SUARA PEMBARUAN DAILY, 20 Februari 2007
Mengapa Tuhan Membiarkan Adanya Penderitaan?
Bila membaca koran setiap hari, satu yang tak akan lepas adalah membaca tentang
berbagai wajah penderitaan di muka bumi. Puluhan ribu orang mati di Irak, ratusan
ribu nyawa melayang karena tsunami di Aceh, kekerasan di Poso, korban banjir di
Jabodetabek, kriminalitas sehari-hari, dan berbagai penderitaan lain yang dialami
secara solitaire tanpa diketahui orang banyak.
Penderitaan kerap singgah dalam hidup setiap manusia, dan ketika penderitaan
menghampiri hidupnya, orang pun bertanya, "Mengapa Tuhan membiarkan adanya
penderitaan?"
Pada Rabu 21 Februari ini, umat kristiani memasuki hari Rabu Abu! , yaitu dimulainya
masa pantang dan puasa 40 hari untuk memperingati sengsara, wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus. Puncak dari perayaan itu adalah pada Kamis Putih,
Jumat Agung, dan Hari Raya Paskah, yaitu perayaan kebangkitan Yesus Kristus dari
alam maut. Di masa pantang dan puasa ini, umat kristiani diajak untuk merenungkan
misteri terbesar dalam kehidupan, yaitu bahwa hidup manusia di dunia niscaya
adalah jalan penderitaan (via dolorosa) menuju kematian.
Keberadaan vs Ketiadaan
Pernyataan hidup adalah suatu perjalanan penuh derita menuju kematian, tampaknya
sangat suram dan menyesakkan. Tetapi, hal itu adalah kebenaran mutlak yang tak
dapat disangkal. Tiada kebenaran lain ! yang lebih mengguncang kenyamanan semu
hidup manusia daripada penderitaan dan kematian. Dalam riwayat hidup Siddhartha
Gautama, perjumpaannya dengan penderitaan dan kematianlah yang
mengguncangkan dunia kesadarannya yang semu dan membuatnya menempuh
perjalanan panjang menuju pembebasan, menjadi sang Buddha.
Pada umumnya manusia berusaha menyangkal kenyataan telanjang yang
menakutkan tersebut. Manusia mencoba menyangkal kefanaan dirinya dengan
bersenang-senang, menenggelamkan diri dalam berba- gai kesibukan, atau men-
coba membuat berba- gai monumen yang akan mengingatkan orang akan
keberadaannya.
Orang pandai dan bijaksana mencoba bergumul dengan masalah ini, mencari hikmat
dan kebijaksanaan. Tetapi, sebagaimana ditemukan sang Pengkhotbah, nasib orang
pandir dan or! ang bijaksana sama saja. Semuanya akan mati. Yang ada menjadi
tiada. Apa pun langkah yang diambil manusia, tidak ada yang da- pat menghindari
ataupun menyangkal sengat maut tersebut.
Segala penyangkalan tidak dapat menutupi kesadaran akan kematian yang memaksa
masuk, dan kesadaran akan ketakterhindaran kematian tersebut adalah sumber dari
segala kecemasan dan ketakutan.
Para filsuf modern dari aliran eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre, Albert
Camus, Paul Tillich, dan lain-lain, juga menggumuli masalah pergumulan keberadaan
(being) vs ketiadaan (nonbeing). Mereka mengatakan, tanpa bisa memilih, manusia
terlempar ke dalam dunia, dengan berbagai situasinya. Dan tanpa bisa memilih juga,
semua orang akan berakhir keberadaannya di dalam ketiadaan.
Sartre mengatakan, manusia senantiasa menghidupi (menghayati) kematiannya; dan
setiap detik hidupnya ia mematikan (menghabiskan) kehidupannya. Di dalam
perjalanan keberadaan yang menuju ketiadaan tersebut, pergumulan antara
keberadaan vs ketiadaan berlangsung terus, di dalam berbagai dimensi dan
perwujudan. Dan demikianlah eksistensi manusia mengada, sebagai hasil dialektika
hidup vs mati tersebut.
Kesadaran akan eksistensi manusia yang rapuh itu tak dapat tidak menimbulkan rasa
muak (nausea) dalam diri manusia. Tiada jalan keluar dari sana.
Asal Penderitaan
Saat seseorang mengalami penderitaan dalam hidupnya, ia mencari berbagai
penjelasan agar dapat memahami situasi yang dialaminya. Salah satu penjelasan
yang paling populer adalah: penderitaan datang karena saya berdosa.
Saat mengalami "kesialan" atau musibah, orang sering berkata, Tuhan sedang
menegur. Kemudian orang mencoba memperbaiki tingkah lakunya, melakukan ritual
persembahan korban-korban, dan berharap kesialannya berakh! ir.
Penjelasan itu memiliki dua kelemahan utama. Pertama, sering kita temui dalam
kehidupan sehari-hari, penderitaan tidak menimpa orang yang berdosa, melainkan
menimpa orang benar, yaitu orang yang telah mencoba yang terbaik menjalankan
hidupnya sesuai keyakinannya akan kebenaran. Sehingga, tidak benarlah dalil yang
mengatakan penderitaan datang sebagai azab, karena seseorang telah berdosa.
Kedua, Tuhan bukanlah penyebab penderitaan. Mana mungkin kita menyebutNya
Maha Baik dan Maha Kasih kalau ternyata Tuhan senang menghukum dan mencobai
manusia, apa pun alasannya. Rasul Yakobus mengatakan, "Apabila seseorang
dicobai, janganlah ia berkata: 'Pencobaan ini datang dari Allah!' Sebab Allah tidak
dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun. Tetapi
tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dan dipikat
olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila
dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut."
Di zaman modern ini, pendapat yang senada dikemukakan pula oleh Sigmund Freud.
Dalam psikologi Freud dikatakan, keberadaan manusia adalah keberadaan yang
berketubuhan, di mana melalui ketubuhannya manusia memaknai dunia.
Freud mengatakan, sifat dasar dari tubuh itu sendiri adalah kecenderungannya
mencari kesenangan. Tubuh menghendaki kesenangan sebesar mungkin sekarang
juga; dan ingin menghindari segala de- rita sekecil apa pun. Hal ini disebutnya
pleasure principle.
Dalam perjumpaannya dengan realitas, manusia menemukan keinginan dasarnya itu
tidak dapat selalu dipenuhi, karena realitas bekerja dengan aturan lain. Di dalam
realitas, siapa yang menghendaki kesenangan yang lebih besar harus mau menunda
dan menahan keinginannya. Misalnya: orang yang ingin kaya, harus mau menunda
keinginan sesaat untuk makan enak, dan menabung uangnya. Mahasiswa yang ingin
pandai harus menunda ke- inginannya untuk nongkrong dengan teman-temannya, dan
belajar. Hal itu disebut reality principle.
Jadi, keberadaan manusia itu sendiri memang cenderung mengalami konflik, yaitu
konflik antara hasrat-hasrat tubuh dengan realitas yang membatasi. Konflik inilah
yang selalu membuat manusia menderita, yaitu ketika keinginannya tidak terpenuhi
karena berbenturan dengan kenyataan. Ole! h karena itu, Freud menjadi pesimistis.
Menurutnya, konflik, kecemasan dan penderitaan adalah bagian yang tak
terhindarkan dari keberadaan manusia.
Penderitaan
Pesimisme Freud dapat dimengerti. Tetapi untunglah perkembangan-perkembangan
baru dalam psikologi mengemukakan kemungkinan baru yang lebih memberikan
harapan. Mazhab keempat dalam psikologi, yaitu transpersonal psychology
mengemukakan suatu dalil yang secara revolusioner mengubah paradig- ma tentang
keberadaan manusia.
Dalil itu mengatakan, esensi manusia bukanlah tubuh (daging), melainkan pada
mulanya adala! h roh. Karena suatu proses yang disebut involusi, roh kemudian
menjadi daging. Dalam bahasa fisika, kita dapat mengatakan bahwa roh yang pada
esensinya adalah energi, ditransformasi- kan menjadi massa, yaitu tubuh.
Karena itu, tidak seperti pandangan Freud atau tokoh-tokoh eksistensialisme yang
pesimistis tentang manusia, transpersonal psychology mengatakan manusia
sejatinya adalah makhluk rohani yang karena proses involusi mendapatkan
pengalaman badani; dan melalui proses evolusi akan kembali menjadi rohani.
Hal yang senada dikemukakan Pierre Teilhard de Chardin yang mengemukakan sejak
adanya manusia di bumi ini, muncul lapisan baru selain biosfer (lapisan kehidupan
biologis di muka bumi), yaitu noosphere (lapisan kesadaran). Kesadaran manusia
melalui proses evolusi akan menjadi makin kompleks, hingga mencapai kesadaran
yang lebih tinggi.
Proses evolusi akan memuncak dalam penyatuan materi dan roh menjadi suatu Maha
Kesadaran yang disebut Chardin sebagai Titik Omega. Bagi Chardin, Titik Alpha yang
menjadi awal mula segala ciptaan, dan Titik Omega ke mana semua ciptaan menuju,
tidak lain adalah Kristus.
Bila kita menerima pandangan visioner Chardin, kita dapat melihat keberadaan
manusia yang sementara di dunia ini dengan kacamata yang berbeda. Keberadaan
manusia di dunia bukan sekadar suatu kece-lakaan akibat mutasi acak evolusi, atau
suatu keterlemparan ke dalam kehidupan.
Keberadaan manusia di dunia tidak! dilalui dalam kesendirian melalui perjalanan
panjang penuh derita menuju kematian. Keberadaan manusia di dunia adalah suatu
perjalanan pulang kepada asalnya yang sejati, yaitu kebersatuan dengan Tuhannya di
dalam Kekekalan.
Di dalam paradigma itu, penderitaan di dalam hidup manusia tidak disangkal, tetapi
dimaknai secara berbeda. Penderitaan bukanlah proses menuju kematian, tetapi
kondisi tak terhindarkan dalam proses kelahiran kembali.
Bagi umat kristiani, bukti yang paling nyata untuk memberi kesaksian tentang
kebenaran itu, hadir di dalam diri Yesus Kristus, sang Anak Manusia. Ia yang berasal
dari Allah, menjalani hidup penuh sengsara, memikul salib derita, ma- ti, dan
kemudian bangkit kembali.
Dengan demikian, per-tanyaan mengapa Tuhan membiarkan adanya penderitaan di
dunia ini terjawab sudah. Penderitaan memang harus ada di dalam proses kelahiran
kembali umat manusia, dan bukan manusia yang menjadi subjek utama penanggung
derita, melainkan Tuhan sendiri di dalam diri Yesus Kristus. Manusia diundang untuk
berpartisipasi di dalamnya.
Selamat menjalani pantang dan puasa.
Iman Setiadi Arif, staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida
Wacana Jakarta
Last modified: 20/2/07
|