SUARA PEMBARUAN DAILY, 11 November 2006
Solusi Poso dari Segi Hukum dan Etis Teologis
Jahenos Saragih
UD 1945 Pasal 27 ayat 1 secara tegas mengatakan, "Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".
Dari jiwa dan semangat pasal ini, menegaskan bahwa negara RI adalah negara
hukum bukan negara agama atau negara sekuler. Ini juga berarti di hadapan hukum
tidak ada satu orang pun yang pilih kasih dan pilih tebang tanpa membedakan status,
jabatan, termasuk itu presiden sekalipun, semua sama di hadapan hukum. Hukum
sebagai "panglima atau benteng terakhir" untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
berhubungan dengan kasus hukum.
Namun realitasnya di lapangan sungguh banyak kasus-kasus hukum yang tidak
diselesaikan secara hukum yang benar dan adil. Hukum seringkali digunakan sebagai
komoditas politik orang yang berkuasa, berpengaruh dan berduit.
Sehingga hasilnya bukan negara hukum lagi tetapi negara "hukum rimba", artinya
siapa yang kuat, punya uang, dan berkuasa dialah yang menang. Di hutan belantara
raja yang kuat tentunya adalah binatang harimau dan singa dan di negara "hukum
rimba" yang berkuasa adalah "manusia harimau dan manusia singa". Sebut saja
salah satu contoh kasus hukum, yang berhubungan dengan kerusuhan Poso, yang
tidak tuntas sampai sekarang. Kita lihat, peristiwa yang sama dan sebangun tetap
saja berulang kembali.
Keledai (hewan) yang tidak berpikir, lugu dan bodoh pun tidak pernah dan tidak mau
jatuh ke dalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya, apalagi manusia yang
berpikir, berotak, beragama dan berbudaya pasti tak mau jatuh ke dalam lubang yang
sama berkali-kali. Bangsa ini, katanya bangsa yang menjunjung tinggi hukum,
bangsa yang religius, bangsa yang beradab dan bangsa yang sangat rajin mengikuti
upacara ritual agamanya masing-masing, bangsa yang mengajarkan damai, kasih
dan persahabatan, namun kenyataannya, justru mengorbankan nyawa orang lain
demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Kematian Pendeta Susianti Tinulele sudah lebih dua tahun yang lalu, peristiwa yang
sama di kota yang sama dan pendeta dari gereja yang sama, terjadi lagi terhadap
Pendeta Irianto Kongkoli. Bedanya, penembakan terhadap Susianti terjadi ketika dia
berkotbah di atas mimbar sedangkan pendeta Irianto Kongkoli, Ketua Sinode GKST,
ditembak di kawasan perbelanjaan Monginsidi Senin (16/10).
Kita masih ingat, satu bulan sebelum kematian Pendeta Susianti, 18 Juni 2004, telah
terjadi peristiwa penembakan Jaksa Ferry Silalahi SH, LLH, Rabu, 26 Mei 2004, pukul
22.30 WITA seusai memimpin kebaktian di rumah rekannya pengacara Thomas
Thalau SH. Sebelumnya, kasus pertama dialami Bendahara Umum GKST R Tadjoja
di Poso pesisir. Di tempat dan daerah yang sama, kita juga mengingat perjuangan
Pendeta Rinaldy Damanik, yang waktu itu menjabat sebagai Sekum Majelis Sinode
GKST dan Ketua Crisis Center GKST.
Dia ikut menandatangani Perdamaian Malino untuk Poso, dan dia pernah ditahan di
Mabes Polri Jakarta dengan tuduhan menyimpan senjata di mobilnya. Dalam
pengakuannya ketika kami berkunjung ke sel tahanannya di Mabes Polri Jakarta, itu
semua "rekayasa" tetapi apa boleh buat sanksi dan vonis hukuman tetap saja
dijatuhkan kepadanya. Bahkan menurut kesaksian Ketua Sinode pada saat itu,
peristiwa yang hampir sama sudah 17 kali terjadi tetapi tak satu pun dituntaskan
sesuai yang diharapkan.
Bulan dan tahun terus berjalan, Indonesia bahkan dunia dihentakkan dengan peristiwa
eksekusi hukuman mati Tibo Cs. Dari rentetan peristiwa demi peristiwa ini, timbul
pertanyaan besar, ada apa dengan masalah di Poso sehingga persoalannya tidak
dapat tuntas sampai sekarang? Sebuah koran lokal, 18 Oktober 2006 lalu menuliskan
berita, "Pendeta Damanik: Saya siap ditembak sebagai tumbal dengan syarat
Sulteng aman". Pernyataan Pendeta Damanik ini menunjukkan masalah demi
masalah yang dihadapi di Palu, Poso, Sulteng sungguh luar biasa. Beliau
mengatakan lagi bahwa tindakan penembakan ini sudah keterlaluan dan menelan
banyak korban.
Damanik menyesalkan pernyataan Gubernur HB Paliodja yang menyebutkan
kematian Pendeta Kongkoli terkait dengan eksekusi, menurut Damanik penyebab
kematian Kongkoli adalah karena pemerintah dan aparat keamanan tidak mampu
memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat. Saya sangat setuju dengan
pernyataan Pendeta Rinaldy tersebut karena pemerintah dan aparat keamananlah
yang seharusnya sangat bertanggung jawab atas peristiwa ini.
Sudah Bosan
Anak bangsa ini sebenarnya sudah bosan dengan janji-janji, statemen-statemen dari
berbagai instansi pemerintah (pusat dan daerah) dan instansi lembaga keagamaan,
partai politik dan lain sebagainya yang hanya dengan kalimat-kalimat klise
mengatakan: "Prihatin, menyesalkan, mengutuk keras, mendesak pemerintah untuk
mengusut tuntas", dan semacamnya, tanpa membuktikan secara konkret janji dan
statemen tersebut.
Atau dengan kata lain aparat mengatakan dengan kalimat: "penembak memakai
penutup wajah", "memakai pistol colt", "pelaku berhasil diindentifikasi", "penembakan
Pendeta terkait dengan eksekusi Tibo Cs", "pelakunya pura-pura polisi", "kelompok
Hasanuddin diduga dalangi penembakan Pendeta Irianto". Anehnya lagi, istri Pendeta
Irianto diperiksa, sementara pada kesempatan yang lain Poso kembali diguncang
ledakan bom.
Kalau sikap-sikap lembaga pemerintahan, keagamaan, dan parpol yang lain hanya
tetap saja seperti ini dan tidak berani tegas menangkap dan menuntut pelaku beserta
otak intelektual yang menjadi dalang di balik kerusuhan ini maka sampai kiamat pun
kasus Poso tidak akan pernah tuntas.
Sepertinya, tindakan penembakan misterius ini dan ledakan bom yang tidak
henti-hentinya sudah diskenariokan secara rapi dan sistematis, yang dilakukan oleh
orang- orang tertentu atau kelompok-kelompok tertentu dengan maksud-maksud
tertentu pula. Mengapa terkesan aparat pemerintah seolah- olah ragu menindak tegas
sesuai dengan hukum yang berlaku? Atau apakah rentetan peristiwa ini sudah
merupakan "proyek" yang terus-menerus dipelihara bahkan intensitasnya semakin
ditingkatkan?
Mudah-mudahan asumsi ini salah, tetapi jika benar, alangkah "biadabnya" (maaf)
pelaku-pelaku dan otak intelektual di balik kasus itu, yang sangat tidak
berperikemanusian, tega menghilangkan nyawa orang lain demi kepentingan tertentu
dan kepuasan "kebinatangan" (maaf) sesaat. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
dan hakim) yang berkompeten dalam hal ini, harus menindaklanjuti sesuai dengan
proses hukum yang berlaku di Indonesia.
Dari segi aspek etis teologisnya, saya ingatkan bahwa manusia dapat dibohongi,
hukum dapat direkayasa dengan kekuasaan dan uang, tetapi satu hal yang pasti hati
nurani dan pertanggungjawaban vertikal tidak dapat dibohongi dan disembunyikan.
Tuhan yang kita percayai dan yakini adalah Tuhan yang Maha Tahu, Maka Kuasa dan
Maha Besar, yang melihat dengan jelas segala skenario busuk dan kemunafikan.
Kalau negara kita betul-betul masih negara hukum dan bukan negara "hukum rimba"
maka tidak ada pilihan lain pemerintah beserta aparatnya harus menjadikan hukum
sebagai panglima dan benteng terakhir untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum
yang terjadi di Indonesia.
Penulis adalah Dosen STT Abdi Sabda Medan, Mantan Ketua PGI-W Lampung
Last modified: 11/11/06
|