The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Siwalima


Siwalima, 16 January 2007

Maintenance Teluk Ambon

Victor Manuhutu

… Teluknya Ambon…kelihatannya sangat permai, diwaktu bulan mulai bercahaya menambah indah, bila dipandangnya...(Teluk Ambon by KAPANYA Group & Trio Aleyo, 1970's)

Membaca koran di daerah ini tentang cerita teluk Ambon, beta tergerak untuk membagi pengalaman bekerja selama 13 tahun di PT Freeport Indonesia. Ini bukan untuk menjawab tantangan Walikota Ambon tentang action plan tagal beta no body. Beta bukan anggota komunitas lembaga pendidikan. Beta bukan pemerhati lingkungan. Beta juga bukan "pakar tetapi hanya seorang yang "pekar".

Satu saja kerinduan beta yaitu hanya ingin melihat tanahku yang begitu beta banggakan, Amboina, berseri kembali guna membangkitkan kembali kenangan tentang keindahannya. Dangke buat oom No Liem yang memberi dorongan semangat par tulis artikel ini sembari menceritakan indahnya Teluk Ambon sebagaimana dilukiskan dalam lagu-lagu tempo doeloe.

Pekerjaan maintenance teluk Ambon harus melibatkan masyarakat secara aktif. Tanpa keterlibatan masyarakat walau melibatkan pakar sekalipun, hanya akan berujung pada lingkaran tak berpangkal. Masyarakat adalah pokok penglestarian teluk Ambon.

Pertama-tama adalah usaha memperbaiki kerusakan atau penanganan sedimentasi kemudian tindakan pencegahan secara berkesinambungan. Ide tentang pengerukan dengan menggunakan kapal keruk cukup efisian bila dibandingkan menggunakan crane dengan crab untuk mengangkut tanah atau lumpur. Menggunakan kapal keruk hanya untuk mengeruk kawasan yang telah dangkal karena jangkauannya pun terbatas. Kebetulan beta punya sedikit pengalaman menggunakan kapal keruk untuk menguras pasir berlumpur.

Adalah kurang tepat ide menggunakan kapal keruk untuk membersihkan sampah-sampah padat yang tenggelam di kawasan teluk Ambon. Tagal hal itu tidak efisien dan tidak berdaya guna. Harus ditemukan cara manual lain yang lebih efektif. Dengan cara manual efek kerusakan yang ditimbulkan akan lebih kecil terhadap terumbu karang dibandingkan cara mekanis seperti pengunaan kapal keruk.

Permasalahannya yaitu jika kita menggunakan kapal keruk maka harus ada area dimana kita dapat melakukan dumping hasil pengerukan. Beta sarankan dibuatkan daratan baru sebagai hasil positif efek pengerukan sedimen. Daerah tersebut paling efektif disekitar Tantui. Kita tidak perlu takut bahwa daratan disekitar yang posisinya lebih rendah akan terkena imbas. Sebab sesungguhnya volume air akan tetap tanpa menggerus area lain karena volume lumpur yang terangkat akan sama dengan dengan volume air yang tergeser. Jadi dorang saling baku isi. Jika volume lumpur yang terangkat sebesar Y m3 maka harus dihitung volume air yang tergeser harus sama sebesar Y m3 pada saat penimbunan daratan baru. Itu hukum Archimedes bukan hukum Otohilo dari Haria tentang perpindahan volume.

Setidaknya ada tiga keuntungan pengerukan sedimen dengan kapal keruk yaitu efisiensi kerja lebih baik, membuat alur pelayaran kembali normal serta dapat membuat areal baru yang berguna bagi aktifitas perekonomian.

Kalau kita membandingkan kecepatan pendangkalan alur pelayaran Poka-Galala yang memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun maka kurang efisien ide untuk membeli kapal keruk secara permanen. Lebih menguntungkan menyewa kapal keruk dengan memperhitungkan efisiensi operasional kapal tersebut.

Issue mengenai tumpahan minyak dan oli bekas yang berasal dari kapal-kapal (terutama kapal tradisional sebab berhubungan dengan tingkat pengetahuan para KKM-nya) serta industri yang berada didaratan. Kita jangan hanya sekedar menghimbau tagal hasilnya akan mandul alias melang.

Supaya jangan melang maka kita harus siapkan perangkatnya. Juga harus ada aturan hukum yang jelas dan disertai tindakan penalti yang ketat. Misalnya, buang oli bekas di teluk Ambon akan dikurung selama saminggu sondor makang atau denda kepeng banya disertai strap angka kaki sabla nganga matahari.

Kemudian jika semua oli bekas mau di collect, terus mau diapakan? Adakah industri atau aktifitas lain yang bisa mengkonsumsi oli bekas sebagai bahan bakunya?

Dulu di Freeport par sagala hari beta urus akang barang nau-nau ini. Waste oil ditampung dalam oil dots biasanya berisi macam-macam oli dan viskositasnya sangat tinggi. Masih untung saat itu (hingga kini) Freeport menggunakan oli bekas untuk membakar dan mengeringkan tambang dengan peralatan Direct Fired Rotary Dryer, sebagai komitmen Freeport terhadap lingkungan.

Semua oli bekas harus terpakai habis, jika tidak maka kita hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat lain. Volume oli bekas akan besar karena dikumpulkan dari berbagai sektor. Penggunaan Waste Oil Management System akang tamba karja par Walikota, skang biking ontua pung rambu tamba abis jua.

Beta menyarankan agar IPST Toisapu dilengkapi system ini agar bisa digunakan untuk menghabisi oli dan minyak bekas dengan jalan membakarnya. Apakah bisa? Tantu bisa! Selama incinerator menggunakan api untuk membakar sampah maka selama itu pula oli bekas bisa dipakai untuk membakar sampah. Apakah oli bisa digunakan sebagai bahan bakar tagal cuma dikenal sebagai pelumas? Bisa!

Caranya yaitu dibangun instalasi waste oil dengan dilengkapi pompa supply bertekanan tinggi, umumnya 100-120 psi untuk memompa oli bekas ke instalasi combustion system. Oli bekas dialirkan melewati saringan bertingkat menuju heater listrik guna menaikkan temperaturnya sekaligus menurunkan viskositasnya. Kalau temperatur sudah naik tingggal ditembakkan dengan tekanan tinggi dicampuri udara bertekanan maka akan mudah menyala seperti menggunakan solar. System ini agak rumit bila diterangkan lewat tulisan pendek seperti ini. Par gampangnya, teknologi combustion system bisa dibeli dan biasanya disertai training terhadap tenaga operatornya. Tertarik? Bali jua, upu Wali bilang dorang pung kepeng banya, tinggal ada konsepnya.

Atau cara lain, pembangunan installasi waste oil management system dan combustion system dapat dibuat untuk membantu home industry yaitu "bakar tela". Dengan demikian kita dapat mengkonversi bahan bakar kayu sekaligus melestarikan hutan dari penebangan pohon-pohon untuk bahan bakar pembuatan tela. Untuk ukuran home industry maka harga yang harus dibayarkan bagi waste oil management system dan combustion system adalah cukup mahal. Tetapi yang lebih penting, yang tidak ternilai oleh uang adalah mengajari mental masyarakat tentang menjaga lingkungan yang bersih sekaligus kita membuka mata masyarakat kita tentang teknologi tinggi tepat guna.

Kemudian pada setiap bengkel motor, bengkel mobil, tangki minyak permanen seperti di SPBU, instalasi pembangkit listrik serta semua tempat yang mengoperasikan peralatan yang menggunakan oli atau minyak harus menggunakan oil separator. Penggunaan oil separator perlu untuk mencegah aliran tumpahan oli atau minyak secara langsung ke laut atau ke sungai. Di tempat-tempat ini dilarang untuk menumpahkan minyak atau oli ditempat terbuka serta diikuti tindakan penalti bagi yang membangkang. Tempat-tempat seperti ini harus tersedia peralatan untuk mencegah minyak tumpah atau mencegah tumpahan minyak makin melebar seperti minimal harus tersedia pasir dalam drum.

Yang tak kalah pentingnya yaitu penanganan terhadap bekas pakai ACCU atau Aki atau sumber listrik DC bagi kendaraan. Konsumsinya bisa ratusan bahkan ribuan buah per bulan. Kemanakah kita membenamkan racun-racun ini sehabis dipakai? Bekas pakai ACCU adalah racun yang menggerogoti kita semua. Barang ini sengaja dibuang dilingkungan kita yaitu di atas tanah maupun didalam teluk Ambon. Kita hanya melihat oli bekas sebagai ancaman tetapi kita lupa ACCU adalah bahan paling berbahaya yang luput dari perhatian kita. Mesti ada aturan untuk menangani barang yang demikian. Para ahli lingkungan mempunyai tugas tambahan. Silahkan, nyong, sebelum ini meracuni tanah dan ikan-ikan kita.

Kesemua hal diatas mesti dilengkapi SOP (Standard Operating Precedure) sebagai aturan baku, kalo seng orang akan biking iko dong pung mau sandiri-sandiri.

Berikutnya harus ada kampanye terus menerus tanpa mengenal lelah guna menyadarkan masyarakat kita bahwa teluk Ambon bukan tempat sampah raksasa serta bukan pula WC raksasa. Bukan hanya masyarakat yang dihimbau tetapi aparat juga dihimbau supaya mengganti mentalitas mereka agar jangan cuma bataria dari blakang meja. Ini bukan mental di zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Semua orang harus aktif bergerak! Tawarkan pilihan pola kompensasi atau hukuman untuk menggerak aparat kita, tagal dorang adalah patron masyarakat.

Bayangkan ketika kita mengkampanyekan teluk Ambon sebagai ikon parawisata bahari kemudian turis asing berenang riang, tacigi bagini, abis molo nae di muka aer ternyata turis itu keku palompong kuning-kuning. Tantu seng lucu bukan?

Makanya harus ada aturan yang memaksa masyarakat kita. Setiap rumah dipinggiran pantai harus dilengkapi WC dalam rumah. Bukan model dudu rabe diatas kakus lalu ikang gete-gete manggurebe dibawah. Beri masyarakat insetif berupa bantuan uang untuk pembuatan jamban serta bantuan closet gratis. Ini sekaligus kita mengajari mereka cara hidup sehat selaku orang modern. Beri aturan tegas untuk melarang piara Bobi Putih diatas sungai dan di atas laut. Caranya? Tanyakan ahli lingkungan jua.

Sekali lagi, jika kita hanya menghimbau, sioh, akang pung hasil dengar talinga kiri balong sampe talinga kanan lai akang su kaluar lewat idong. Harus ada aturan yang mengikat. Harus ada pendekatan sebagai sarana pembelajaran. Harus ada take and give misalnya untuk masyarakat pesisir diberi bantuan closet pada pembuatan WC kemudian diikuti himbauan untuk menjaga lingkungan.

Kesemuanya harus disertai pengawasan melekat, kalo seng sama saja, akang nanti melang malulu. Contoh, bantuan closet bisa jadi sarana papalele par orang yang pung handeke pende deng kalakuang pamalas.

Sedang mengenai penanganan sampah rumah tangga, beta kurang meku deng akang tagal beta seng pung kompetensi untuk itu. Cuma dari pengalaman hidup beta di Tembagapura dan Kuala Kencana bahwa penanganan sampah sangat berhubungan erat dengan budaya hidup. Budaya masyarakat dalam melihat dan memberlakukan sampah, lagi-lagi, berhubungan erat dengan tingkat pendidikan dan kemakmuran. Kalo di Ambon, kemakmuran gampang di dapat, pi cari di sekitar kantor Walikota Ambon ada nama jalan yaitu jalan kemakmuran. Tapi kemakmuran yang anda temukan disekitar situ adalah mimpi makmur berlingkungan jorok seperti got-got yang tersumbat sampah.

Jika anda pernah ke kota kecil ditengah rimba Papua yaitu Kuala Kencana, anda akan terkagum-kagum dengan kebersihan lingkungan dan cara rumah tangga menangani sampah mereka. Anda dapat melihat dengan jelas hubungan antara pola budaya hidup masyarakat dengan pola budaya kebersihan. Jadi, budaya hidup teratur terutama tentang keteraturan penanganan sampah, kadang harus dipaksakan bagi masyarakat kita. Contohnya, pola hidup orang Indonesia di Tembagapura dan Kuala Kencana yang "terpaksa" mengikuti aturan. Lama kelamaan dari keadaan "terpaksa" akhirnya menjadi budaya baru yang diterima.

Laste, selayaknya beta dibayar sebagai konsultan untuk ide-ide diatas tetapi demi Ambon-ku seng apa-apa jua asal tanah airku tambah cantik deng "kanes". Mena!

Copyright © Siwalima Ambon
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoemerah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044