Suara Maluku, 19 Februari 2007
TPA Gunung Nona ke IPST Toisapu
Tabaos duluan, pikir belakangan
Victor Manuhutu
Pertama-tama kita membentuk habit. Tapi kemudian habit akan membentuk kita.
(John C Maxwell)
Beta sekeluarga bermukim disekitar kaki gunung Nona. Katong serta seisi
masyarakat Benteng dan Kudamati merasa dibohongi oleh Pemerintah Kota Ambon
selama ini. Hal ini bertalian dengan rencana relokasi tempat pembuangan sampah
disekitar tempat tinggal kami. Pemkot sangat senang menebarkan janji-janji bulan
madu (seperti judul lagu) hingga mulut berbusa-busa. Sementara kami hidup dengan
lingkungan udara berbau, kotor dan tidak sehat.
Kini bertambah lagi satu kelemahan management Pemerintah Kota Ambon.
Kelemahan lain yang telah dipertontonkan kepada masyarakat kota ini berupa Publik
Relation (PR) yang lemah dan maintenance management harta benda yang
amburadul. Kelemahan kali ini adalah "senang tabaos duluan baru diikuti dengan
tindakan untuk berpikir'. Bukan sebaliknya seperti yang diharapkan yaitu berpikir
duluan kemudian baru diikuti dengan tabaos pengumuman atau penjelasan.
Berpikir duluan baru diikuti tabaos pengumuman berarti bobot penjelasan berisi
analitikal teoritis. Sebagai contoh, Otohilo bilang kalo gali got dibelakang rumahnya
butuh waktu 5 hari. Kalaupun molor menjadi 7 hari maka bisa dimaklumi. Mengapa?
Tagal seorang buta huruf seperti Otohilo bekerja hanya berdasarkan feeling semata
bukan berdasarkan skedul kerja analitikal. Berpikir anatikal secara sederhana
misalnya kemampuan Otohilo menggali 10 meter/hari maka dalam 5 hari dia akan
menggali sejauh 50 m.
Seorang Otohilo bukan kelasnya Walikota Ambon yang jago "brain analytical".
Walikota Ambon mempunyai banyak staff yang bergelar master hingga meneer dan
bahkan mereka cenderung bersikap monster bagi masyarakat. Bagaimana mungkin
diantara sekian banyak ahli teknik tidak ada yang mampu menghitung kecepatan
kerja dibandingkan dengan volume kerja hingga tidak mampu menetapkan jadwal
pengoperasian IPST Toisapu secara pasti?
Bayangkan, pengumuman di seantero negeri Malubeta tentang pengoperasian IPST
Toisapu molor mulai dari Desember 2006, kemudian Januari 2007 dan kini nyaris
habis bulan Februari 2007. Apakah kita harus menunggu sampai tahun sukun bulan
gomu? Apakah ahli teknik kita sudah terbiasa bekerja berdasarkan feeling "rai-rai"
sebagaimana Otohilo yang buta huruf sehingga tidak bisa menghitung secara pasti
jadwal penyelesaian sebuah proyek? Mosok yo, jadwal bisa molor 100 hari? Adoo
nona hati tuang e, katorang malu sayaaang!
Seorang Walikota adalah top management di Pemkot Ambon. Kalau top management
sampai berulang kali mengumumkan dead line pengoperasian IPST Toisapu maka hal
ini akan bersinggungan dengan kewibawaan dan kredibilitas.
Beta dapat melihat hal ini sebagai-akibat support tim ahli teknik yang tidak kapabel di
lingkungan Pemerintah Kota Ambon. Ketidak-kapabel ini mengakibatkan informasi
yang diberikan kepada seorang Walikota tentang waktu penyelesaian IPST Toisapu
berubah-ubah. Kecenderungan mengumumkan dead line berubah-ubah bisa menjadi
habit atau kebiasaan. Berawal dari kebiasaan maka dapat dipelintir menjadi proses
pembodohan masyarakat.
Akibat ketidak-kapabelan para ahli teknik ini maka penderitaan ditanggung oleh
masyarakat disekitar gunung Nona sampai detik ini.
Beta memuji (baca: menyindir) ketidak-mampuan dan ketidak-beranian masyarakat di
sekitar gunung Nona dalam melakukan pemboikotan terhadap operasional TPA
gunung Nona. Masyarakat Ambon berani? Tidak juga, buktinya kami hanya pasrah
dibiarkan menghirup udara kotor berisi polutan dari sisa pembakaran sampah. Kami
bertanya, dimanakah dia para pendekar lingkungan yang berdemo gegap-gempita
sewaktu kasus lumpur Lateri tempo hari? Apakah mereka menyembunyikan kepala
dalam pasir lalu menawarkan solusi terbaik?
Pada sebuah organisasi, seorang top manager bukanlah seorang super yang harus
maha mengetahui tentang detail teknikal dan operasional organisasi. Tugas manager
mengharuskan dia mampu memilih para pembantu yang kapabel guna membantu
menjalankan roda organisasi. Adalah tugas manager untuk membenahi "Core Value"
yang mencerminkan roh organisasi dalam cara berpikir dan bekerja. Apabila ada
pembantu yang tidak kapabel maka harus digeser sejak awal dari pada nantinya
merusak "Core Value".
Dalam manajemen dimana orang mengumpamakan organisasi seperti bawang
bombay, orang kemudian membedakan sebuah bawang ke dalam empat lapis yaitu
Core Value (yang terdalam, nilai inti), Core Strategy (yang membungkus Core Value),
Sub-Strategies dan Eksekusi. Core Value sangat jarang dirubah dan kalau pun harus
dirubah, jika keadaan benar-benar sudah sangat mendesak. Eksekusi lah yang paling
sering disentuh untuk dikupas atau dirubah.
Pertanyaan buat warga kota Ambon yaitu manakah dari lapisan Core Value hingga
Eksekusi yang harus dikupas oleh Walikota kita? Tentu dibutuhkan ketegasan dan
kemauan untuk mengupas lapisan yang mulai membusuk.
Sudah sangat jelas bagi kita yaitu ketidak-mampuan menetapkan jadwal
pengoperasian IPST Toisapu adalah salah satu lapisan yang harus dikupas. Contoh
lain yang sudah berlalu adalah kisah pembodohan masyarakat berupa cerobong asap
di TPA gunung Nona yang adalah "tuer" pipa. Masih ada lagi yaitu tentang kisah
mobil "kelder" Afvalvefrwijdfring yang masih setia nongkrong. Ini adalah lapisan-lapisan
yang perlu dikupas karena merongrong kewibawaan Pemerintah Kota Ambon. Masa
sih Walikota kita pura-pura tidak mengetahui demi untuk menutupi ketidak-mampuan
jajarannya?
Dimana letak kendala penyelesaian IPST Toisapu sehingga jadwal pengoperasian
tidak bisa ditetapkan secara pasti? Setahu beta di Toisapu tidak ada bencana alam di
setiap bulan yang dapat merintangi pekerjaan disana. Otomatis kendalanya lebih
banyak bersumber pada sumber daya manusia.
Semoga penjelasan mengenai pengoperasian IPST Toisapu tidak lagi molor karena
sangat berhubungan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas
para pemimpinnya. Semoga lai, yang ini laste, jang lai ada tabaos kong bapikir iko
blakang. Mena!
Copyright © Suara Maluku
|