yaitu Rene Rehatta.
Johnny Manuhutu dari Massada band negeri Belanda sewaktu berlibur ke Ambon di
tahun lalu setelah usai mengikuti Java Jazz Festival, ketika mendengarkan piringan
hitam Kapanya dia pun mengakui selera bermusik Kapanya sangat tinggi.
Seorang Johnny Manuhutu sempat mengakui kehebatan para pendekar musik
Maluku, apalagi kita? Johnny Manuhutu sudah membuktikan ritme dengan beat tifa
Maluku dapat menguasai pasar musik Belanda lewat tembang "Sajang e" yang
pernah bertengger di tangga 1 Top Pop Belanda selama 11 minggu di tahun 1980
(data dari Nationaal Pop Instituut Nederland).
Di Indonesia irama tifa dibuatkan aliran baru yang dimainkan oleh kelompok Kapanya
sesuai nama aliran itu sendiri. Terlihat jelas ada unsur idealisme untuk menjaga
budaya bermusik dikalangan orang Ambon dengan mengadopsi beat tradisional.
Sekali lagi, sosok Rido Rehatta dilibatkan didalam idealisme ini oleh para para
superiornya. Berarti ada sinyal yang terbaca oleh beta, dan juga ribuan orang Maluku,
bahwa seorang Rido Rehatta adalah pewaris idelisme dari para pendekar Kapanya.
Kapanya bukan hanya terbatas pada selera serta budaya Maluku tetapi mewakili
semangat dan harapan orang Maluku. Berarti juga selera dan budaya bermusik orang
Maluku kini diharapkan terbawa oleh sang pewaris yaitu Rido Rehatta.
Makanya beta begitu masygul ketika membaca nama Rido Rehatta di susunan
pengurus Country Musik Club Indonesia cabang Maluku. Tidak ada yang salah disini.
Memang seorang Rido Rehatta bukanlah Mick Jagger dengan Rolling Stone yang
harus mempertahankan idealisme dan trade mark-nya di jalur musik. Ataukah
barangkali dalam kondisi Maluku kini sangat sukar mendapatkan pendekar musik
sekaliber para personel Kapanya dulu? Ataukah generasi muda Maluku lebih
menyukai hal instant dari pada menggali beat tradisional kemudian diadopsi menjadi
beat baru yang menghentak?
Sayup-sayup beta teringat penggalan translate donci Als De Orchideen Bloein…tapi
kini kau tiada/tingalkan daku seorang/tinggal kenangan nan indah namun tak
terlupakan/bila Anggrek mulai kembang/remuk redam hatiku/hanyalah kau
idamanku/milik sepanjang hidupku.
Rasa panasaran beta sepertinya mesti dituntaskan maka mengalirlah karya
fenomenal ciptaan Rene Rehatta yang dimainkan oleh Kapanya secara menghentak
yaitu donci Kapanya Jump. Mena!
Copyright © Siwalima Ambon
|