Siwalima, 29 January 2007
Mimpi Mie Sagu di Hutan Tawiri
Victor Manuhutu
…berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah…(Filipi 3:14)
Adalah Otohilo dudu nesa di langkang poris tunggu tamang-tamang par repetisi
manyanyi. Pede Kuamor soso deng koran di tangan parsis tuang guru mau kasi
ajaran par anana skolah.
Ini ana Fredek Kuamor beta su nanaku dia dari sariang, demikian Otohilo. Bajalang
kalau kadara la stori sandiri-sandiri. Dia bilang katong bisa perusa dusung sagu par
biking usaha mie sama deng dong bilang dalang koran yang dia ada kele.
Memang batul, di harian Kompas (23/1) halaman 18, ada gambar satu Meme bikin
mie sagu. Disitu dibilang bahwa pengrajin mie sagu di desa Banglas, Kecamatan
Tebing Tinggi, Bengkalis, Riau, memanfaatkan mesin-mesin sederhana untuk
membentuk mie. Dikatakan, mie sagu dari pulau ini sudah terkenal hingga seantero
Sumatera, Jawa bahkan Malaysia dan Singapura.
Bahkan beta teringat tentang pabrik mie sagu yang konon diusahakan oleh group
Indofood di sekitar Sorong, Papua.
Langsung beta katanggisan dalang tengah hari manyala. Jangan-jangan Proyek
Pengembangan Sagu di Tawiri, yang konon di back up dana ratusan milyar mau kasi
tunju par rakyat Maluku bahwa katong biking proyek percontohan pabrik mie sagu
terbesar di Indonesia Timur? Hebat kaseng?
Malas ah, kata Otohilo, masa dari dolo sagu cuma bisa bikin bubur sagu, papeda lalu
sagu tumbu sampe bagea yang berguna par kasi tumpul gigi.
Rupanya orang-orang yang terlibat di Proyek Pengembangan Sagu di Tawiri sadar
benar akan teori ekonomi tentang kompetisi pasar dengan memanfaatkan segmented
marketing. Maka dibuatlah proyek sagu dengan dana awal ratusan milyar sebagai
wujud keseriusan. Apa memang benar? Beta deng orang-orang birmang jadi eleng lai
alias mangaku sambil baku gepe mata sabla.
Segmented marketing maksudnya ada orang yang suka mie dari gandum deng ada
orang yang suka mie dari sagu. Mungkin konsumen penggemar mie sagu inilah yang
akan dibidik para ahli yang tengah bekerja di Proyek Pengembangan Sagu di Tawiri.
Benar atau tidak hanya binatang soa-soa deng puel yang bisa merasakannya lewat
ujung lidah mereka.
Bagaimana mungkin kita menunjukkan keseriusan menjaga kelestarian hutan sagu
yang terwakilkan sebesar 4 hektar sementara ratusan bahkan ribuan hektar hutan
sagu di Seram dan Buru dimusnahkan demi kepentingan transmigrasi?
Kita dan katorang seng menghargai hutan sagu karena kemampuan dan pengetahuan
mengolah tanaman sagu hanya terbatas pada kemampuan berbasis teknologi
tradisional. Dengan pengetahuan teknologi tradisional menuntun kita kepada budaya
menghargai beras lebih tinggi ketimbang sagu. Dengan pemahaman sebegitu maka
jangan heran kita mengizinkan hutan sagu diberangus demi alasan pembukaan lahan
persawahan untuk transmigran dari Jawa.
Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan membuat kita tidak berdaya mendebat
tentang pentingnya hutan sagu bagi kehidupan rakyat Maluku. Hutan sagu mampu
melindungi sumber-sumber air sedangkan tanaman padi justru menghancurkan tanah
dan sumber air kita.
Hutan sagu adalah bagian dari identitas Maluku. Sejarah membuktikan bahwa ketika
RMS memberontak, dikatakan bahwa cuma dibutuhkan waktu 3 bulan guna membuat
Soumokil dan pengikutnya bertekuk lutut. Ternyata lebih dari 10 tahun Soumokil bisa
bertahan di hutan Seram. Mengapa? Tagal ada sumber makanan yaitu hutan sagu
yang membuat mereka tidak kelaparan.
Kalau kita mampu menggunakan teknologi untuk mengubah tepung sagu menjadi mie
maka nilai ekonomis sagu akan terangkat. Bila tepung sagu bisa menjadi mie, tentu
tepung sagu bisa berubah menjadi roti dll. Kalau tanaman sagu bisa didorong nilai jual
ekonomisnya ke level lebih tinggi maka kehidupan masyarakat bisa terangkat.
Dengan sendirinya maka penghargaan terhadap tanaman sagu akan berubah.
Coba ale tutup mata la menghayal pi di super market la bali "super mie sagu" made
in Maluku? Tantu ale sombong sebagai anak Maluku. Maar kalo selama ini katong
cuma tau sagu par papeda la akang pung sisa par Kantor Pos lem-lem surat, tantu
seng ada pung perhargaan. Jadi, penghargaan terhadap tanaman sagu sangat
berhubungan dengan kemampuan mendiversifikasikan hasil akhir ke level yang lebih
tinggi.
Beta sondor tau apakah ahli-ahli yang terlibat di Proyek Pengembangan Tanaman
Sagu di Tawiri adalah ahli-ahli yang mampu mendiversifikasikan hasil akhir tepung
sagu menuju nilai ekonomis tinggi. Jangan-jangan cuma pergerakan level dari
kemampuan menghasilkan bagea menjadi noga bagea. Atau dari papeda menuju ke
puding sagu. Yang beta maksudkan disini yaitu kemampuan produksi massal untuk
merebut pangsa pasar regional yang lebih luas seperti mie sagu yang dicontohkan di
Riau.
Ataukah proyek di Tawiri hanya sekedar pameran buat dunia luar bahwa kita masih
concern terhadap tanaman sagu? Walauhalam.
Orang-orang yang terlibat didalam pemberdayaan tanaman sagu haruslah orang-orang
yang punya kemampuan prima di bidang praktikal teknologi serta praktikal ekonomi.
Yang dibutuhkan adalah orang-orang yang mampu mengubah tepung sagu menjadi
komoditi unggulan di pasar. Yang juga dibutuhkan adalah orang-orang yang mampu
menyulap Waa Sagu menjadi barang antik dengan nilai ekonomis tinggi didalam
design interior.
Kita memerlukan orang-orang dengan kemampuan intuisi ekonomi ke depan guna
memanfaatkan sumber daya sagu kita, ela sagu misalnya. Kita harus berani berkata
"cukup" kepada begitu banyak tenaga terdidik yang cuma pintar "menghapal text
book" (baca; berteori) kemudian mengejar proyek-proyek mimpi guna mengisi
kantong pribadi.
Kita membutuhkan sarjana-sarjana yang sanggup membuka isolasi psikologis produk
"kampungan" tanaman sagu menjadi produk yang kemudian diminati pasar regional
dan internasional. Contoh, mie sagu di Riau.
Semoga mimpi beta bersama Otohilo dan Pede Kuamor tentang galojo makan mie
sagu di hutan Tawiri bukan penghias tidur. Juga semoga mimpi indah ini tidak
membuat katorang tiga seng katanggisan di tengtengah matahari padis. Mena!
Copyright © Siwalima Ambon
|