Siwalima, 26 Februari 2007
Sopi Diberangus VS Otak Satetok?
Victor Manuhutu
Satu dari tujuh penyakit manusia modern; Kesenangan tanpa suara hati. (Mahatma
Gandhi, 1948)
Melihat dan membaca Siwalima, (23/02), tentang sopi-sopi yang dimusnahkan oleh
jajaran Polres pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, tidak sedikitpun perasaan bangga
beta atas hasil operasi Pekat tersebut. Malahan ada perasaan teriris 'bulu tui'.
Hal yang sama berlaku terhadap seseorang yang mengaku hamba Tuhan (?), yang
dengan bangganya bercerita tentang hal serupa. Beliau dengan sombongnya
menceritakan bahwa berhasil menumpahkan berpuluh-puluh 'gen' sopi ketika kapal
perintis dari MTB dan Maluku Tenggara tiba di Ambon.
Sopi diproduksi oleh rakyat kecil dimusuhi oleh aparat keamanan dan oleh sementara
orang yang menganggap diri hamba Tuhan. Sopi dan orang yang memproduksinya
dianggap sebagai setan "ondos-ondos" dan perlu dilibas.
Beta prihatin atas kelemahan dan ketidakberdayaan ini. Tahukah kita bahwa
orang-orang yang terlibat pembuatan sopi adalah bagian nyata dari 61% rakyat
Maluku yang miskin? Tahukah kita bahwa membuat sopi adalah jalan keluar dari
kesulitan finansial untuk membeli beras supaya anak-anaknya bisa makan? Tahukah
kita, sebagian dari para pembesar kita di Maluku kini, orang tuanya dahulu
menyekolahkan mereka dari hasil menjual sopi?
Sungguh ironis, penghasil sopi yang adalah orang miskin dikejar dan hasil
produksinya dimusnahkan tanpa diberikan jalan alternatif untuk keluar dari kesulitan
ekonomi. Yesus saja dijual oleh Yudas untuk segepok duit, apakah suatu dosa tak
berampun jika menjual sopi demi perut anak-istri dan masa depan?
Begini, sopi tidak dapat diberantas selagi rakyat masih didera kemiskinan. Sopi tidak
dapat dimusnahkan dengan alasan untuk memberantas penyakit sosial. Pecandu
sopi yang mabuk-mabukan dan mengganggu ketertiban, mereka inilah yang perlu
disadarkan.
Yang benar adalah tingkat kenakalan remaja dan penyakit sosial seperti
mabuk-mabukkan bisa diberantas jikalau masyarakat mempunyai sumber
penghasilan yang pantas guna membiayai hidup. Lebih luas adalah keterbatasan
pengetahuan dan informasi membuat masyarakat tidak dapat meningkatkan
pengolahan hasil alam ke level yang lebih tinggi.
Tugas pemerintah dan pemuka masyarakat untuk mencari jalan keluar bagi masalah
seperti ini. Bukannya jalan pintas diambil dengan cara memberangus sopi tanpa
alternatif lain yang lebih mendidik sekaligus memberi jalan keluar dari kesulitan hidup.
Gunakan otak bapak-bapak ketimbang otot untuk mengejar dan menghajar rakyat
miskin. Mau contoh?
Itu arak Bali, seng beda deng sopi, tidak dimusuhi malahan dijadikan minuman
terkenal sampai ke pelosok dunia. Mengapa mereka bisa membuat arak Bali
demikian terkenal? Mengapa kita di Maluku tidak bisa membuat sopi menjadi
komoditi terkenal? Apakah kita di Maluku berotak pendek dan berdaya analisa
"satetok"?
Beta teringat orang tua kita menggunakan rempah-rempah untuk meramu sopi
"kapala" kemudian digunakan mengawetkan anak rusa. Konon minuman jenis ini
sangat bermantra guna untuk kesehatan tubuh. Daniel Sahuleka bilang dalam
lagunya; 'minuman anak rusa tempat lari jiwa susah'. Seharusnya kita dapat
berimprovisasi guna mengolah sopi menjadi minuman arak khas Ambon yang
komersial made in Ambon. Dengan demikian sopi bisa dikendalikan nilai
ekonomisnya ke level yang lebih tinggi.
Kita punya ahli kimia di Unpatti. Kita punya banyak lulusan specialist Apoteker.
Gunakan mereka untuk meneliti arak Bali kemudian kita bandingkan dengan sopi lalu
tambahkan ramuan rempah-rempah dari bumi Maluku. Kita bisa kalahkan arak Bali
dalam cita dan rasa. Kita bisa, asal ada kemauan. Berarti kita akan hargai sopi bukan
sebagai kelas rumah tap tetapi sebagai minuman berkelas café.
Lihatlah apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Beliau
merintis pabrik gula merah pertama di Indonesia dan diresmikan oleh bapak Presiden
Yudhoyono. Seorang Fadel telah menunjukkan kemampuan mengendus pasar dan
mampu memberdayakan rakyatnya sekaligus memanfaatkan sumber daya alam
mereka. Dengan demikian masyarakat kecil di Gorontalo dapat terbantu keberadaan
ekonominya.
Hal yang sama dapat kita dilakukan di Maluku. Pohon aren atau pohon enau atau
pohon apapun namanya, selama bisa digunakan untuk produksi sopi, dapat
digunakan sebagai "home industri". Gula merah, misalnya. Masalahnya yaitu
berpulang kepada kemauan membuka pasar demi untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat kita.
Kedua contoh diatas dapat membuka mata kita bahwa sopi dapat dijadikan komoditi
komersial yang menghidupkan rakyat diantara 61% orang miskin di Maluku.
Jawabannya cuma satu yaitu siapkan perangkat industri yang mampu menyerap
produksi sopi dari masyarakat kita.
Semoga dengan menggunakan otak disertai daya analisa bukan "satetok" kita
mampu mencari jalan keluar bagi masyarakat miskin dengan sopi produknya. Cara
bermartabat serta mampu menunjukan jalan keluar bagi kesulitan masyarakat lebih
dihargai. Artinya, kita jangan hanya jadi harimau yang setiap saat menerkam
masyarakat tanpa diberi pilihan yang lebih menguntungkan. Mena!
Copyright © Siwalima Ambon
|